9

54 13 6
                                    

Tepat setelah permintaan Abel di kantor Harry, mereka tidak mengucapkan apa-apa lagi selain Harry yang menawarkan makan siang di kantin kantor.

Sejujurnya Harry menyesali perbuatan kasarnya pada Abel karena itu yang menjadi penyebab Abel diam dan tidak bawel seperti biasanya. Namun Harry tidak ingin terlihat ia memohon Abel yang lama untuk kembali. Ego.

Sesampainya mereka di rumah pun, Harry langsung masuk ke ruang kerjanya dan melanjutkan beberapa pekerjaannya yang hampir selesai. Ia tidak tau apa yang Abel lakukan.

Kini jam sudah menunjukkan pukul 8 malam dan Harry baru selesai dengan urusannya di ruang kerja. Iapun keluar dari ruangan itu dan beranjak ke dapur untuk melihat bahan-bahan apa yang bisa ia olah untuk makan malam.

Namun belum sampai ke dapur, kaki Harry berhenti di dekat ruang tengah saat ia mendengar suara tangisan.

Siapa lagi kalau bukan Abel?

Rasa khawatir Harry membuncah. Ia mempercepat langkahnya ke ruang tengah dan mendapati layar televisi di depan Abel sedang memperlihatkan film Miracle in Cell No. 7 yang dijeda, sementara Hazel meringkuk di sofa, memeluk bantal yang biasa Harry gunakan untuk tidur.

"Isa..." Panggil Harry, seraya mendekat.

Gadis itu tidak menyahut, melainkan berhenti terisak. Ia seolah tidak ingin Harry mengetahuinya sedang menangis, tetapi terlambat karena pria itu sudah terlebih dahulu duduk di sebelah Abel, menatapnya dengan khawatir.

"Kamu kenapa?"

"Gapapa. Gue lagi gak mau ngobrol, Harry." Abel mengusir secara lembut, namun Harry tidak menyerah.

"Kamu nangis kejer."

"Lo gak liat gue lagi nonton film apa? Ya, jelas gue nangis." Balas Abel, ketus.

Harry benar-benar yakin kalau gadis itu sedang berbohong. Abel, perempuan bandel, tidak mungkin mudah menangis hanya karena film emosional.

"Kamu kenapa, Isa?" Tanya Harry lagi.

Nada bicara Harry lebih dilembutkan lagi dan hal itu sepertinya bekerja karena Abel menjadi termenung.

Tak lama setelahnya, air mata Abel turun lagi sebelum ia menjawab pertanyaan Harry dengan jujur.

"K-kangen Papa..."

Pria itu menghela napasnya kemudian menarik Abel ke dalam pelukan, menghusap kepala dan punggungnya demi menyalurkan rasa tenang untuknya.

Abel sendiri terlihat tidak memberontak seperti biasanya. Mungkin karena ia lelah menangis dan sudah pasrah.

"Saya matiin aja Netflix-nya, ya? Dari pada kamu tambah kejer nangisnya."

Abel mengangguk di dada Harry, masih sesenggukan. Pun Harry meraih remot televisi tanpa melepas pelukannya pada Abel dan mematikan televisi, penyebab tangisannya.

Untuk beberapa saat, Harry tetap pada posisinya, membiarkan Abel menjadikan kaus Harry sebagai tumpahan air matanya.

Jauh di dalam hati, Harry merindukan pelukan ini.

"Udah nangisnya. Mata kamu nanti bengkak." Harry menangkup wajah Abel, menyekka semua air mata dari wajah gadis itu. "Apa yang kamu kangenin dari Papa kamu?"

Abel menarik napasnya dalam-dalam, "Papa gak pernah kasar. Dia gak pernah marah sama gue."

Jawaban Abel membuat Harry terpukul. Pasti gadis itu teringat akan Harry yang mencengkram tangannya dan berbicara dengan nada tajam.

"Maaf kalau kemarin saya kasar sama kamu. Saya gak maksud buat nyakitin kamu."

"Hmm.."

"Gimana kalau besok saya anter kamu ke makam Papa?"

Arranged//H.S.On viuen les histories. Descobreix ara