10 | Taruhan

Mulai dari awal
                                    

Mike, murid kelas 10 IPA-1, sudah tergelatak dengan wajah babak belur. Kacamatanya sudah remuk di injakan Zizad. Kepalanya selalu menunduk, menghindari tatapan mematikan kakak kelasnya. Mike tidak pernah membalas perlakuan jahat siapapun yang menyakitinya. Entah ini sudah yang ke berapa kalinya Zizad merundungnya.

Kepalan tangan Zizad meremas kerah Mike, menatapnya dengan sorot berapi-api. Tubuh Mike sudah gemetar sedari tadi. Kedua lengannya ditekuk di depan wajah, berjaga-jaga kalau Zizad menyerang lagi. Tapi percuma, sejurus kemudian dia langsung mendapat serangan lagi di rahangnya, dan tendang-tendangan di perutnya hingga Mike ambruk, dan terbatuk-batuk.

"BERHENTI KALIAN!"

Baru saja Zizad hendak melayangkan tinjuan entah ke berapa kalinya lagi, teriakan seorang cewek menarik perhatian mereka hingga kepalan jemari Zizad menggantung di udara.

Rea, datang dengan cepat. Dia menyorot Zizad tajam dan menepis tangannya.

"Nggak usah ikut campur lo, bocah!"

"LO TUH YANG BOCAH!" Kini Rea menyorot tenang dengan suara merendah, "Kakak kelas, tapi beraninya keroyokan. Cowok apa bukan, sih?"

Zizad menunjuk Mike yang sudah babak belur ditambah sudut bibirnya mengeluarkan darah. "Dia yang mulai duluan asal lo tahu."

"Nggak usah ngaco. Nggak mungkin dia berani ngelawan-"

"DIA SUKA SAMA GUE, SETAN!"

Hening.

Rea kehabisan kata-kata. Antara percaya tidak percaya. Kalimat Zizad terdengar mustahil. Hal seperti itu masih ada di dunia ini? Mereka hidup di zaman apa?

Budi di sebelah Zizad menepuk-nepuk bahu Zizad, berbisik, "Cabut, cabut. Banci lo lawan cewek." Kedua teman Zizad menyeretnya pergi.

Rea menelan ludah sebelum tatapannya tertuju ke arah cowok di bawahnya yang terbatuk-batuk. "Bangun," titahnya tanpa sudi mengulurkan tangan.

Mike bersusah payah untuk bangun dan menyengir kuda ke arah Rea. Rea berdecak sebal, lalu dia melihat kacamata Mike yang sudah remuk. Laki-laki itu masih melempar cengiran. Aneh, padahal tadi waktu ada Zizad dkk dia gemetar, tapi sekarang saat berdua dengan Rea dia seperti orang gila.

Tiba-tiba saja Rea menendang tulang kering Mike, membuat sang empu yang sudah hendak berdiri, tumbang lagi. "Cowok apa bukan, sih, lo, Mike?"

Mike mengangkat kedua lengannya sambil mendongak manja. "Tolongin...."

Rea berdecak malas. "Males banget gue nolongin cowok nggak normal kayak lo."

Mike melebarkan matanya. "Eh, Rea. Lo jangan percaya gitu aja dong sama Bang Zizad. Gue difitnah sama temennya, Re. Semuanya tadi pada bohong. Ya kali ah, gue suka sesama jenis. Seratus persen gue masih normal, Re. Sumpah. Baru kali ini rasanya gue pengen ngelawan, tapi nggak dikasih kesempatan, gila," ujar Mike dengan jujur dan tampang tidak bersalahnya.

Rea mencari-cari kebohongan dari sorot mata Mike, seolah tengah membaca pikirannya. Tapi nihil. "Oke. Gue percaya lo."

Mike meringis pilu saat merasakan wajahnya kembali perih. Dia mengulurkan tangan lagi, meminta bantuan Rea. Alih-alih Rea menolongnya, justru gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada.

"Jahat lo, sama adik sendiri nggak mau nolongin."

Rea menunjuk-nunjuk wajah Mike. "Jangan ngaku-ngaku gitu di depan orang-orang kalo lo adik sepupu gue. Nggak sudi gue punya adik cupu, culun, nggak bermoral kayak lo."

Mike mengerucutkan bibirnya. "Jahatnya..." Ini memang bukan hinaan yang pertama kali, jadi terdengar biasa saja dan Mike tidak merasa tersinggung. Cowok itu menahan nyeri di perutnya yang perlahan mereda. Tapi luka di sekujur tubuhnya masih terasa.

NATAREL✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang