Ritual

1.2K 65 0
                                    

Marni berjalan cepat menuju Rumah Tutik, ia sudah tidak sabar ingin bertemu Tutik dan bergosip bersama Tutik.

"Mbak tut...Mbak tut..." teriak Marni ketika ia sudah berada di Rumah Tutik dan tidak mendapati si empu pemilik rumah.

Tutik keluar dari balik kamar mandi, belum juga dia membuka pintu kamar mandi sepenuhnya. Tampak perempuan yang sudah tidak asing di matanya berdiri di depan pintu kamar mandi menunggunya.

"Kayaknya kita berhasil" Ucap Marni setengah berbisik.

"Duduk dulu" pinta Tutik

Mereka berdua lalu mengatur posisi duduk di lantai dapur rumah Tutik.

"Baguslah kalau berhasil" jawab Tutik

"Tapi kita harus menyiapkan maharnya..."

"Aku sudah menyiapkan maharnya."

"Setelah maharnya siap, mas junet akan  berpuasa 3 hari, lalu memotong ayam cemani. Ntar darahnya kita minum"

"Apa gak salah kamu menyuruhku minum darah ?" Tutik kaget dengan pernyataan Marni.

"Itu syarat yang harus kita lakukan, lagipula hanya tiga kali tegukan"

"Kamu dan suami kamu saja yang melakukan, akan aku siapkan maharnya"

.
.
.
.
.

Di bawah bimbingan Eyang Brojo, Ratih mulai melakukan ritual puasa mutih, ia hanya boleh minum air putih dan nasi putih tanpa tambahan apapun selama 40 hari, kemudian ia akan melakukan tapa kumkum dimana ia harus merendamkan diri di sungai atau sendang.

Tapa kumkum ini dilakukan pada jam 12 malam sampai jam 3 pagi selama 40 hari. Dan selama melakukan ritual itu Ratih di larang tidur karena jika sampai tertidur maka ritual itu bisa batal dan membahayakan.

Langit yang menghitam disore ini menghalangi bias mentari yang membakar langit, tetesan gerimis dan kilatan halilintar menjadi teman perjalanan Ratih meninggalkan kediaman Eyang Brojo ke pertapaannya yang ditempuh  kurang lebih dua jam lama nya.

"Aku akan segera menyelesaikan ritual ini,, aku harus selesaikan sebelum semuanya terlambat dan menurut perhitungan Eyang Brojo waktu paling cepat menyelesaikan ritual ini adalah satu tahun."
Batin Ratih terus berkecamuk penuh kekhawatiran tatkala melihat keluarganya diambang kematian oleh Santet Pring Sedapur.

Sesampainya di tempat pertapaannya, ia melihat kijang liar yang minum di sungai yang akan ia gunakan untuk Tapa kumkum. Kijang liar itu melangkah lari menjauh saat mendengar langkah kaki Ratih yang mendekati sungai.

"Jangan tunduk terhadap hawa nafsu  angkara murka karna hanya akan menumbuhkan kegelapan dalam hati " ucap Eyang Brojo yang sudah menunggu di tepian sungai

"Eyang..."
Panggil Ratih.

"Genapilah pertapaanmu sampai kamu bisa menyelamatkan keluargamu" jawab Eyang Brojo seakan tau apa yang   ingin Ratih katakan.

Ratih mengangguk ia tidak lagi mengungkapkan kekhawatirannya tentang keluarganya dan berharap selama ia melakukan ritual Eyang Brojo akan mengantikannya melindungi keluarganya. Namun sebenarnya Eyang Brojo hanya fokus mendidik Ratih. Bukan berarti Eyang tidak mau membantu, tapi memang mereka tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga Ratih. Menginggat saat ini mereka berada di atas lereng gunung.

"Apa yang terjadi di dunia ini adalah takdir tuhan, jika takdir keluargamu tidak habis di makan  Santet Pring Sedapur, maka kamu akan menghakirinya".

"Iya Eyang, mohon bimbingannya"

Ratih mengikuti langkah Eyang menuju sungai.
Malam itu setelah bermunajat kepada Tuhan yang Maha Esa. Ratih mendengarkan penjelasan dari Eyang Brojo, juga tata cara lelaku nya.

