Ratih mulai di terror

2.4K 107 3
                                    

Ratih terlonjat kaget ketika Nana tiba-tiba datang menegurnya.

"Kenapa sih ?" Tanya Nana terheran heran dengan expresi kakaknya yang begitu kaget

"Kamu itu ngagetin aja " dengus Ratih kesal

"Ya salahnya sendiri ngelamun aja" elak Nana

"Gimana kondisi Bapak ?"

"Udah agak tenang, sekarang udah tidur ditemani ibu"

"Syukurlah kalau begitu "

"Mbak Rat ngapain sih daritadi disini ?"

"Lagi minum " jawab Ratih sambil sedikit menyodorkan gelasnya.

"Minum aja lama banget"

"Eh, na..."

"Apa ?"

"gak jadi, gpp"
Ratih ingin menceritakan kejadian yang dialaminya tapi dia mengurungkanya karna takut menakuti adiknya.

"Apa sih ?"

"Udah gak apa-apa, yuk lihat Bapak lagi "
Ratih menyeret lengan baju Nana menuju ruangan Bapaknya.

Disana ia melihat Pak Sholeh sudah terlelap tidur dan di sampingnya ada Sinta yang terus menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Matanya sembab karna hari ini dia telah banyak menguras air matanya. Wajahnya juga terlihat sedikit pucat karena kelelahan.
Maklum saja sepanjang hari ini dia tidak istirahat sama sekali, semenjak pulang berjualan di pasar dia sudah bersiap mengantarkan suaminya berobat dan sepulang dari berobat pun masih ada kejadian yang cukup menguras energinya.

Bella menangkap raut lelah mertuanya, diapun mulai mendekatinya dan mulai memijit kaki Sinta. Sedangkan Sinta masih benggong menatap Suaminya, dalam hatinya benar-benar tidak menyangka kalau keluarganya akan memgalami hal yang sangat mengerikan. Orang mana yang begitu tega terhadap suaminya sehingga melakukan hal yang begitu keji , sebenarnya apa yang telah dilakukan suaminya hingga membuat orang itu begitu dendam dengan mengunakan sihir. Pikiran Sinta terus berkecamuk hingga tanpa sadar ia meneteskan air matanya.

"Udah bu..." Bella mencoba menenangkan mertuanya

Sinta hanya diam dengan air matanya yang terus mengalir dan sesekali terdengar suara isakanya.
Nana mengambilkan tisu dan mengusap air mata ibunya dengan mimik wajah sedih.
Pikiran mereka terus berkecamuk dengan berbagai pertanyaan yang belum ada jawaban sama sekali.

Meskipun ada beberapa orang dalam ruangan itu tapi suasana ruangan itu cukup hening, mereka semua berkecamuk dengan pikiran mereka masing-masing.

Ratih terus bertanya-tanya dalam hatinya siapa mahluk aneh itu dan apakah ada hubunganya dengan sakit yang tengah di derita Bapaknya.

Sedangkan Adi merasa sangat geram terhadap orang yang sudah mencelakai keluarganya meskipun ia tidak tau siapa yang telah tega melakukan hal keji semacam itu.

Nana hampir tidak bisa berfikir sama sekali tentang kejadian demi kejadian yang menimpa dirinya dan keluarganya. Kenapa masalah demi masalah mulai hadir bertubi-tubi dalam hidupnya. Hatinya sudah rapuh oleh kepergian suaminya sekarang dihantam oleh sakit Ayahnya.

Cukup lama mereka terdiam hingga mereka melihat ibunya sudah terlelap tidur disisi Bapaknya. Barulah mereka mulai beranjak satu persatu menuju ke kamar mereka masing-masing tanpa saling berucap kata dan hanya saling melihat sepintas sebagai tanda ucapan selamat malam.

Hari ini memang cukup melelahkan bagi keluarga itu, sehingga mereka perlu istirahat untuk menyambut hari esok yang sudah pasti cukup melelahkan hati dan pikiran lagi.
Bagaimana tidak, salah satu orang yang mereka sayangi kini sedang terbaring lemah, sedangkan orang tersebut hampir sangat jarang sekali sakit. Orang yang selalu gigih berkerja tanpa memperdulikan siang dan malam, tanpa peduli panas atau hujan dia akan selalu menyelesaikan pekerjaannya tanpa pernah sekalipun mengeluh.

