15

193 2 0
                                    

Kinar memainkan benda pipihnya sambil bolak-balik membuka percakapan pesan dirinya dan Erik. Dia memainkan layar untuk kembali menggeser percakapan lamanya dengan Erik. Kadang, Kinar tersenyum bahkan cekikikan sendiri ketika dia membaca ketikan Erik yang lucu. Sampai di percakapan terakhir yang dikirim Kinar, yang belum dibalas oleh Erik. Raut mukanya kembali gelisah memikirkan pemuda yang membuatnya sekarang seperti anak baru gede.

Tidak lama, ketika senja mulai terbenam, dari dalam rumah, Kinar mendengar raungan motor Erik yang melewati depan rumahnya. Suara itu kemudian berhenti. Niat hati Kinar untuk langsung menemui pemuda itu, tapi, dia urung, karena di rumahnya, ayah Erik masih di sana.

Kinar menulis pesan di gawainya, yang di tujukan untuk Erik. Tapi, dia menghapusnya kembali karena ragu.

"Eriiiik, kenapa kamu membuat aku seperti ABG yang baru mengenal cinta," gumam Kinar, sambil memukul-mukul  pelan 'smartphonenya' ke dahinya. Berkali-kali ingin menulis sesuatu ke ikon pesan dalam gawainya, namun lagi-lagi tidak jadi.

"Ah sudahlah!" kata Kinar dengan kesal.

_____

"Erik, waktunya kamu ikut Papa. Terlalu lama waktuku untuk bersabar agar kamu kembali kepadaku," kata Surya meyakinkan anak lelakinya.

Erik duduk di depan ayahnya, bersandar sofa empuk di samping Eyang.

"Aku belum lulus. Belum ada pengumuman dari sekolah. Biarkan aku menikmati semua ini dengan Eyang dulu." Erik menjawab ayahnya tanpa menggunakan panggilan antara ayah dengan seorang anak.

"Eyang akan ikut kemanapun kamu mau, Rik. Iya, 'kan, Bu?" Surya menatap mantan mertuanya dengan penuh permohonan.

"Tunggu pengumuman lulus dari sekolah. Setelah itu akan kupertimbangkan lagi, " kata Erik, tak acuh.

"Erik, jaga sikapmu. Bagaimanapun dia papamu. Coba liat, kita tidak kekurangan apapun setelah mamamu meninggal." Eyang mencoba menasehati Erik dengan lembut, agar bersikap lunak kepada ayahnya. "Papamu bertanggung jawab penuh atas kamu dan Eyang. Kita semua kehilangan, kita semua terpukul atas kepergian mamamu. Tapi, semua sudah takdir. Kita .... "

"Dan takdir itu bisa berubah, jika dia tidak meninggalkan Mama!" kata Erik memotong pembicaraan Eyang, dengan penuh emosi, sambil menunjuk lelaki yang matanya mulai berkaca-kaca dan mengeratkan rahangnya.

"Iya, semua salah Papa, Rik. Tapi, Papa menyesal dan akan menebus semuanya. Papa akan  ...."

"Anda tidak akan berbicara seperti itu, jika istri anda yang pertama mempunyai anak perempuan? Benar, 'kan, Bapak Surya Adiwijaya?" Erik menekankan kata yang menyebut nama ayahnya tersebut.

"Kamu butuh penjelasan apa untuk membuktikan bahwa Papamu yang egois ini sudah berubah? Bahkan, perjanjian dengan Kakekmu, yang menuntut anaknya mempunyai anak laki-laki, sudah tidak aku pedulikan." Surya mengeluarkan sebuah kertas yang sudah di laminating dari dalam tas jinjing yang dia bawa.

"Ini perjanjian asli dari Kakekmu, resmi dan sah secara hukum. Lihatlah, Erik!"

Surya mengambil korek api stainless yang berada di sakunya. Kemudian, memba-kar kertas yang di lapisi plastik tersebut di hadapan anak lelakinya. Api kecil di pojok kertas, kini melahap plastik hingga meleleh dan terba-kar. Pemandangan itu disaksikan Erik dan Eyang.

"Kamu bukan perjanjianku dan Kakekmu, Nak. Kamu adalah harapan dan masa depanku bersama mamamu. Bahkan, Kakekmu tidak tahu, kalau aku dan Rita mempunyai anak laki-laki."

Erik hanya terdiam ketika ayahnya mengatakan hal tersebut.

"Lalu  ... semua yang kamu berikan kepada kami?" tanya Eyang, kepada mantan menantunya.

Surya tersenyum melihat ekspresi Eyang yang penasaran.

"Aku bekerja keras, Bu. Bahkan kedua istriku telah aku ceraikan. Tapi, aku masih bertanggung jawab dengan kedua putriku. Sampai sekarang pun aku masih membiayainya seperti Erik."

Ruang nampak hening. Hingga Surya memecah suasana di sana.

"Aku mencintai Rita. Tidak ada yang bisa menggantikannya. Keadaan yang membuatku untuk meninggalkannya. Sampai sekarang, aku tidak peduli dengan warisan Papa. Mungkin, Om kamu yang sudah menerima semua itu, Erik. Karena, dia mempunyai anak laki-laki. Tapi, ya ... Is okay, bagaimanapun, dia adikku juga, " jelas Surya, kepada keduannya.

Erik menyunggingkan senyum serta mencemooh perbuatan ayahnya. "Tetap saja, anda lelaki egois yang menelantarkan istri-istrinya."

Dengan menghela napas berat, Surya berkata pada Erik. "Biarlah aku egois, daripada harus hidup tersiksa dengan wanita yang tidak aku cintai. Hubunganku dengan mereka hanya sebatas untuk mempunyai anak laki-laki, tapi gagal. Merekapun sudah menikah, tapi, tanggungjawabku sebagai ayah dari putri-putriku tetap aku pikul, sampai mereka menikah nanti."

Eyang meneteskan air mata, ketika Surya menjelaskan tentang kehidupannya saat ini.  Surya mendekat dan duduk berjongkok di hadapan ibu dari wanita yang pernah di cintainya.

"Maafkan aku, Ibu. Meskipun sangat terlambat. Selama ini aku lebih nyaman hidup sendiri bersama kenanganku dan Rita. Untuk itu, kembalilah padaku, Ibu, Erik." Surya memandang keduanya secara bergantian.

Eyang menangis hingga bahunya berguncang. Erik terlihat ikut menangis, tapi, buru-buru memalingkan wajah dan mengusap pipinya.

Surya berdiri merapikan dirinya sertas tas yang sempat dibukanya.

"Baiklah, aku pamit. Dan tolong pikirkan baik-baik tentang perkataanku tadi. Ibu, maaf, telah membuat lantaimu kotor. Erik, Papa pamit."

Eyang hanya menganggukan kepala tanpa berbicara. Erik, tetap membuang muka, meskipun ayahnya berpamitan secara baik-baik.

Bersambung

My Big BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang