46. Tak Butuh Izin

7.1K 504 65
                                    

Malam ini Zino mempersiapkan sendiri segala kebutuhannya sebelum pergi ke luar kota besok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam ini Zino mempersiapkan sendiri segala kebutuhannya sebelum pergi ke luar kota besok. Zino melakukannya malam ini karena tak akan ada waktu lain untuk persiapan. Lebih baik menyiapkan semuanya sekarang daripada dini hari nanti ia harus disibukkan lagi.

Menatap tempat tidur yang dihuni satu orang yang sejak dirinya pulang tak membuka mulut sedikitpun, Zino menghela pelan ketika sadar bahwa perasaan perempuan itu belum membaik sejak perdebatan terakhir mereka.

Mendekat, Zino memeluk Istrinya yang membelakanginya itu. Tangannya bergerak untuk menyelipkan rambut panjangnya di belakang telinga.

Tak ada respon. Mungkinkah Kina sudah tertidur?

Mengintip dengan posisi menyamping, Zino ingin memastikannya. "Udah tidur?" tanyanya tak mendapat respon apapun.

Menghela kasar, Zino memposisikan dirinya tidur telentang dengan satu tangannya sebagai bantalan. Menatap atap rumahnya lalu kembali berkata.

"Besok pagi aku pergi ke luar kota. Cuman satu hari kok, malem mungkin pulang," ujarnya membuat sepasang mata yang semula terpejam itu akhirnya terbuka.

"Sama Thefani?"

Zino menatap punggung Kina yang ternyata belum tidur. Perempuan itu membalas tanpa menatapnya.

Meski berat, Zino harus jujur agar tidak menimbulkan kesalahpahaman lain.

"Iya, bolehkan?"

"Kalau aku bilang nggak boleh juga bakal tetep berangkat'kan? Kenapa ijin segala," saut Kina terkekeh pelan.

Zino tak menjawab, dia semakin mendekatkan tubuhnya, dipeluknya perempuan itu dari belakang.

"Udah ya? Aku capek, pengen istirahat," ucap pelan Zino memejamkan matanya, menghirup dalam leher belakang Kina yang tertutupi rambut.

"Aku juga," saut Kina sangat pelan, namun Zino tak memahami apapun dari perkataan tersebut.

Mereka terlelap dengan posisi yang sama. Hingga tengah malam Kina terbangun karena merasakan mulas di perutnya.

Bangkit dari tempat tidurnya, Kina berjalan menuju kamar mandi dengan perlahan.

Tak biasanya dirinya buang air besar tengah malam begini...

Menghela kasar, Kina berpegangan pada tembok untuk kembali ke tempat tidur setelah menyelesaikan urusannya di toilet.

Kakinya yang bengkak juga perutnya yang besar menghambat pergerakannya. Nafasnya pun jadi sesak sejak kandungannya membesar.

Dan dengan segala kesulitan yang sudah dialaminya, bayi di dalam perutnya seolah masih belum cukup puas menyiksanya hingga terus menendang dan membuatnya sakit sampai sering buang air kecil.

Kina tak membenci anaknya, tapi dia juga tak menyayanginya.

Pernah ada perasaan cinta yang begitu besar...

Sepasang Sepatu Tanpa Arah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang