3

1.2K 8 0
                                    

Lho, udah sampai. Jangan lupa ya, Mba Kinar sayang, kuenya." goda Erik sambil mengedipkan salah satu matanya.

Kinar bingung dengan dirinya sendiri. Cuma karena di perlakuan seperti itu oleh Erik, dia merasa sangat bahagia.

_____

Setelah sampai rumah Kinar menyiapkan semua bahan untuk membuat kue. Setelah semua terproses dan jadi adonan, kuepun siap di oven. Wangi aroma manis dan pisang menguar setelah beberapa menit. Lalu, Kinar mengeluarkan bolu pisang tersebut dari oven.

"Well done," gumam Kinar. Kemudian, dia memasukan lagi adonan kedua.

Kinar menunggu sampai bolu itu dingin, baru di masukan kardus dan papper bag, untuk diberikan kepada Eyang. Setelah semua proses selesai, Kinar bergegas untuk ke rumah Erik.

"Permisi," kata Kinar dari luar rumah Erik. Motornya sudah tidak terlihat ditempatnya tadi. Kinar mencoba sekali lagi untuk menyapa. Baru kemudian, keluarlah seorang nenek-nenek, dengan menggunakan daster bermotif bunga.

"Lho, siapa, ya?" tanya wanita yang kulitnya sudah mulai keriput tersebut.

"Saya Kinar, Eyang. Yang punya rumah sebelah," terang Kinar.

"Ohh, ayo masuk, Nak, masuk. Si Erik, selalu cerita banyak tentang kamu."

Dahi Kinar mengerut, mencoba mencerna omongan wanita beda generasi yang ada di depannya. Setelah masuk rumah, Kinar dipersilahkan duduk oleh Eyang. Tapi, Kinar ditinggal sendirian di ruang tersebut. Kinar menunggu sambil mengamati apa yang ada di ruangan itu. Hingga matanya tertuju pada sebuah pigura dengan foto dua orang wanita dan satu orang anak kecil. Kinar melihat secara baik-baik. Wajah anak kecil mirip dengan Erik. Sedangkan di sebelah kiri Erik kecil, terlihat Eyang yang belum terlalu tua. Kinar, tidak mengetahui wanita yang berada di samping kanan Erik. Mungkin  itu mamanya, pikir Kinar.

Setelah beberapa menit, Eyang keluar dengan membawa nampan yang terdapat du'a cangkir yang mengepul.

"Ayo diminum, mumpung masih hangat!" perintah Eyang.

"Iya, terimakasih Eyang. Oiya, ngomong-ngomong, saya bawa kue buat Eyang. Kue bolu pisang."

"Wahhhh  .... Terimakasih. Bisa buat temen nge-teh Eyang."

"Emmm  ... Erik  ... sedang keluar, Eyang?"

"Iya. Anak itu kalau minggu seperti burung yang keluar dari sangkar. Sekarang pergi, bisa nanti malam dia balik." jelas Eyang.

"Kemana, Eyang?"

"Pamitnya, pasti ke rumah teman."

"Emm  ... maaf, Eyang. Mau tanya. Yang di foto itu  .... " Kinar menunjuk pigura yang tidak jauh dari tempat duduknya.

"Ohh  ... Itu Eyang, Erik dan mamanya. Tapi, dia sudah meninggal. Dia adalah anak perempuanku satu-satunya."

"Maaf, lalu papanya Erik, Eyang?"

Eyang menghirup napas panjang dan menghelanya dengan kasar.

"Erik itu sebuah perjanjian. Dulu mamanya menikah, karena papanya Erik menginginkan bayi laki-laki. Tapi, waktu USG, bayi dalam perut mamanya didiagnosa dokter berjenis kelamin perempuan." sambil berkaca-kaca, Eyang mengenang peristiwa itu. Kemudian, melanjutkan kembali curahan hatinya mengenai masa lalunya.

"Papa Erik, namanya Surya. Dia menginginkan bayi laki-laki juga karena persyaratan dari orang tuanya untuk mendapatkan warisan. Akhirnya, dia menikah lagi. Mama Erik namanya Rita, dia tidak terima jika dimadu. Lalu, memilih pergi, walaupun sebenarnya Surya orang kaya. Bahkan Sampe istri ke tiga, dia tak kunjung mendapatkan bayi laki-laki."

