13. PERASAAN APA ITU?

35 4 37
                                    

Selamat membaca.


Zeekara menatap Ibunya gamang. Ia marah, ia kesal, ia benci dalam satu waktu. Kejadian kemarin adalah pikiran jelek Zeekara yang tak pernah Zeekara kira akan terjadi dalam waktu dekat. Dari dulu, ia selalu mewanti-wanti agar ayahnya tak menapakkan kakinya di rumahnya.

Jika sudah begini, semuanya susah. Emosi Mariska jadi tak terkontrol, dan Zeekara harus siap sedia di sampingnya agar kejadian dulu tak terulang lagi. Mariska jadi lebih berbahaya jika di biarkan sendiri, maka dari itu hari ini ia memutuskan tak ke tempat latihan.

Tomo keterlaluan, dan Zeekara sangat muak dengan sikap keras ayahnya yang tak pernah berubah. Sudah ribuan kali di peringatkan, tetapi tetap akan melanggar keesokan harinya, entah apa yang ayahnya pikirkan sampai senekat ini.

Tanpa sadar air mata di sudut mata menetes tanpa di minta. Zeekara sedih, ia tak bisa mencegah pertemuan ibu dan ayahnya kemarin. Padahal dirinya sudah berjanji tidak akan mempertemukan keduanya karena Mariska akan seperti wanita gila.

"Ibun. Maaf ya, belum bisa jadi anak yang baik buat, Ibun." lirih Zeekara sambil menunduk. Menahan isakan nya agar tak terlalu terdengar.

"Kara gagal jadi anak ..."

"Luka lama Ibun jadi kebuka lagi. Padahal mati-matian sudah Ibun tutup biar nggak sakit lagi. Pasti pikiran Ibun kacau sekarang." Zeekara tak bisa menahan tangisnya, air matanya semakin deras.

"Kara janji selanjutnya kejadian ini nggak bakal ke ulang lagi, Kara janji ..."

"Kara mohon Ibun, jangan jatuh karena Ayah lagi. Kara nggak kuat liatnya," ujar Zeekara pedih.

Zeekara semakin menunduk tanda tak kuat menahan tangisnya. Hal yang paling Zeekara takutkan terjadi hari ini, hari dimana Mariska kembali menjadi sosok lain. Zeekara pastikan, entah Zeekara atau Mariska yang akan tamat selanjutnya.

Tanganya ia remas kuat-kuat, agar tangisnya tak semakin kencang. Takut membangunkan sang ibu yang akhirnya bisa tertidur setelah tenang. Dua jam, selama itu Zeekara berusaha membuat ibunya tenang dan sekarang bisa tertidur. Selama itu juga hanya di isi oleh ocehan Mariska yang tiada henti.

"Kara ..."

Zeekara buru-buru mengusap air matanya dan mendongak menatap ibunya sambil tersenyum. Ia mendekat pada Mariska yang semula duduk di kursi rias.

"Maaf ya, Kara berisik ganggu Ibun tidur." Zeekara mendekat pada ibunya.

Mariska menatap putrinya tanpa kedip. Membuat Zeekara jadi was-was sendiri.

"Ibun istirahat lagi ya, nanti Kara keluar biar Ibun bisa istirahat dengan tenang." Zeekara menata selimut ibunya agar nyaman.

"Nanti Kara bangunkan kalo sudah waktunya minum obat. Oh iya, Ibun pencet bel ini ya kalau butuh apa-apa." Tunjuk perempuan itu pada bel yang sengaja di pasang di dekat nakas yang bisa di jangkau oleh ibunya.

Bel nya sudah di pasang lama. Sejak mereka berdua pindah kesini. Untuk jaga-jaga kalau Mariska sedang kumat dan butuh bantuan Zeekara.

"Kara keluar ya, Ibun istirahat aja." Zeekara hendak keluar tetapi di tahan oleh ibunya.

"Kenapa? Ibun butuh sesuatu?"

Genggaman di tangan Zeekara semakin menguat membuat gadis itu meringis kesakitan merasakan kuku tangan ibunya yang semakin menusuk kulitnya.

"Ibun tangan aku sakit," ringis gadis itu. Ia mencoba melepaskan dari genggaman ibunya tetapi tak bisa.

"Kamu kenapa masih di rumah!" teriakan Mariska membuat jantung Zeekara hampir copot.

NISCALA & AMERTAWhere stories live. Discover now