Ritual terakhir

1.2K 66 0
                                    

Malam ini, udara di luar sangat dingin. Jalanan sangat sepi. Gelap, tidak ada lampu penerangan sepanjang jalan setapak menuju hutan. Hanya cahaya obor yang memecah kegelapan.

Ratih yang tadinya ingin beristirahat sejenak, menjadi takut akan terjadi sesuatu kepada keluarganya ketika melihat Makhluk mengerikan itu, jadi membiarkan dirinya sendiri untuk segera menuntaskan ritualnya.Situasi jalanan nampak licin setelah di guyur hujan. Membuat ia extra memperhatikan penglihatannya.

Dibukanya lembaran kertas yang di berikan Eyang Brojo untuk membaca isi yang tertulis dari kertas tersebut sambil terus berjalan. Sementara hujan gerimis kembali turun lagi. Ratih beberapa kali melihat ke kiri dan ke kanan seperti memastikan sesuatu. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengikutinya. Namun, nihil tidak ada apapun yang beralalu lalang.

Malam ini benar-benar sepi mencekam. Pepohonan di kiri-kanan seolah membawa perjalanannya semakin dalam menuju kegelapan.
Setelah beberapa kilometer perjalanan, ia melewati jalan yang penuh pohon-pohon besar di kiri dan kanan. Sementara di balik pepohonan itu terdapat jurang yang begitu curam.

Karena ia sudah bertekad menyelesaikan ritualnya malam ini, ia merasa harus tangkas menghadapi situasi apapun malam ini. Bayangan Bapaknya berulang kali membuatnya merasa cemas dan harus segera menyelesaikan ritualnya.

Meskipun ia merasa takut, tapi ia harus melakukannya demi kelangsungan hidup keluarganya. Ratihpun mengatur posisi duduk bersila di atas sebuah batu besar setelah sebelumnya menyalakan beberapa batang dupa. Ia menarik nafas panjang untuk memulai memfokuskan hati dan pikirannya. Namun baru saja ia ingin merapalkan mantra tiba-tiba....

Deg...

Dari kejauhan ia melihat kobaran api kecil melayang di antara kegelapan hutan belantara. Cahaya kemerahan itu semakin berjalan mendekat kearahnya.

Aaaaaauuuuu......!!!

Suara anjing hutan semakin menambah kegelisahan Ratih, sebisa mungkin ia mencoba menenangkan hatinya. Ia kembali menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan.

Kemudian ia merasa sedikit lega setelah mengetahui tidak lama kemudian terlihat dari kejauhan kalau kobara api kecil itu seperti seberkas cahaya obor yang mulai mendekat kerahnya. Semakin dekat, ia semakin yakin kalau itu adalah nyala api. Ia berfikir mungkin itu adalah Eyang Brojo yang akan menyusulnya.

Ia tidak bisa melihatnya dengan jelas siapa yang membawa obor itu, hanya terlihat nyala apinya saja. Entah dari mana orang itu muncul. Sebab, dari awal ia bisa memastikan bahwa tidak ada orang lain selain dirinya ditempat itu. Tiba-tiba "sring" terang sekali. Kobaran api kecil itu tiba-tiba membesar dan terang sekali. Itu membuat Ratih sedikit menundukkan kepalanya karena silau dengan cahaya Api yang membesar.

Api itu melesat melayang mengelilingi Ratih seakan ingin membakar tubuhnya hidup-hidup. Selama kurang lebih sepuluh menit Ratih menahan panas diseluruh bagian tubuhnya yang terasa terbakar namun tidak melukai kulitnya sedikitpun, ia merasakan sesuatu yang aneh. Matanya terasa berat untuk tetap terjaga. Namun, ia berusaha untuk melawannya. Ia merapalkan mantra-mantra yang telah di pelajarinya dari eyang Brojo.

Samar-samar kobaran api itu mengecil membentuk sebuah cambuk api yang sebagian ujungnya mengikat tubuh Ratih lalu menyeretnya dan melesat belok ke kiri . Sebelum Ratih benar-benar tak kuasa menahan kesadarannya yang menggelayut, Ratih cepat-cepat menahan diri untuk tidak terseret oleh api misterius itu.

Kobaran api itu terus menyeret Ratih dan membantingnya ke sisi kiri . Sontak Ratih tergelagap karena di ujung kakinya adalah jurang curam.

"Aku tidak akan Kalah darimu" ucapnya keras.

Ratih mencoba menenangkan dirinya sendiri, ia meyakinkan dirinya bahwa ia mampu melawan kobaran api aneh itu.  Raut wajah yang sebelumnya terlihat sedikit pucat karena ketakutan kini berubah menjadi kemerahan karena kemarahan. Diambilnya benda pemberian Pria musafir itu di dalam kantong celananya yang memang benda itu selalu ia bawah kemanapun ia pergi.

