"Ini mau makan," jawab Ghea, membuat Hugo menunduk dengan ekspresi masam.

Bahkan mamanya rela menunda makan malam agar bisa makan menemani Hugo. Sederhana, tapi hal itu membuat Hugo semakin merasa bersalah.

"Kenapa? Kok cemberut lagi?" tanya Ghea, membuat Hugo agak tersentak, lalu menggeleng-geleng.

Cowok itu segera meraih sendok dan menggeser lebih dekat piring makanan yang sudah disiapkan sang mama. "Nggak ada. Makasih ya, Ma."

"Makasih?"

Hugo melipat bibirnya dan mengangguk dua kali. "Makasih udah jadi mamanya Hugo."

Ghea tersendat, lalu beberapa saat setelahnya, ia tersenyum dan balas mengangguk. "So, makasih juga karena udah mau jadi anaknya Mama," balasnya. "Dah, ayo makan, keburu dingin nanti makanannya."

Hugo lalu menyuapkan suapan pertama, beberapa kali kunyahan sampai rasa dari makanan yang ada di dalam mulutnya menyebar, membuat hatinya seperti dibungkus sesuatu yang hangat. Sesuatu yang sangat emosional hingga membuat Hugo nyaris menangis.

Melihat Hugo yang tiba-tiba membeku dan terdiam, Ghea pun tampak heran dan bertanya-tanya. Apa ada yang aneh dari rasa makanannya?

"Kenapa? Nggak enak ya?" Ghea bertanya.

Hugo mendongak spontan, lalu ia mengerjap dan mengangguk-angguk. "Enak kok. Enak banget. Masakan Mama selalu enak," pujinya.

Dengan air mata yang menggunduk, Hugo kembali menyuap makanan ke dalam mulutnya. Demi Tuhan, makan sambil nahan nangis itu nggak enak. Hugo nggak pernah seemosional ini cuma karena makanan, setelah berhari-hari dia terus membeli makanan dari luar, sekarang dia bisa kembali menikmati masakan mamanya, rasa yang tak akan dia temukan di mana pun.

Sedangkan Ghea hanya memperhatikan dengan senyum teduh, tanpa sadar kalau dari balik tembok, ada mata lain yang mengawasi mereka dengan senyuman yang penuh arti, because something was melted in his heart.

Usai makan malam, Ghea meminta yang lainnya untuk masuk ke kamar masing-masing, termasuk Mbak Aida. Bahkan, saat suami dan anak-anaknya menyantap makan malam, Ghea hanya diam saja memerhatikan, ketika ditanya, wanita itu menjawab jika ia akan makan nanti setelah mereka. Ghea memang sengaja, agar ia bisa menemani Hugo makan malam.

Seperti yang ia katakan, makan sendirian itu nggak enak.

Tak banyak obrolan di antara ibu dan anak itu, sebab Ghea membiarkan Hugo untuk menikmati makan malamnya tanpa mendistraksi dengan obrolan. Setelah selesai, barulah Raka yang daritadi hanya berdiri di balik tembok, masuk ke dapur, bepura-pura mengambil air di dalam kulkas.

Lalu ia berbalik dan pura-pura baru menyadari adanya Hugo di sana. "Lah, ada orang lagi ternyata."

"Gimana? Enak nggak hidup bebasnya?" ujar Raka, mengarah pada Hugo.

Disapa kayak begitu sama papanya, Hugo cuma nunduk, nggak berani berkutik, dia juga nggak punya argumen buat balas.

"Papa." Ghea menegur.

"Nanya doang, Ma. Kemarin ngotot, kan, tuh nggak mau diatur, setelah nggak diatur beneran gimana? Enak apa enggak? Enak dong, hidup bebas mana yang nggak enak," ujar Raka berkedok sindiran halus.

"Maaf, Pa," cicit Hugo, telinganya memerah.

Hugo itu punya ego yang tinggi, kalau dalam situasi normal, dia pasti bakalan balas ucapan papanya, tapi karena situasinya beda, jadi Hugo nggak punya kalimat yang bisa dikeluarkan selain kata maaf, kendati ia betul-betul merasa malu.

"Gimana? Nggak denger."

"Maafin Hugo." Hugo mengulangi lebih keras, sesekali ia mendongak meski tak sepenuhnya menatap Raka.

When The Sun Is ShiningWhere stories live. Discover now