Bagi mereka Pak Sholeh adalah sosok teladan yang baik, hanya saja sayangnya anak-anaknya tidak ada yang segigih dia dalam ambisi meraih kesuksesan. Maklum saja sedari kecil Pak Sholeh selalu memanjakan anak-anaknya, memberikan apa yang mereka mau semampunya, bahkan engan membiarkan anaknya berkerja untuk orang lain . Sehingga mereka semua tumbuh menjadi anak yang tak bisa mandiri dan hanya bergantung pada orang tua mereka. Mungkin hanya Ratih yang mempunyai kegigihan seperti Bapaknya, karna hanya dia sendiri yang engan di atur oleh keluarganya, ia selalu ingin mendapatkan segala sesuatunya dari hasil jerih payahnya sendiri. Tapi mlah justru sifatnya yang seperti itu kadang membuat kedua orang tuanya berfikir bahwa ia tidak menghargai pemberian mereka, dan menganggap Ratih seakan seperti tidak butuh orang tua lagi.
.
.
.
.
Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari, tapi Ratih masih sulit memejamkan matanya. Ia masih terbayang-bayang oleh sosok hitam besar yang ia jumpai tadi, meskipun ia tidak bisa melihat dengan jelas sosok seperti apa itu tapi ia bisa merasakan dengan jelas kalau sosok itu menyeringai kearahnya seakan ada kebencian yang mendalam.

Ratih menarik selimutnya, menutupi seluruh tubuh dan kepalanya. Ia mencoba membayangkan sesuatu yang indah agar bayangan sosok itu menghilang, namun semakin ia ingin menghilangkan pikirannya tentang sosok tersebut justru Ratih semakin terbayang sosok misterius itu.

Perlahan ia mulai pengap berada di balik selimutnya yang tebal, sedangkan matanya masih sulit terpejam. Ratih ingin sekali membuka selimutnya, setidaknya yang menutupi kepalanya tapi hatinya merasakan ketakutan yang luar biasa. Ingin rasanya ia keluar dari kamarnya dan memilih tidur bersama adiknya saja tapi dia juga tidak memiliki keberanian untuk beranjak dari dalam tempat tidurnya.

Berbagai doa ia panjatkan sebisanya untuk menenangkan hatinya berharap doa itu bisa melindunginya, sampai ia pun pada akhirnya terlelap tidur. Dengan keringat di sekujur tubuhnya karena gerah bersembunyi di balik selimut.

Sayup-sayup mulai terdengar suara adzan subuh mulai berkumandangan, sedangkan ia baru saja memejamkan matanya, Tapi Ratih ingin sekali melaksanakan Sholat Subuh dan mendoakan kesembuhan Ayahnya.
Dengan mata yang berat karna rasa kantuk ia mulai menyibakkan selimutnya. Meskipun rasa malas dan lelah menyerangnya ,Ratih berusaha melawan Rasa itu dengan mengingat kesakitan Ayahnya dan berharap mungkin saja Tuhan mendengar doanya dengan meringankan rasa sakit Ayahnya.

Perlahan ratih mulai mengerakkan kakinya, hanya saja dia merasa kakinya begitu berat untuk di gerakkan.

"Uuuuuch...!"

Ratih berusahan keras mengerakkan kakinya yang seakan ada yang menahannya.
Keringat dingin mulai membasahi keningnya, rasa panik dan takut bercampur menjadi satu
Ingin rasanya dia berteriak hanya saja dia takut ikut membuat panik keluarganya. Sudah cukup keluarganya di buat panik oleh sakit Ayahnya yang begitu tiba-tiba dan mendadak.
Sakit yang mungkin bisa di katakan tak lazim karna hasil medis tidak mendeteksi sesuatu penyakit apapun pada diri Pak Sholeh.

Ratih mencoba menenangkan dirinya dan pikirannya, ia menarik nafas panjang dan berusaha menginggat ayat-ayat yang dia hafal lalu membacanya dalam hati. Tak butuh waktu lama, sesaat kemudian dia mulai bisa mengerakkan kakinya.

Ratih menghela nafas lega kemudian segera berjalan cepat kelantai bawah.
Ia ingin melaksanakan Sholat Subuh di lantai bawah saja karna dia merasa takut dan tak tenang berada di lantai atas. Diapun mulai berjalan ketoilet untuk berwudhu.
Saat ia membasuh mukanya dengan air wudhu sepintas matanya menangkap bayangan hitam tinggi besar, namun saat ia memperhatikan kesekelilingnya tidak ada apapun di dalam toilet itu selain benda-benda yang ada disana.
Ratihpun mulai mengulang wudhunya, dan sekali lagi matanya seakan menangkap sosok bayangan hitam itu dengan samar ,namun kali ini Ratih tetap melanjutkan Wudhunya dan menganggap sosok bayangan itu cuma halusinasinya saja.











Santet Pring SedapurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang