14

189 3 0
                                    

Erik menatap lekat wajah Kinar lalu meninggalkannya begitu saja. Kinar berdiri mematung dengan kedua matanya yang tergenang air. Dia menatap punggung pemuda itu yang kemudian hilang dari pandangannya.

Tubuh Kinar merosot ke lantai. Dia menangis tergugu. Karena, kedewasaan Erik, mampu membuat Kinar merasa dihargai sebagai wanita.

"Erik, maafkan aku."

_____

Kinar bergegas akan berangkat kerja. Dia merasa tidak enak hati jika bertemu Erik, atas kejadian tadi malam. Lalu, sebuah notifikasi terdengar dari gawai Kinar.

[Mba, maaf, aku buru-buru. Hari ini Mba Kinar naik ojol, ya.]

Kinar membalas pesan Erik hanya dengan memberikan emoticon jempol. Perasaan Kinar tidak menentu, karena tidak biasanya Erik seperti itu. Setiap pemuda itu memberikan pesan, pasti ada sambungan atau rentetan pesan lain di bawahnya, walaupun, kadang tidak penting.

Setibanya Kinar di tempatnya bekerja, dia mendapati kabar dari Rina, bahwa Bayu mengundurkan diri.

"Kinaarrr!" panggil Rina, setelah mengetahui temannya baru datang.

Kinar menghentikan langkahnya dan menoleh ke sumber suara.

"Ada berita heboh," kata Rina berapi-api.

"Apa? Kamu naik jabatan?" tebak Kinar.

"Bukan."

"Lalu?"

"Si Bayu 'resign'."

"Hah?" Wajah Kinar berubah ketika mendengarnya.

"Iya. 'Gak tau alasannya kenapa, tapi, ini benar-benar mendadak. Ada beberapa karyawan yang patah hati, karena orang tertampan di tempat kerja kita keluar."

"Halah, lebay."

"Kok kamu gitu? Kamu 'gak merasa kehilangan?"

"Enggak. B saja. Setiap orang punya alasan tertentu untuk mengundurkan diri dari sini, Rin," kata Kinar, sambil berlalu meninggalkan Rina.

"'Wait', Kinar!" Rina mencoba menghentikan langkah Kinar.

"Apa?"

"Jangan-jangan kamu sudah tahu, kenapa Bayu keluar kerja?"

"Dih, enggaklah. Mungkin, ada masalah di keluarga atau apa kan kita 'gak tahu, Rin. Kalau memang sudah keputusannya, ngapain kita ngehalangi." Hati Kinar sebenarnya merasa bersyukur, kini dia tidak lagi melihat partner kerjanya, yang pernah mengacak-acak hidupnya tersebut.

"Oh iya, ya." Rina mengangguk-angguk setuju dengan jawaban Kinar.

Kemudian, mereka berlanjut dengan kegiatan serta kesibukan masing-masing.

_____

Seperti biasa, pukul 16.15 Kinar keluar dari gedung tempatnya bekerja. Di luar, tidak seperti biasanya. Dia tidak mendapati pemuda yang biasa nangkring di atas motor untuk menunggui dirinya.

Sebuah pesan masuk ke gawai Kinar. Diambilnya benda pipih tersebut dari tas. Lagi-lagi terdapat pesan dari Erik.

[Mba, maaf 'gak bisa jemput. Ada urusan.]

Lalu, Kinar membalas pesan dari Erik.

[Kamu memang ada urusan atau sengaja menghindariku, Erik?]

Lama pesan itu tidak dibuka oleh Erik. Kinar menunggu pesan tersebut agar tercentang biru.

"Kinar! Ojek langgananmu belum datang?"
Rina, menghampiri Kinar yang masih berdiri, di tempat biasa Erik menunggunya.

"Iya. Ini lagi mesen ojek lain, Rin."

"Mau aku antar?" tawar Rina, yang duduk di  atas jok motor maticnya.

"Enggak, Rin. Paling bentar lagi."

"Yakin?"

Kinar hanya mengangguk atas pertanyaan Rina.

"Oke, deh. Aku duluan, ya."

