9

923 7 0
                                    

Mereka bertiga keluar dari hotel. Tomi membawa Kinar menggunakan mobilnya. Sedangkan Erik, mengikuti kendaraan roda empat tersebut dari belakang. Sesampainya di rumah Tomi, Erik segera memakir motornya kemudian mengangkat Kinar dari dalam mobil. Erik mengikuti Tomi untuk menunjukan kamar bagi Kinar. Setelah sampai, Erik merebahkan tubuh Kinar pelan-pelan. Napas Kinar kini mulai teratur. Erik membenarkan anak rambut yang berantakan di dahi Kinar. Erik memperhatikan wajah Kinar yang semakin lama daerah pipinya terdapat lebam dan sudut bibir yang membengkak. Mata Erik berkaca-kaca melihat wanita di depannya, yang biasanya terlihat galak dan menggemaskan, kini terbaring dengan luka.

"Emmm ... Rik, bukankah dia yang kamu bawa beberapa bulan yang lalu, ke taman tempat biasa anak komunitas nongkrong?" tanya Tomi memastikan.

Erik mengganguk.

"Kenapa bisa begini?"

"Aku juga tidak tahu, Tom. Perasaan ku tidak enak, waktu dia tidak membalas pesanku. Lalu aku mencoba mencarinya disebuah acara, karena sebelumnya dia memberitahuku tentang itu. Setelah sampai di sana, dia sudah keluar dengan teman lelakinya. Tapi, sepertinya ada yang tidak beres, dia terlihat Sempoyongan waktu berjalan. Dan yah ... akhirnya aku ikuti mereka,"jelas Erik.

"Tapi, tidak ada aroma minuman yang kucium sedari tadi bersamanya. Tidak mungkin kalau dia teler."

"Aku juga tidak tahu, Tom, dia dicekoki apa."

"Obat h*rny mungkin. Cinta ditolak obat per*ngsang bertindak. Lelaki yang membawanya pasti pernah di kecewakan." tebak Tomi serius.

Erik melihat Tomi tak percaya, bahwa tebakannya benar.

"Kenapa bisa tahu? Kamu lelaki seperti itu, Tom?"

"Hah? Jadi benar?" Tomi terlihat tak percaya juga dengan ucapannya.

Sambil mengangguk erik menjawab Tomi, "Iya, Mba Kinar pernah cerita begitu soalnya. Bahkan aku tahu lelaki itu. Karena pernah beberapa kali bertemu dengannya, saat menjemput dia di tempat kerja.

"Hanya lelaki pecundang yang melakukan itu. Kalau aku, cinta di tolak, ya cari yang lain," kata Tomi sambil terkikik.

Erik hanya menanggapi dengan menyeringaikan bibirnya.

"By the way, lelaki yang bersamanya kamu apain, Rik?"

"Habislah."

"Sampai ma-ti?"

"Ya enggaklah, Tom. Cuma aku kasih pelajaran agar tidak jadi pecundang. Tapi, jika setelah ini aku dapat panggilan polisi, berarti dia tidak terima."

"Tenang, kalau sampai itu terjadi, aku punya orang yang bisa membelamu."

"Kenapa tidak kamu saja?"

"Hadeh, belum kelar dapat gelar S H."

Erik mengangguk dan tersenyum mendengar pernyataan Tomi.

"Oke, istirahatlah, Rik. Mau di sini atau di kamar lain?"

"Tidak, aku mau menemaninya, Tom."

Setelah itu Tomi keluar. Erik memperhatikan wajah Kinar dengan mulut sedikit terbuka dan dada yang naik turun. Erik lalu menuju Sofa panjang yang tidak jauh dari tempat tidur Kinar. Lama kelamaan, mata Erik sangat berat karena lelah dan mengantuk. Diapun memposisikan tubuhnya, sejajar dengan panjang sofa tersebut dengan kaki sedikit di tekuk. Kesadarannya pun hilang dan berganti dengan mimpi.

_____

Sinar matahari mengintip dari celah gorden bewarna abu-abu di kamar Kinar. Dia mencoba membuka mata ketika mendengar suara kicauan burung, menandakan hari sudah pagi. Hal pertama yang ingin dia lakukan adalah merentangkan tubuhnya. Tapi, bukan lega yang dia dapatkan, justru rasa sakit dari kepala sampai kaki terasa nyeri. Dia masih mencoba menyadarkan dirinya untuk bangun. Dilihatnya langit-langit , dinding dan ruangan disekelilingnya. Hingga dia menemukan sosok pemuda yang masih terpejam tidak jauh darinya.

Kinar perlahan bangkit dari tempat tidurnya, karena ingin ke kamar mandi. Kinar merasakan kepalanya masih berat. Dengan tertatih dia berjalan menuju ke tempat tersebut. Suara pintu terdengar saat di tutup. Erik membuka mata setelah suara itu membangunkannya. Erik kemudian bangun dan meyakinkan bahwa itu Kinar.

Setelah menuntaskan hajatnya, Kinar membasuh muka di 'wastafel' dekat kaca kamar mandi. Betapa kagetnya, Kinar melihat dirinya di cermin, mendapati dirinya sangat kacau. Dia meraba sudut bibirnya yang bengkak, dan pipinya yang lebam. Dia baru sadar bahwa ada tanda merah di dekat lehernya. Kemudian tangannya gemetar membuka kancing dressnya satu persatu. Kinar mendapati tanda merah yang sangat banyak di dadanya. Matanya mulai tergenang air, yang kemudian luruh begitu saja di pipinya. Isaknya semakin keras dan terdengar oleh Erik di luar. Erik bergegas berdiri dan mendekati kamar mandi.

Tok ... tok ... tok ...

"Mba, Mba Kinar."

Erik mencoba mengetuk pintu itu kembali. Tapi tidak ada respon dari dalam. Suara Kinar semakin terdengar menyayat di hati Erik. Dia membiarkan hingga tangisan Kinar mereda. Erik masih menungguinya di depan kamar mandi dengan perasaan berkecamuk.

Terdengar gagang pintu dibuka.

"Mba."

Kinar hanya terdiam melihat Erik di depannya.

"Mba, enggak apa-apa?" tanya Erik khawatir.

Kinar kemudian duduk di pinggir tempat tidur.

"Setelah ini kita visum, ya, Mba? Biar ada bukti kalau Mba telah mendapat penganiayaan. "

Kinar hanya diam, sambil mengusap air matanya yang luruh kembali. Erik mencoba memenangkan dengan memegang tangan Kinar.

"A-aku takut, Rik."

Kinar kembali menangis, hingga bahunya terguncang. Dengan ragu, Erik meraih tubuh Kinar kedalam pelukannya.

"Mba Kinar tidak usah takut. Ada aku buatmu, Mba. Selama aku masih hidup, tidak ada yang bisa nyakitin Mba Kinar."

Perasaan Kinar merasa lebih baik setelah mendengar perkataan Erik. Keheningan mereka tiba-tiba terganggu dengan suara gawai Erik yang berbunyi.

Bersambung

My Big BoyWhere stories live. Discover now