14. MABUK

29 4 19
                                    

Selamat membaca


Di depan sana terdapat anak kecil laki-laki sedang berjongkok dan memunggungi anak kecil perempuan yang sedang memainkan gelembung sabun.

"Arlo, mau coba nggak? Ini seru banget loh!" seru anak kecil perempuan itu sambil tersenyum lebar seraya menerbangkan gelembung sabun ke udara.

"Nggak kamu aja," ucapnya tak acuh.

Gadis kecil itu berhenti dalam permainannya lalu memandang punggung kecil di hadapannya persis. Perlahan duduk di bangku yang cukup tinggi tetapi masih bisa ia jangkau dan duduk dengan benar.

"Kenapa sih? Kayanya murung terus dari kemarin." Tatapan matanya masih mengarah pada tubuh yang sama kecilnya dengannya. Sembari mengayunkan kaki kecilnya dan menunggu jawaban dari orang di depannya.

"Kata Ibu Sani juga akhir-akhir ini banyak diemnya. Makan pun nggak habis, di ajak main sama temen-temen nggak mau, diem aja di kamar. Ada apa?" Pertanyaan beruntun tadi sudah tak terbendung. Sudah di tahan kurang lebih satu Minggu, dan kini ia tak tahan untuk menanyakannya.

Yang di tanya malah diam padahal gadis kecil tadi masih menunggu jawabannya, seperti enggan menjawab.

"Ley," panggil anak laki-laki itu pada akhirnya.

Gadis kecil itu mengangkat kepalanya yang semula tertunduk. "Hmm?"

"Kalau suatu saat kita pisah, jangan lupain aku, ya. Kalau kamu bingung cari aku, tinggal cari aja yang di lengannya ada tiga tahi lalat seperti bentuk segitiga di sebelah kanannya, itu sudah pasti aku orangnya."

Tubuhnya tak berkutik sedikitpun. Masih setia memunggungi gadis kecil itu.

"Kenapa ngomong kaya gitu? Kita nggak bakal pisah," ujar gadis kecil itu. Entah kenapa juga perkataan barusan terasa menyedihkan di telinga kecilnya.

"Kalau, Ley. Aku bilang kalau," ujarnya.

"Nggak ...." lirihnya.

"lengan, tiga tahi lalat berbentuk segitiga sebelah kanan. Jangan sampai lupa."

"Ley, hidup dengan kebahagiaan, ya."

Keringat sebesar bulir jagung menetes sangat deras melewati pelipis serta leher. Kerutan di dahinya semakin banyak bahkan tanpa sadar tanganya meremas selimut begitu kuat. Hingga detik berikutnya seorang gadis terbangun dari mimpinya. Mimpi yang sangat membingung.

Gadis itu memegang dadanya yang naik turun, napasnya tersengal-sengal seperti habis di kejar-kejar. Sampai akhirnya ia memilih duduk sembari memenangkan dirinya. Mimpi macam apa barusan.

"Siapa anak kecil laki-laki tadi?" gumamnya pelan.

"Aneh banget. Nggak sekali aja mimpi ini terus mampir, hampir satu bulan belakangan sering banget mimpi dua anak kecil itu, mereka siapa?" ucapnya tampak frustasi.

Sabita mengusap wajahnya dan menenggelamkan wajahnya di sela-sela tangan dan lutut. Mencoba mengingat kejadian barusan, pasalnya ia tak bisa melihat wajah dua anak kecil tadi, keduanya memunggunginya.

Sabita mengangkat kepalanya perlahan masih dengan kepala yang sibuk mengingat. "Arlo dan Arley, siapa mereka?"

Akhirnya ia berusaha mengingat kembali saat dirinya masuk ke dalam mimpinya sendiri. Sabita seorang diri, di tempat yang tampak tak asing. Tempatnya tak luas hanya ada halaman kecil yang cukup untuk bermain dua orang.

Di depan sana terdapat dua anak kecil. Yang satu perempuan tengah duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu. Sedangkan anak kecil satunya laki-laki yang bermain di depan gadis kecil dengan posisi memunggungi. Sabita tak bisa melihat wajah kedua anak kecil itu, bahkan seluruh tubuhnya tak bisa di gerakan entah kenapa.

NISCALA & AMERTAМесто, где живут истории. Откройте их для себя