Kinar penasaran dengan kisahnya. Pikiran Kinar menggelayut pertanyaan. Kenapa Erik bisa jadi laki-laki, jika hasil USG Mama Erik perempuan.

"Sebentar, Eyang. Lalu  ... Erik ... kenapa laki-laki?"

Eyang tersenyum sambil memandang Kinar.

"Tuhan berkata lain, Nak. Mungkin dokter salah USG atau bagaimana. Bayi yang dilahirkan anak perempuan ku ternyata laki-laki. Dia Erik. Sampai suatu saat, Surya mengetahuinya. Dia memohon agar Rita kembali kepadanya. Tapi, Rita tidak mau. Lalu, suatu hari kami kesulitan dalam ekonomi. Surya datang bak malaikat menolong kami. Tapi, dengan persyaratan, Erik harus dibawanya. Pertengkaran pun tidak bisa dihindari, sampai terjadilah kesepakatan." Eyang menarik oksigen dalam-dalam, untuk mengisi paru-parunya.

Kinar masih menjadi pendengar setia dari wanita sepuh yang ada di depannya.

"Rita akan memberikan Erik sampai dia lulus Sekolah Menengah Atas. Dan selama itu, Surya harus memberikan jaminan untuk keberlangsungan kehidupan kami. Perjanjian itu bermaterai dan sah di mata hukum sampai sekarang. Tapi nasib berkata lain. Saat Erik masuk SD, dia harus ditinggal seorang ibu untuk selamanya. Rita kecelakaan saat berangkat kerja. Kendaraan yang di tumpanginya bertabrakan." Air mata yang sejak tadi terbendung di pelupuk Eyang akhirnya jatuh juga. Bahunya sampai bergetar saat dia menangis. Kinar mencoba menenangkan dan memeluknya.

"Sudah-sudah, Eyang, tidak usah diteruskan. Setidaknya, aku tahu garis besarnya."

Saat sudah tenang, kami kembali berbincang mengenai kehidupan Erik kecil. Hingga minuman yang suguhkan sebelumnya sudah tandas.

Tidak terasa juga hari mulai sore. Bahkan mereka tidak merasa bahwa waktu secepat itu berlalu. Dan Kinarpun pamit untuk pulang.

____

Malam pun semakin larut. Ketika Kinar ingin merebahkan tubuhnya, pintu rumah tiba-tiba ada yang mengetuk. Kinar bangun dan mengintip dari balik gorden jendela. Seorang lelaki menggunakan hoodie sedang berdiri di depan pintu. Kinar merasa ketakutan. Hingga suara lelaki itu terdengar dari balik pintu.

"Mba Kinar, ini aku Erik."

Mengetahui itu Kinar lalu memutar anak kunci dan membuka pintu. Tidak kalah terkejutnya, saat Kinar mengetahui wajah Erik yang babak belur.

"Erik! Kenapa  ... ini kamu kenapa bisa begini?"

"Biarkan aku masuk dulu, Mba."

"Hih, dasar bocah. " Kinar meraih tangan Erik untuk masuk rumah dan mendudukkannya di sofa. Erik menurunkan hoodie di kepalanya sambil berdesis menahan sakit. Kinar mengamati wajah Erik penuh kepanikan.

"Erik, kenapa bisa lebam seperti ini?"

Terlihat sudut bibir Erik yang bengkak dan ada darah kering yang menempel. Serta pelipisnya yang sedikit membiru dan terluka.

"Sakit?" tanya Kinar.

Erik hanya mengangguk, seperti seorang anak yang kalah berkelahi.

"Aku ambilkan obat pereda nyeri sama es batu." Kinar meninggalkan Erik di ruang tamu.

Tidak lama kemudian, Kinar membawa mangkuk dan segelas air putih di nampan. Lalu diletakkan di meja depan sofa.

"Udah makan?" tanya Kinar. Erik hanya menggeleng pelan.

"Makan dulu, ya. Abis itu diminum obatnya."

"'Gak lapar, Mba."

"Yaudah diminum saja obatnya, biar 'gak nyeri." Erik mengambil obat dan air putih yang diberikan Kinar.

Setelah itu, Kinar mengambil serbet kecil yang diisi dengan es batu. Lalu, mengompresnya di pelipis Erik.

"Kenapa bisa seperti ini, Erik. Kamu berkelahi?"

Bersambung

My Big BoyWhere stories live. Discover now