THE LEATHER JACKET

Start from the beginning
                                    

Ayah malah tertawa pelan sambil memandangi bidak raja yang baru saja kuletakkan. Raja yang seharusnya bisa melakukan apa saja pada pion-nya, kini malah dipermalukan oleh pion-pion itu. Kurasa, ia merasa tersinggung atas perilaku tak sopan barusan.

"Kau perlu dihajar," ucapnya.

Jantungku hampir berhenti berdetak ketika Ayah melesat cepat dan menarik kerah bajuku. Entah kenapa cengkraman tangan besar Ayah membuat napasku sesak bukan main. Ayah lalu melayangkan pukulannya menghantam pipiku. Belum sempat menyeimbangkan diri, Ayah menarik lagi pakaianku dan memberikan pukulan lainnya pada wajahku hingga aku jatuh di bawah kakinya.

"Tolong, jangan sampai ibuku tahu," lirihku sambil menatap sandal rumahnya. "Jangan katakan apapun pada Ibu. Jangan biarkan Ibu tahu Ayah memukulku."

Ayah hanya terkekeh mendengar rintihanku. Tangan besarnya lalu meraih daguku agar menghadap padanya. Ia lagi-lagi menatap mataku yang sedang diselimuti kabut karena kehilangan daya.

"Ibumu tidak akan tahu. Berdirilah."

Aku berdiri kepayahan, dibantu oleh Namjoon yang dengan cepat menggapai lenganku. Namjoon bahkan membantu merapikan pakaiaku yang terkoyak akibat cengkraman Ayah tadi.

"Katakan dari mana saja kau selama beberapa hari ini?" tanya Ayah membelakangiku.

"Tempat Jimin."

"Lalu apa maksudmu membuat kekacauan di pesta Seokjin?"

"Hoseok-hyung membuatku marah, Ayah."

"Satu-satunya yang membuat semua orang marah adalah kau!"

Aku hanya terdiam sambil mengumpat dalam hati. Aku tahu kesalahanku hari ini. Aku memang selalu mengacau di pesta Seokjin-Hyung setiap kali aku hadir. Jadi, mengapa ia tidak membiarkanku bermain di luar saja? Bukankah akan lebih baik jika aku tidak hadir sejak awal?

"Kenapa kau tidak hadir di acara inti?" tanyanya lagi.

Tidak ada kata-kata yang bisa kulontarkan. Mulutku terasa pahit sehingga enggan untuk bicara. Aku hanya memandangi punggung besar Ayah yang terlihat sangat jauh dariku, seperti bukan sesuatu yang bisa kusentuh. Punggung besar Ayah seharusnya menjadi tempatku bersandar meski hanya sesekali, namun punggung itu selalu menjauh dan semakin jauh.

Selama aku hidup, belum pernah sekalipun ia memegang punggung Ayah hanya untuk sekedar bertumpu. Tangan besar itu juga tidak pernah sekalipun kugenggam. Tangan itu tidak pernah mengelus punggungku atau mengusap kepalaku. Tangan itu hanya terus melukai kulitku. Aku pun tidak punya ide bagus untuk memperbaiki kenyataan itu. Kalau Ayah membenciku, maka aku juga akan melakukan hal yang sama.

"Kau membuatku muak, Taehyung."

Kata-kata Ayah terdengar seperti petir yang menyambar sampai ke hatiku. Ini bukan yang pertama, lagi-lagi aku menyadarinya. Namun, rasanya tetap sakit setiap kali Ayah memaki dan mengumpat padaku. Ayah menorehkan luka dan aku tidak berniat membela diri lagi.

"Namjoon akan mengawasimu selama sepekan. Jangan berbuat macam-macam," kata Ayah lagi lalu melangkah ke arah mejanya untuk memungut bidak catur yang berserakan di karpet bermotif dari Timur Tengah.

Aku masih berdiri di sana, merasakan dentuman di dalam dadaku semakin kencang dan sesuatu berhasil mencekik leherku. Napasku terengah dan pukulan Ayah sepertinya membuat kepalaku sedikit pening. Suara napasku terdengar semakin kasar, mungkin Ayah akan segera terganggu. Namun, aku tidak bisa bergerak sedikit pun.

"Kenapa tidak keluar?" tanya Ayah.

Namjoon menghampiriku lalu menepuk punggungku untuk menyadarkanku.

SPINE BREAKERWhere stories live. Discover now