Keduanya kemudian melambaikan tangannya. Kinar melihat smartphone nya lagi, berharap tandanya sudah berganti. Tapi, tetap saja seperti sebelumnya. Dengan kesal akhirnya dia memesan ojek online.

Sesampainya di rumah, Kinar tidak lantas menuju rumah, tapi ke rumah Erik. Apa yang dilihat ternyata benar. Motor yang biasanya terparkir, tidak kelihatan.

"Oh ... ternyata bocah itu tidak bohong," gumam Kinar, sambil kembali kerumahnya.

Setelah selesai membersihkan diri, lagi-lagi Kinar mengecek pesannya untuk Erik. Dia senang karena pesannya telah berubah warna. Tapi, tidak ada balasan untuknya. Ada sedikit rindu yang dia rasakan, karena tidak melihat lelaki yang setiap hari tidak jauh darinya.

[Erik, kenapa tidak membalas pesanku?]

Dengan cepat tanda itu berubah jadi centang biru. Kinar masih menunggu balasan yang mungkin akan masuk. Tapi, ternyata tidak sesuai ekspetasinya. Tidak ada balasan apapun dari Erik. Kinar mencoba menghubungi pemuda itu dengan meneleponnya, tapi, tidak diangkat.

[Erik, kamu kenapa?]

[Jangan buat aku khawatir!]

Pesan itu telah terbaca, tapi, masih tidak ada balasan untuk Kinar. Dia mencoba berkali-kali menghubungi Erik, tapi tetap tidak diangkat sambungannya.

[ANGKAT TELEPONNYA!]

Sengaja Kinar menggunakan huruf besar, agar Erik tahu bahwa dia benar-benar kesal. Lagi-lagi dengan cepat pesan itu berubah warna. Kemudian, Kinar mencoba meneleponnya lagi.

"Hah, ditolak? Bocah ini benar-benar meresahkan. Bisa-bisanya aku dibuat seperti ini."

Karena dibuat jengkel, Kinar keluar dan mendatangi rumah Erik.

"Permisi, Eyaaanngg! Ups  .... "

Kinar menghentikan langkahnya, ketika mencapai pintu masuk rumah Erik.

"Emmm  ... ma-maaf," kata Kinar, ketika melihat ada tamu di rumah Erik, dan kemudian berbalik arah untuk kembali.

"Kinar!" panggil Eyang.

Kinar membalikan badannya lagi, dengan muka yang tidak enak.

"Kesini sebentar!" perintah Eyang.

Kinar kemudian masuk dengan sedikit membukukan badannya dan kemudian  berdiri di antara tamu Eyang.

"Kenalkan, ini Papa Erik," kata Eyang.

Mulut Kinar sedikit menganga ketika tahu, bahwa yang di depannya adalah ayahnya Erik. Walaupun, wajahnya ada sedikit kerutan, tapi sosok pria di depan Kinar tampak seorang yang berkharismatik. Mungkin, karena bawaan dari keluarganya yang kaya. Pikir Kinar.

Mereka berdua bersalaman dan memperkenalkan diri.

"Sa-saya Kinar, Pak."

Ada beberapa kemiripan antara Erik dan ayahnya. Kinar memperhatikan baik-baik Pria yang baru saja dia kenali. Postur tubuh yang tinggi, hidung yang mancung serta wajah yang bersih. Kini Kinar tahu, wajah tampan Erik berasal dari bibit siapa. Walaupun, sebenarnya ibunya Erik juga cantik, ketika dia melihatnya di pigura foto beberapa bulan lalu.

"Ada apa, Kinar? Apa cari Erik?"

"Hah? Oh  ... tidak, Eyang. Mau  ... mau  ... emmm  ... minta sedikit baking powder untuk buat kue. Iya  ... baking powder, di rumah habis soalnya," kata Kinar tidak enak dengan sikap dia sendiri. "Tapi, nanti tidak apa-apa, Eyang. Aku takut mengganggu. Permisi," lanjut Kinar lalu menganggukan kepalanya, kemudian buru-buru keluar dari rumah Erik.

"Haahh, b*doh. Kenapa malah ketemu bapaknya?" gumam Kinar, sambil berlari kecil menuju rumahnya.

Bersambung

My Big BoyWhere stories live. Discover now