17

160 3 0
                                    

Kinar mengamati kerumunan anak muda di sana. Akhirnya, dia mendapati seseorang yang dia cari sedang bersenda gurau dengan teman-temannya. Mata Kinar berkaca-kaca melihat itu. Pertanyaan berkecamuk di pikiran Kinar. Apa Erik tidak tahu, bahwa sebenarnya dia tersiksa dengan sikap Erik yang tiba-tiba berubah dan menghindarinya. Kinar memberanikan diri untuk menghampiri Erik, walaupun sebenarnya dia sangat malu, karena banyak laki-laki berada di antara Erik.

"Erik!" panggil Kinar.

Seketika para pemuda yang sedang ramai bercengkrama terdiam, saat mendengar suara wanita memanggil nama Erik.

"Mba Kinar?"

Erik lekas berdiri dan mendekati Kinar. Mata Kinar tergenang air, ingin sekali dia memeluk pemuda yang ada di depannya sekarang. Kinar mengepalkan kedua tangannya, demi menahan tubuh agar tidak menuruti keinginannya. Air matanya pun kini lolos.

Mengetahui itu, Erik kemudian menggandeng tangan Kinar untuk menjauh dari teman-temannya. "Oke, kita cari tempat lain, Mba."

Mereka duduk di kursi panjang bercat putih di pinggir taman. Nampak sangat ramai tempat itu, karena malam minggu.

"Kenapa susah banget menghubungi kamu, Erik?" Kinar menanyakan hal itu kepada Erik, sambil memainkan jari-jari tangan di atas pangkuannya.

"Maaf, Mba." hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Erik.

"Kamu ... ada masalah?"

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Erik.

"Kenapa kamu menghindari ku? Bahkan, tidak mau bertemu denganku, Rik? Apa  ... kamu ingin menyudahi semuanya?" lanjut Kinar.

Keduanya nampak terdiam. Hening. Tidak ada kalimat yang keluar dari mereka.

"Aku rindu." tiba-tiba Kinar mengatakan hal itu.

Erik menghirup napas panjang dan mengeluarkan secara perlahan, demi mengurangi perasaannya yang kacau saat ini.

"Aku juga, Mba. Bahkan, aku sangat tersiksa dengan hal itu," kata Erik.

"Lalu, kenapa kamu tidak menemuiku? Kamu tahu, aku seperti orang depresi, setiap hari hanya bisa melihat rumahmu, menunggu pesan darimu, pagi-pagi menunggumu di depan rumah, menunggumu datang menjemput ku di tempat kerja. Kalau tahu akan seperti ini, kenapa kamu selama ini seakan mengajakku terbang, kemudian menjatuhkan aku kebawah begitu saja, hah?" kata Kinar berapi-api.

Erik menoleh dan menatap mata Kinar dengan lekat.

"Aku takut, Mba. Aku takut setelah kejadian malam itu. Aku sangat menginginkanmu, Mba. Tapi, aku tahu itu salah. Aku tidak ingin terlalu jauh," jelas Erik.

Kinar mendengar dan memandang wajahnya Erik dengan seksama. Kemudian pemuda itu meneruskan perkataannya.

"Aku takut menemuimu, Mba. Aku takut kamu marah padaku. Aku takut kamu membenciku. Iya, aku sengaja menghindarimu agar bisa mengendalikan diriku. Tapi, kemudian aku bingung harus mulai darimana?"

Wajah Kinar yang sedari tadi menegang kemudian berubah. Senyum kecil tersungging saat mendengar penjelasan dari Erik.

"Kamu 'kan tinggal telepon, atau mengirim pesan, atau datang ke rumah seperti biasa," balas Kinar.

"Iya, sebenarnya mudah. Tapi, kemarin itu sepertinya sangat sulit bagiku, Mba."

"Dasar bocil," kata Kinar sambil tersenyum.

"Mba, aku bawa ke  ..., eh, 'gak jadi ding. Aku takut jiwa normal kelakianku akan timbul. Bisa-bisa aku khilaf seperti kemarin. Maaf, Mba."

"Aku 'gak nyangka, kamu yang biasa tengil bisa seperti itu, Rik."

Keduanya akhirnya bisa tersenyum. Lagi-lagi keheningan di antara keduanya.

"Kita  ... baikan, ya?" tawar Kinar, memecah kebisuan dari keduanya.