"Sebenarnya semua ilmu itu hampir sama kegunaan nya hanya saja cara melakukannya yang berbeda. Tidak ada Ilmu hitam atau putih semuanya sama saja semua tergantung dari niat mengunakannya "

"Mengerti, eyang"

"Bermeditasi lah "

Setelah beberapa kali meditasi, ternyata Ratih masih sulit untuk memfokuskan pikirannya pada satu titik.

"Huh. Ternyata belajar ilmu tentang dunia gaib itu susah juga.
Selain butuh kesabaran juga harus bisa menenangkan jiwa dan pikiran."dengus Ratih dalam hati

Tapi hasil dari belajarnya sejauh ini lumayan juga. Ia sekarang sudah mampu mendeteksi keberadaan makhluk halus, sehingga ia sudah tak perlu takut lagi jika berjalan atau melewati tempat yang di bilang angker.

Ia juga sudah dibuatkan Eyang Brojo tameng gaib. Buat sekedar menjaga diri  bila suatu saat ada makhluk lain yang menjahilinya. Meskipun begitu, terkadang ada saja makhluk gaib yang menganggu dan mengagetkannya.

Pandangan mata Ratih mencoba menelusuri hutan belantara di sekitar sungai.
Pada awalnya ia tak melihat apa apa. Hanya hawa mistis yang mulai terasa begitu kuat.

Tepat di dekat batu di Pinggir sungai, ia melihat sesosok wanita yang juga tengah memandanginya.

Hawa dingin seketika mengalir ke sekujur tubuhnya.
Namun ia tak dapat melihat wujud lain dibalik sosok itu. Wanita itu tampak melambaikan tangannya ke arah Ratih.
Ia memakai pakaian khas jaman kerajaan jaman dulu lengkap dengan mahkota emas di ujung kepalanya.

" Tetaplah Fokuskan pikiranmu ,,,?" Eyang Brojo membuyarkan lamunan Ratih.

Ratih terdiam tanpa menjawab ucapan Eyang Brojo ia kembali memfokuskan pikirannya. Namun entah kenapa hari ini ia begitu sulit untuk fokus,beberapa kali ia bahkan membuka dan menutup matanya.

Eyang Brojo mengawasi Ratih di tepian sungai, ia juga melakukan meditasi disebuah batu besar di pinggiran sungai. Wajah Eyang Brojo nampak tenang dengan mata tertutup, ekspresi wajahnya terlihat begitu damai seperti tidak ada sedikitpun kekhawatiran dalam dirinya.

Padahal sebenarnya Eyang Brojo sedang melindungi Ratih dari gangguan-gangguan makhluk jahat yang ingin mengagalkan pertapaan Ratih. Ia membuat tameng gaib berbentuk lingkaram di seketitar tubuh Ratih,hingga makhluk-makhluk itu tidak bisa mendekati Ratih.

Eyang Brojo bahkan tidak segan-segan bertarung dengan makhluk-makhluk jahat yang berupaya menerobos tameng gaibnya. Dan orang yang di lihat Ratih di atas batu besar di pinggir sungai yang duduk bersila begitu tenang itu hanyalah raga Eyang Brojo karena jiwa Eyang Brojo sedang berjuang bertarung melindungi dirinya.

Ratih kembali menutup matanya, ia mulai kembali memfokuskan hati dan pikirannya pada satu titik, dimana titik itu berubah menjadi cahaya yang membimbing Ratih. Sesuai arahan Eyang Brojo sebelumnya, Ratih mulai mengikuti arah titik itu pergi.

Ratih semakin larut dalam pertapaannya , hingga hawa dingin tidak lagi ia rasakan. Hawa itu berubah menjadi sebuah energi yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Hingga energi itu memenuhi bagian kepalanya tiba-tiba Ratih tersentak.

Bayangan Bapaknya tiba-tiba terlintas begitu saja, nafas Ratih terlihat ngos-ngos'an. Air mata seketika menetes dari kedua bola matanya. Bayangan itu benar-benar seperti nyata, Ratih melihat Bapaknya tergeletak diatas ranjang tak berdaya. Bagian kakinya terkelupas hingga menunjukkan tulang-tulangnya.

Dalam gambaran itu juga Ratih melihat Bapaknya terlihat kesulitan bernafas hingga mulutnya terus mengangga dan nafasnya begitu berat, membuat dadanya naik turun. Tubuh Bapaknya yang dulu tambun terlihat sangat kurus  seperti tak berdaging.

Bersambung....

Santet Pring SedapurWhere stories live. Discover now