Setelah merapalkan mantra yang tertulis di dalam lempengan pengaris kuningan yang di berikan Pria musafir itu. Makhluk api itu melesat terbang kelangit lalu menghilang.

Hujan masih turun rintik-rintik. Kegelapan malam masih mengepungnya. Ditambah kabut putih yang menyelimuti, membuat malam itu benar-benar kian mencekam. Ia merasa kelelahan setelah melawan Makhluk api itu. Nafasnya bahkan masih tersenggal-senggal, namun sesaat kemudian bulu kuduknya berdiri ketika tiba-tiba terdengar suara tangisan perempuan dari balik pepohonan besar.

Sesaat kemudian, suara tangisan itu berubah jadi jeritan yang bikin nyali Ratih menciut. Suaranya melengking memecah keheningan malam.

Bergegas Ratih menuju batuan besar tempat ia tadi duduk bersila. Kemudian ia kembali merapalkan mantra yang sebelumnya ia pelajari dari Eyang Brojo. Setelah beberapa kali suara jeritan perempuan itu memekakkan telinga Ratih tak lama setelah itu suasananya agak tenang.

"Nak, kamu telah menyelesaikan ritual terakhirmu?" Ucap seseorang yang suaranya tak asing di telingga Ratih. Ia membuka matanya perlahan untuk memastikan kebenaran suara tersebut.

"Nak, setelah ini kamu akan menghadapi hal yang lebih buruk untuk berperang melawan Santet Pring Sedapur" lanjut orang itu.

Ratih menganggukkan kepala. Dipandanginya raut wajah Eyang Brojo yang entah dari mana datangnya karna sedari tadi ia tidak melihat siapapun disekitarnya selain makhluk api itu dan mengapa sekarang eyang Brojo tiba-tiba sudah berada dihadapannya.

Raut wajahnya yang tadinya mulai tenang kini berubah menjadi gelisah dan takut. Ia takut kalau orang yang berdiri di hadapannya itu bukanlah Eyang Brojo asli, karena tidak seperti biasanya dia bersikap seperti ini dan memanggilnya dengan sebutan 'Nak'.

"Siapa kamu ?" tanya Ratih

Eyang Brojo mengelus ujung kepala Ratih. Suasana hening sejenak. Udara di sekitar mendadak terasa gerah sekalipun kabut dingin menyelimuti. Suara jeritan perempuan itu masih terngiang di kepala Ratih, memacu detak jantungnya hingga tubuhnya terasa panas-dingin.

"Siapa kamu ?" Tanya Ratih lagi setelah beberapa saat diam.

"Di sebelah kirimu itu adalah jurang. Saya tahu kamu hampir saja mati disitu karena ulah banaspati. Tapi, saya diam dan terus memperhatikanmu supaya kamu bisa belajar dan memenuhi ritual terakhirmu dengan cara mengandalkan dirimu sendiri, karena peperangan sesungguhnya akan jauh lebih sulit" jelas eyang Brojo dengan nada yang sangat pelan

Sontak bulu tengkuk Ratih kembali berdiri setelah mendengarkan pernyataan eyang Brojo. Ya, walaupun dia sebenarnya sudah tau segala bentuk resiko melawan Santet Pring Sedapur . Tapi, itu adalah pertama kalinya ia bertarung dengan makhluk astral. Ia bahkan tidak yakin akan bisa melawan Santet Pring Sedapur, namun tekadnya cukup kuat untuk menyelamatkan keluarganya.

"Eyang, apakah eyang yakin saya bisa melawan Santet Pring Sedapur ?" Tanya Ratih lirih.

"Saya yakin kamu pasti bisa melawannya, itulah sebabnya leluhurmu memilih kamu sebagai penerusnya dan Ki Pamungkas memintamu menjadi muridku."

"Aku sangat bersyukur bisa bertemu kalian. Jujur, sebelumnya saya selalu ragu untuk melakukan berbagai ritual karena saya selalu merasa takut terkalahkan dan segala jerih payah saya sia-sia. Namun dengan keberadaan kalian di sisi saya , saat ini saya semakin yakin dan mantap melawan Santet Pring Sedapur"  ungkap Ratih pada malam itu.

"Setelah ini kamu kembalilah, banyak hal yang mungkin tidak bisa kamu terima tapi ingat, kamu harus menanggapinya dengan tenang, jangan menjalankan Ritual dalam keadaan emosi karna itu hanya akan menyesatkanmu."

Ratih mengangguk

"Ritual melawan santet pring sedapur hanya bisa di lakukan di malam jumat keliwon atau selasa kliwon dengan sebelumnya kamu melakukan puasa selama 40 hari serta membaca mantra yang telah saya ajarkan setiap malam tanpa terputus, jika satu kali saja kamu tidak melakukan apa yang saya ajarkan maka semuanya di anggap gagal dan kamu harus mengulangi dari awal" jelas Eyang Brojo .

Bersambung......

Santet Pring Sedapurحيث تعيش القصص. اكتشف الآن