33. Girl's Talking

11 2 1
                                    

Mata Lala tak lepas dari kanvas, sementara tangannya menari lincah menyapukan warna demi warna diatasnya. Tangannya yang lain memegang palet. Sesekali menunduk untuk mencampur beberapa warna lain sebelum ia sapukan kembali membentuk gambar yang sudah mulai jelas terlihat bentuknya.

Celemek hitam yang Lala kenakan sudah sangat kotor dengan warna-warna cat yang menempel. Beberapa bagian lengan dan tangannya pun berwarna serupa. Campuran warna merah muda pastel, ungu, merah, putih, dan hijau. Lala tampak fokus pada benda dihadapannya dan mengabaikan embusan angin yang menyusup masuk lewat celah pintu kaca yang terbuka. Menandakan bahwa seseorang baru saja masuk ke ruang melukisnya yang bersebelahan dengan taman.

"La, lo harus lihat ini." Suara Gia terdengar kesal dan memaksa Lala menghentikan kegiatan melukisnya. Agak kesal karena fokusnya terganggu, tapi mau tidak mau Lala pun menghentikan aktivitasnya.

"Apa, sih, Gi? Gue, kan, lagi ngelukis. Lo tau sendiri gue gak bisa diganggu pas begini," ucap Lala dengan tenang dan lembut meski melayangkan protes.

"Ini, La. Milo ngelamar Nadin di tepi pantai. Videonya di unggah di sosial media mereka berdua."

"Ya, terus?" Lala melepas celemeknya dan bergabung duduk dengan Gia di sofa.

Gia berdecak kesal dan meremas bantal sofa. "Ya kalau mereka udah mempublikasikan hubungan mereka duluan, lo sama Savero gimana? Pasti bakal makin susah, dong. Apalagi saudara tiri lo tuh norak banget. Dia apa-apa pasti di unggah. Kalau gini, kita bakalan susah publikasiin hubungan lo sama Savero dan menekan mereka buat kasih restu."

Gia mengatakan dengan berapi-api. Jelas Gia kesal sebab rencana mereka terganggu. Sejak awal, Gia sudah ingin memanfaatkan atensi publik terhadap masalah FL Grup untuk menunjukan hubungan Savero dan Lala. Tapi rupanya mereka kalah cepat. Dan sekarang Gia jadi kesal sendiri.

"Masih ada cara lain. Gue sama Savero juga lagi berusaha cari opsi lain supaya gue tetap bisa dapet restu bokap gue juga. Lo tau sendiri, lah. Nikah tanpa restu orang tua pasti ribet banget urusannya. Belum lagi, nanti kalau gak sah gimana?"

"Kalo tetep gak berhasil?"

"Kita buat tragedi Keluarga Sinha bagian kedua," jawab Lala dengan tenang. "Gue gak akan mundur, Gi. Sekali ini gue mau egois. Gue mau berjuang supaya gue sama Savero bisa sama-sama."

"Tapi–" ucapan Gia terputus ketika ia mengingat sesuatu. Hanya beberapa saat hingga sahabat perempuan Lala satu-satunya itu menarik kedua ujung bibirnya membentuk lengkung senyuman. "Kalau tragedi Sinha dua maka lo akan–"

"Iya," Lala menjawab tenang seolah sudah mengerti kemana arah pembicaraan Gia. "Yang berharga itu gak cuma harta, tapi juga waktu. Kalau kita bisa ambil waktu mereka buat beresin kekacauan yang kita buat, kenapa enggak?" Lala menyeringai kecil. "Mungkin saat waktu mereka habis untuk menyelamatkan diri, kita sudah lari melewati mereka. Melampaui batas yang tidak akan mereka pikirkan sebelumnya."

Gia mengingat kembali bagaimana mereka sudah membuat keluarga Sinha menghabiskan cukup banyak waktu karena rumah sakit yang mereka kelola harus diselidiki secara total. Belum lagi kasus hukum yang harus mereka hadapi. Dan kekacauan bertambah ketika Kakaknya Malik kembali dari Amerika dan bersedia memberikan kesaksian untuk membela para korban. Mereka harus mengalami kerugian yang cukup besar baik dari segi materi ataupun waktu. Dan jika kemungkinan masalah Lala dan Savero akan diselesaikan dengan cara yang sama, maka mungkin akan lebih besar kerugian yang akan lawannya terima.

"Ya udah kalau gitu. Tapi gue masih kesel sama sodara tiri lo, nih.. Norak banget. Heran! Segala beli baju sama tas yang sama kayak gue. Tau gitu gue males pakai."

Lala tersenyum dengan sebelah bibir terangkat. "Gue emang pernah ngakuin dia saudara? Gak, kan? Lagian kalau lo gamau pakai, jual aja, Gi. Beli yang baru. Lo punya segalanya supaya apa yang lo mau bisa lo dapet."

Another ColorWhere stories live. Discover now