"Kita dari dulu 'kan emang baik, Mba. Aku ini cuma tetangga sebelah rumahmu. Mba Kinar juga bukan pacarku. Bahkan, tidak pernah bilang sayang padaku, tidak pernah juga bilang cinta padaku."

"Emang harus?"

"Iya. Aku butuh validasi itu."

"Jangan seperti anak kecil, Erik. Dengan hubungan kita setiap hari, emang kurang pembuktiannya?"

"Iya, Mba. Setidaknya biar aku yakin kalau Mba Kinar benar-benar milikku."

Keadaan yang sebelumnya mencair kini kembali menegang.

"Orang sayang, orang cinta tidak perlu dengan perkataan. Perlakuan saja kadang udah cukup, Erik."

"Tapi aku perlu itu, Mba."

"Ahh  ... sudahlah. Kembali ke teman-temanmu sana. Aku mau pulang."

Kinar berdiri lalu meninggalkan Erik.

"Hah, dasar wanita." Erik hanya melihat Kinar sambil tersenyum.

Lalu, Erik bangkit dari duduknya dan mencoba mengejar Kinar yang sudah menjauh darinya. Sambil sedikit berteriak, Erik memanggil Kinar.

"Mba, aku antar pulang!"

Kinar berdiri di pinggir jalan untuk mengambil gawainya untuk memesan ojek online. Tapi, tiba-tiba ada mobil menghampiri Kinar. Satu orang keluar mendorong Kinar masuk ke mobil, dan satu orang di dalamnya menarik tubuh Kinar.

"ERIK!!"

Kinar memanggil Erik dan mencoba member0ntak, tapi dari dalam mobil tarikannya sangat kuat. Erik berlari ke arah Kinar dan berhasil menggapai salah satunya. Namun, hanya sekali dorongan Erik tersungkur. Dia cepat-cepat bangkit dan mengejar mobil yang tancap gas. Dari belakang ada mobil yang menghampiri Erik. Pemuda itupun juga tidak luput untuk di masukan kedalam mobil.

Disekitar tempat itu orang-orang ramai melihat pemandangan tersebut. Mereka tidak berani mendekat, karena kejadiannya sangat cepat. Salah satu teman Erik, melihat secara paksa Erik dimasukan ke mobil. Kemudian, dia berlari menghampiri yang lain untuk diberitahu. Salah satunya yang ada di sana adalah Tomi.

"Bro, Erik! Dicu-lik!"

Seketika mereka mulai panik.

"What?"

"Apa?"

"Kok bisa?"

Suara mereka bersaut-sautan.

"Lapor polisi!" teriak salah satu dari mereka.

"Tidak bisa. Polisi tidak akan menerima laporan pencu-likan sebelum 1x24 jam orang dinyatakan hilang," kata Tomi.

"Lalu bagaimana?" Mereka semua kebingungan.

______

"Br*ngse*k! Lepaskan aku!" Erik mengamuk dengan dua orang didalam mobil, hingga dua kali bog-em mentah melayang ke wajah Erik. Darah segar keluar dari hidung Erik. Tatapannya seketika kabur. Tapi, Erik masih mencoba melawan. Hingga tambahan bog-em mendarat lagi di perut dan wajah Erik. Kepalanya berkunang, lalu hanya gelap yang dirasakan Erik.

Di kendaraan satunya, Kinar berteriak dari dalam mobil untuk minta tolong.

"Ssstttttt! Tenang Kinar!" suara yang familiar terdengar oleh Kinar dari balik kursi depan mobil. Orang tersebut  kemudian menoleh.

"B-Bayu."

"Tidak usah kaget. Kamu cuma kujadikan alat, biar aku bisa membalas den-dam dengan bocah tengik itu, Kinar. Enak saja dulu dia mengha-jarku sampai babak belur lalu hanya dibiarkan begitu saja. Sakit, Kinar, sakit!"

"Kamu pantas mendapatkan itu! Kamu br*ngs*k! Kamu b*jing*n Bayu!"

"Ya ya ya ... aku memang seperti itu."

"Lepaskan aku!" Kinar terus member0ntak dan berteriak.

"Buat dia diam!" Bayu memerintah dua orang di belakangnya untuk membungkam mulut Kinar.

Satu orang menjam-bak rambut Kinar, dan satunya menempel lakban di mulut Kinar.

"Nah, begitu lebih cantik, Sayang!" kata Bayu sambil tertawa.

Bersambung

My Big BoyOn viuen les histories. Descobreix ara