21. SOUNDS SO PATHETIC

Start from the beginning
                                    

Pundak Gemala merosot. "Kenapa? Emang sejauh apa sih? Ke luar kota? Luar negeri? Gue mau kok LDR."

Menelan salivanya, Hugo menghela napas, menatap Gemala dengan tatapan yang bikin Gemala tersentak. "Sorry, Gem."

"Jadi ... lo sebenernya mau putus?" Dibalik kacamata berbingkai hitam itu, mata Gemala mulai berkaca-kaca.

"Nggak tau. Gue lagi nggak bisa buat pilihan untuk saat ini. Selama ini, gue udah banyak bikin lo sakit, LDR itu terlalu banyak resikonya, gue nggak bisa janjiin apa-apa sama lo. Mungkin bakal lebih baik kalau kita udahan."

Gemala menggigit bibir bawahnya, menatap Hugo dengan pandangan memburam, sedangkan Hugo cuma diam, jauh di lubuk hatinya, dia nggak tega, tapi mau gimana lagi? Hugo nggak bisa janji di saat dia nggak punya kapasitas buat nepatin janji itu.

"Gem, kenapa lo masih bisa suka sama cowok brengsek kayak gue di saat lo bisa dapet yang lebih baik?" tanya Hugo, tiba-tiba tercetus pertanyaan itu.

Tatapan Gemala tampak sendu. "Jangankan elo, Go, bahkan gue sendiri sering nanya begitu ke diri gue. Gue pikir, gue emang udah kelewat bodoh, karena yang awalnya ngizinin lo buat punya hubungan sama gue ya gue sendiri. Gue udah merasa percaya kalau gue nggak mungkin suka sama cowok kayak lo, sedangkan gue tau kalau lo cuma main-main dan jadiin gue bahan gabut doang."

"Tapi apa? Akhirnya gue cuma jilat ludah gue sendiri, gue nggak pernah niatin buat suka, apalagi sampai nyaman sama lo, gue juga nggak tau, kenapa dari sekian banyaknya cowok, gue malah nyaman sama lo?"

Hugo nggak nyahut, dia tiba-tiba berdiri. "Gem, kalau besok gue udah nggak masuk sekolah lagi, berarti kita udah nggak punya hubungan apa-apa. Lupain orang brengsek kayak gue nggak akan berat buat lo."

Setelah itu dia pergi, ninggalin Gemala yang masih duduk di tempatnya. Nggak ada yang bisa Gemala lakuin, dia cuma lihat Hugo pergi tanpa bisa mengejar. Cewek berkacamata itu menggigit bibir dalamnya dan mengambil napas dalam.

"Harusnya emang nggak berat, kan? Tapi kenapa rasanya sakit banget," gumam Gemala. Cewek itu menunduk dengan mata berkaca-kaca, ia meremat kain rok seragamnya, lalu segera beranjak dan pergi dari sana.

***

Hugo sudah lemas, letih, lesu, dia sama sekali nggak fokus ketika di kelas, bawaannya mules, lemas, dan overthinking menunggu papanya datang ke sekolah dan memanggil Hugo buat urus berkas-berkas pindah sekolahnya.

Tapi, Hugo tunggu sampai jam sekolah selesai dan sekolah hampir kosong, dia sama sekali nggak mendapati kedatangan papanya. Padahal, sewaktu jam istirahat juga, Hugo memantau parkiran, kalau-kalau papanya datang waktu jam makan siang, tapi ternyata nggak ada apa-apa.

Apa papanya sudah datang dan mengurus semuanya ketika Hugo sedang di kelas? Apa ingin secepat-cepat itukah papanya mengurus semua sampai nggak mau diribetin sama Hugo?

Hugo menghela napas panjang, sebelum pergi dari lingkungan sekolah, dia sempat memandangi gedung dan lapangan sekolahnya dengan sendu. Menyedihkan. Hugo betulan miris dan menyedihkan.

Ketika sampai di rumah pun, Hugo cuma mendekam di kamar setelah dia cari mamanya dan ternyata Ghea nggak lagi ada di rumah. Cowok itu diam di kamar sampai ketiduran, ketika terbangun dan memutuskan buat keluar kamar, ternyata papanya ada di ruang tengah lagi pantengin iPad sambil minum kopi.

Kendati sebetulnya Hugo sungkan dan agak takut, tapi Hugo tetap beraniin diri buat bertanya, "Papa jadi ke sekolah hari ini?"

Tapi nggak disahutin sama Raka. Papanya itu cuma diam, nyeruput kopi, menoleh sebentar lalu lihatin iPad-nya lagi. Hugo seketika langsung gentar. Nggak mau menyerah di situ, Hugo bertanya lagi.

When The Sun Is ShiningWhere stories live. Discover now