Kini kami sampai di kampus. Jimin dan aku sama-sama berada di Fakultas Bisnis karena berasal dari keluarga pemilik perusahaan. Jimin adalah ahli waris salah satu perusahaan media, sehingga atas keinginan dan inisiatif sendiri, ia mengambil jurusan ini. Sedangkan aku, ayahku adalah pelaku utama yang menyebabkanku terjebak di sini. Kata Ibu, aku harus mengambil jurusan bisnis kalau mau bertahan hidup sebagai Kim Taehyung di dalam keluarga.

Ponselku berdering lagi, bahkan ketika aku masih berada di kelas. Aku menenteng jaket kulit dan menyelipkan rokok elektrik di saku celana, keluar dari kelas setelah mata kuliah tentang pembukuan selesai.

Aku melihat layar ponselku yang masih setia bergetar. Untuk kesekian kalinya, dua puluh satu kali dalam satu hari, ibuku menelepon.

"Hei, Kim Taehyung! Kenapa baru mengangkat telepon?!!" teriak Ibu ketika aku baru saja menempelkan ponsel di telingaku.

"Aku ada kelas, Ibu."

"Syukurlah kau masih ikut kelas dan tidak membolos," ujar Ibu. "Pulanglah. Kalau tidak Ibu akan sedih."

"Aku menginap di tempat Jimin, jadi berhentilah pura-pura sedih."

"Apa Jimin lebih penting daripada keluargamu?"

"Tepat sekali," candaku.

"Ulangtahun Seokjin, kau ingat?" tanya Ibu tanpa basa-basi dan sesuai dugaanku.

"Aku tidak bisa hadir," tegasku lalu menutup telepon.

Jimin muncul dengan wajah judgemental-nya. "Kau itu cuma minta uang untuk kesenanganmu sendiri, tapi tidak pernah mendengarkan orangtuamu."

"Acara ulangtahun Seokjin-Hyung itu cuma ajang pamer untuk memvalidasi bahwa Kim Seokwoo dari Daejib telah berhasil mendidik putra sulungnya yang pandai mengelola Daeppan. Sedangkan ulangtahunku tidak pernah dirayakan karena aku tidak berguna sama sekali. Atau mungkin Ayah sudah lupa tanggal lahirku."

Bukannya aku iri dan ingin perayaan ulangtahun yang mewah, tapi kenyataan ini terjadi sejak dahulu, bahkan ketika aku belum paham soal warisan. Sejak awal, Ayah mungkin sama sekali tidak pernah melihatku.

Jimin menatapku iba. "Baiklah, sekarang kau mau melakukan apa? Bar? Billiard? Atau bermain game?"

"Bar."

Seperti kebiasaan kami, aku menyewa meja di bar langganan kami. Aku memesan minuman yang mahal meski sebenarnya aku bukan peminum yang andal. Aku meminta beberapa gadis cantik untuk menemani kami berpesta. Jangan salah paham, aku ini cupu. Sebenarnya aku tidak tertarik, tapi Jimin menyukainya. Itu juga salah satu cara untuk mengundang teman-temanku bergabung.

Jimin memang pandai berpesta. Kulihat ia banyak menghabiskan waktunya untuk menari di keramaian ketika playlist musik yang diputar cocok dengan seleranya. Sementara itu, aku hanya duduk sambil menyesap wine dari gelas-gelas panjang dan memakan cemilan yang diantarkan ke meja kami. 

Dua orang gadis duduk mengapit di sebelahku, menawarkan untuk menuang minuman lagi. "Biar kutambahkan lagi, Tuan."

"Tidak, tidak, sudah cukup," ucapku menolak.

Sesekali gadis-gadis itu menggodaku, mengangkat gaunnya untuk memperlihatkan kulit pahanya lebih banyak padaku. Aku hanya terkekeh acuh saat menatap mata mereka yang mengedip genit. Aku juga paham mereka hanya bekerja dan kadang terpaksa, merelakan diri demi mendapatkan uang. Dunia memang sekejam itu.

Sialnya, ponselku berdering lagi. Setelah belasan kali Kim Namjoon menelepon, kini panggilan itu berasal dari Jung Hoseok yang bekerja sebagai sekretaris pribadi kakakku. Aku tahu kegemparan pasti terjadi di rumah karena batang hidungku belum muncul saat pesta ulang tahun Seokjin-Hyung seharusnya sudah dimulai.

SPINE BREAKERWhere stories live. Discover now