MS. 17

3K 145 5
                                    

"Amora, apakah kamu benar-benar belum bisa menyingkirkan anak sialan itu?"

"Aku belum bisa, Ma. Acha sekarang berbeda sekali."

Wanita parubaya yang di panggil Ma oleh Amora itu memijit pelipisnya. Wanita itu menatap tajam Amora yang kini menunduk.

"Kenapa kamu tidak berguna sekali, Amora?!" pekik wanita itu kesal.

Amora meremas pakaiannya. Kesal, marah, sedih yang dirasakan Amora. Kenapa wanita di hadapannya ini tak mengerti dirinya?

Memberanikan diri, Amora mendongak menatap mata wanita itu. "Mama bisa tanya kepada Kakak. Jangan salahkan aku terus, aku juga cape, Ma!" tanpa sadar, Amora meninggikan suaranya.

Plak!

Kepala Amora tertoleh kesamping. Seketika rasa panas menjalar diarea pipinya karna tamparan wanita itu. Sudah di pastikan kini pipinya berwarna merah. Atau mungkin sudah berdarah?

"BERANI-BERANINYA KAMU MENINGGIKAN SUARA DIDEPAN MAMA?!" teriak wanita itu tepat diwajah Amora.

"Contoh Kakak kamu! Dia lebih berguna, tidak seperti kamu!"

"Dan ingat, masih ada Adeline yang harus bisa kalian singkirkan."

Setelah mengucapkan itu, wanita itu pergi tanpa memikirkan perasaan putrinya.

"Kenapa Mama enggak pernah ngertiin gue? Gue juga pengen kayak Kak Anin!" lirih Amora menunduk.

"Lo enggak akan pernah jadi gue, Amora."

Amora lantas mendongak, menatap siapa yang berbicara. Anin, Kakak perempuan Amora yang berbicara.

"Lo itu emang enggak berguna!" desis Anin tersenyum sinis lalu meninggalkan adiknya yang memandang benci padanya.

Amora mengepalkan kedua tangannya erat. Gue benci lo, Anin.

***

Sudah satu minggu Karen bersekolah di SMA Generasi Bangsa. Selama itu pula Karen bisa berkumpul kembali dengan kedua sahabatnya-Kayle dan Lussy. Eh, ralat! Ketiganya termasuk Marsha or Shafa.

"Nanti libur sekolah kita liburan yuk!"

Kayle dan Lussy saling memandang mendengar celetukan Karen yang terdengar antusias. Saat ini mereka tengah berada di kantin, menunggu jam masuk.

"Kalian ... gak mau, ya?" Karen melirih diakhir, menatap sendu ketiganya yang hanya terdiam.

Selama ia bersekolah disana, selama itu pula dia tidak merasakan keganjalan apapun. Dia sempat bertanya pada Kayle dan Lussy mengapa mereka pindah mendadak, dan jawaban mereka seperti ini;

"Gue cuma gak mau nginget kenangan disana bersama Shafa."

Simple. Namun, jawaban itu cukup membuat Karen tak bertanya kembali. Dan tentunya Kayle dan Lussy hanya bisa tersenyum sinis menanggapinya. Walaupun tidak secara terang-terangan dihadapannya.

Marsha yang mengerti jika keduanya menunggu jawaban atau persetujuan darinya, lantas menjawab. "Gimana nanti."

Oke, jawaban yang menurut mereka sudah cukup. Namun, sepertinya bagi Karen itu belum cukup.

Karen mengerucutkan bibirnya, "Harus jadi, dong!" itu permintaan atau lebih ke maksa, sih?

Bukannya lucu, bagi mereka bertiga itu lebih ke menyebalkan. Apalagi tadi perkataannya seakan memaksa. Hey! Memang dia siapa?

Tbc~

Sorry prenn bab pendek:)

Biar gak bosen juga gak sih?

-Grazie Mille❤️

Shafa's TransmigrationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang