13

204 2 0
                                    

Kinar dan Erik kemudian kembali ke setelan semula. Tidak terasa keluar dari gedung ternyata hari sudah malam. Mereka berdua  menghabiskan waktu berjam-jam untuk pengambilan gambar tersebut.

"Wah, udah malam, Mba," kata Erik.

"Iya. Ternyata lama juga."

"Yasudah, ayo pulang," ajak Erik.

"Aku lapar." Kinar memegangi perutnya yang sejak tadi sudah keroncongan.

"Oke, kita cari makan dulu," kata Erik sambil tersenyum melihat tingkah Kinar.

Mereka menuju warung tenda yang biasa buka sampai larut malam. Mereka menikmati malam walaupun kelihatan kilat yang menyambar di atas langit.

"Yuk, Mba, kalau sudah. Kayaknya mau hujan," kata Erik yang sedikit khawatir.

Setelah Erik membayar makan malamnya, lalu mereka cepat-cepat untuk pulang.

Satu demi satu tetesan air jatuh ke bumi. Semakin lama tetesan itu semakin banyak dan semakin deras. Erik mencoba menepikan motornya di ruko pinggir jalan yang terdapat beberapa orang untuk berteduh.

Mereka berdua turun dari motor. Erik melihat Kinar yang sudah basah. Dia kaget ketika baju Kinar tembus pandang karena air hujan. Tercetak jelas pembungkus dada Kinar berwarna hitam. Erik melihat beberapa sepasang mata melirik ke arah Kinar. Kemudian, Erik melepas jaket hijaunya untuk diberikan kepada Kinar.

"Pakai ini, Mba, biar tidak terlihat jelas," kata Erik sambil mengenakan jaketnya kepada Kinar.

"Maksudnya?" tanya Kinar belum mengerti.

"Pakai warna hitam, 'kan?"

Kinar melihat ke arah bawah dadanya, yang dia sendiri bisa melihat dalamannya tercetak sangat jelas dan ada yang sedikit menyembul dari sana. Lalu, Kinar buru-buru membenarkan apa yang telah di pakaikan oleh Erik. Setelah tertutup rapat, Kinar hanya diam berdiri dengan perasaan malu, karena beberapa orang mungkin sudah melihatnya. Pikir Kinar.

"Rik, kamu tidak bawa mantol?"

"Tidak ada persiapan, Mba. 'Gak tau juga ini, kenapa tiba-tiba saja hujan." Erik terdiam sejenak, sambil melihat langit walaupun terlihat gelap. "Sudah agak terang, Mba. Lanjut, ya?" tawar Erik.

"Tapi, tetep saja nanti kamu kehujanan, Erik."

"Tidak apa-apa, Mba. Kalau tidak jalan, kapan sampai rumahnya."

"Tapi, nanti kamu basah. Liat, cuma pake kemeja doang."

"Nanti ganti baju kalau sampai rumah, Mba. Ayo naik!"

Kinar menuruti apa kata Erik. Ternyata, hujannya semakin deras. Ketika sampai di lampu merah, Kinar menawarkan untuk berteduh lagi.

"ERIK, MINGGIR DULU! NANTI KAMU SAKIT!"

"TANGGUNG, MBA, BENTAR LAGI SAMPAI."

Erik tidak menggubris apa kata Kinar. Dia masih terus menggeber motornya hingga sampai rumah. Agar tidak mengganggu Eyang, Erik memasukan motor di garasi rumah Kinar.

Kinar melihat dirinya juga basah semua, walaupun sudah memakai jaket Erik. Begitupula dengan Erik. Seluruh badannya basah kuyup. Dia membuka seluruh kancing kemejanya, agar kulitnya bisa bernapas. Kinar membuka jaketnya di luar rumah, karena air di jaketnya begitu banyak. Kemudian, Kinar membuka kunci pintu dan masuk kedalam. Karena buru-buru akan mengambil handuk, Kinar terpeleset di ruang depan.

Bruk!

"Aaa  .... "

Erik berlari kedalam ketika mendengar suara tersebut.

"Mba Kinar!"

Erik menarik tubuh Kinar yang terjerembab di lantai, sambil menahan dirinya, karena lantai yang dipijak sangat licin oleh air. Saat menarik Kinar, tubuhnya menempel pada tubuh Erik yang terbuka. Jantung Kinar berdegup sangat kencang. Parfum Erik menguar karena terkena air, yang membuat pikiran Kinar kemana-mana.

"Mba, tidak apa-apa?" tanya Erik.

Kinar hanya terdiam melihat Erik, karena terkontaminasi oleh aroma parfum yang di pakai oleh Erik. Mata mereka beradu satu sama lain. Sebagai laki-laki normal, kejan-tanan Erik mulai tergugah dengan pandangan Kinar. Tangan Kinar terangkat untuk menyentuh rahang serta jarinya menyapu bibir Erik. Bulir-bulir air masih menetes dari rambut Erik yang membuat Kinar merasa pemuda di depannya sangat menarik.

"Mba Kinar." Suara Erik sangat lirih memanggil nama wanita di hadapannya itu.

Tiba-tiba tangan Erik merengkuh tengkuk Kinar. Bisikan setan telah menguasai keduanya. Mereka menginginkan hal yang lebih.

Kilatan serta gelegar petir yang keras memekikan telinga siapapun yang mendengarnya. Bersamaan dengan itu, Erik berhenti dan menahan hasrat yang ada pada dirinya. Dia mengeratkan rahangnya serta mengerutkan dahi dan menempelkannya  pada dahi Kinar. Dengan jarak hanya beberapa inci dari wajahnya, Erik melihat Kinar yang masih memejamkan matanya. Erik menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah Kinar. Seketika, mata Kinar terbuka dan memandang wajah Erik.

"Ma--maaf, Mba. Maaf." Dengan nada bergetar, suara itu muncul dari mulut Erik. Kemudian, dia melanjutkan perkataannya, "ak-ku tidak mau merusakmu."

Erik menatap lekat wajah Kinar lalu meninggalkannya begitu saja. Kinar berdiri mematung dengan kedua matanya yang tergenang air. Dia menatap punggung pemuda itu yang kemudian hilang dari pandangannya.

Tubuh Kinar merosot ke lantai. Dia menangis tergugu. Karena, lelaki yang di anggapnya bocah, ternyata sedewasa itu.

"Erik, maaf."

Bersambung

My Big BoyWhere stories live. Discover now