26

41 7 1
                                    

Selama hampir seminggu Abel masih dihantui trauma masa lalu akibat Arthur. Ia menjadi lebih pendiam dan pemurung. Melihat itu, Harry jadi tidak tega untuk pergi ke kantor dan meninggalkannya sendirian di rumah.

Terkadang Abel melamun saat Harry sedang berbicara dengannya. Pria itu harus perlahan menyentuh Abel agar ia sadar, tanpa harus terkejut. Jika Harry tidak ada, maka pikiran Abel akan selalu kosong dan itu berbahaya bagi kesehatan mentalnya.

Hampir satu minggu menemani Abel di rumah, Harry sampai lupa dengan kewajibannya dan kesibukannya dalam dunia pekerjaan.

Pagi tadi Harry baru kembali melihat jadwalnya di kalender dan ia ingat kalau 2 hari lagi ia akan pergi ke luar kota dalam rangka proyek rahasia milik kliennya. Karena judul 'rahasia' itulah Harry tidak bisa mengajak Abel.

Klien itu berkata sangat jelas bahwa ia tidak menginginkan orang lain di sana selain Harry dan asisten atau sekretarisnya, yaitu Rebecca.

Proyek ini juga telah direncanakan berbulan-bulan sebelum Harry dan Abel menikah. Harry berpikir bahwa waktu ini bisa ia gunakan untuk berjalan-jalan dengan Rebecca yang, saat itu, masih berstatus sebagai pacarnya.

Sekarang, Harry sedang bersama wanita lain yang ternyata lebih berharga di hidupnya dan pikiran soal Rebecca selalu dihempasnya.

Memeluk tubuh rapuh Abel, pandangan Harry berkali-kali berganti dari TV ke wajah istrinya. Abel terlihat nyaman bersandar di tubuh Harry sambil mengelus Rookie.

"Isa." Panggil Harry.

Kemudian gadis itu mengangkat kepalanya hingga mata mereka saling bertemu.

"Aku mau bicara tentang sesuatu."

Mendengar nada serius Harry, pun Abel menegakkan posisi duduknya dan bergeser untuk lebih berhadapan dengan Harry. Mata besar Abel mengedip beberapa kali, menunggu apa yang Harry hendak  katakan.

"2 hari lagi aku harus ke luar kota buat kerjain proyek rahasia klien aku."

Terlihat Abel menelan salivanya. Wajahnya juga berubah tegang setelah mendengar kabar mendadak itu.

"Kok tiba-tiba?" Tanya Abel dengan suara kecil.

"Enggak, Isa. Proyek ini udah direncanakan sekitar 5 bulan yang lalu. Aku cuma lupa ngasih tau ke kamu, dan aku baru inget hari ini."

Abel menghela napasnya dan matanya terpejam untuk beberapa detik sebelum terbuka kembali.

"Aku ikut."

Dengan nada lembutnya, Harry merespon, "Maaf, Isa, kamu gak bisa ikut. Ini 'kan proyek rahasia. Klien aku gak mau ada orang lain selain tim dia sama aku dan asisten aku."

Mendengar kata 'asisten' otak Abel lansung menampilkan wajah Rebecca dengan sangat jelas. Perasaannya kini semakin gelisah. Abel masih belum tau jelas hubungan antara Harry dan Rebecca dan kini ia harus menerima kalau mereka berdua akan pergi tanpa Abel.

Ya, walaupun akan ada orang lain di sana, bagaimana kalau mereka sedang luang?

"Sama Rebecca?"

Harry mengangguk, membenarkan tebakan Abel.

Ingin sekali rasanya Abel mengaku kalau ia tidak percaya jika Harry dan Rebecca pergi bersama. Namun di sisi lain, Abel tidak punya mood yang cukup tinggi untuk melawan lagi.

"Oke." Balas Abel, singkat. Ia kini bersadar di sofa. Duduk bersila, kedua lengan Abel juga dilipat di depan dada. Ia kembali memfokuskan pandangannya ke arah televisi juga.

Jelas saja Harry keheranan. Awalnya ia mengira Abel akan mendesak Harry untuk mengajaknya, atau memaksanya untuk tidak pergi bersama Rebecca. Respon itu akan lebih baik daripada Abel tidak berkata apa-apa seperti sekarang ini. Harry tidak bisa mengetahui perasaan Abel yang sebenarnya jika dia hanya diam.

Arranged//H.S.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang