5. Some Information

27 5 2
                                    

Savero masuk ke sebuah kafe dengan gaya minimalis yang alamatnya baru dia dapat tiga puluh menit yang lalu. Meski harus tersesat karena alamat kafe itu kurang jelas, ia akhirnya tiba juga di tujuan. Dengan perasaan yang kesal dan gondok, ia segera menuju balkon lantas menemui orang yang mengirim pesan padanya.

"Lo main-main sama gue?" suara rendah dan datar Savero menginterupsi kegiatan Jeff menyalakan rokoknya.

Bukannya mengindahkan pertanyaan itu, lelaki muda dengan mata serigala itu malah tersenyum lantas melanjutkan kegiatan menyalakan linting tembakau yang ada di sela bibirnya.

"Duduk dulu, baru kita bicara."

"Gue gak ada waktu buat bicara atau main-main sama lo dan temen-temen lo. Yang perlu gue tau, dimana Lala sekarang? Lo gila bawa orang sakit pergi gitu aja?"

Jeff lagi-lagi tidak langsung menjawab. Ia menghisap rokoknya kemudian menghembuskan asapnya ke udara. "Lala ditangkap. Dia dipaksa balik ke rumah terus dikurung kayaknya sama papanya." Jeff menyandarkan punggungnya di punggung kursi. "Udah dua hari ini kami kehilangan kontak sama dia."

Savero mengernyit lantas menarik napas dan menghembuskannya pelan.

"Kayaknya kemarin itu keputusan yang salah. Pas mereka sampai di lift di apartemen gue, ternyata udah ada bodyguard keluarganya jaga di sana. Yaudah ketangkep dia. Gue jadi nyesel sendiri. Padahal dia udah repot-repot sembunyi selama ini tanpa ketahuan."

"Terus hubungannya sama gue apa? Kenapa lo minta buat ketemu?"

"Karena lo udah nolong Lala sebelumnya, gue dan temen-temen lainnya mau kasih lo imbalan. Kami gak suka hutang budi. Jadi langsung aja, lo perlu apa. Selagi mampu, gue bakal omongin ke yang lain buat kasih ke elo."

Savero menatap Jeff datar kemudian membuang pandangannya ke arah lain. Berpikir sejenak dan saling diam, Savero kemudian duduk di kursi kosong di hadapan Jeff.

"Sebenarnya kalian gak perlu ngasih gue apa-apa. Lala udah bilang terima kasih ke gue dan tante gue." Savero mengingat sebuah sketsa sederhana yang Lala tinggalkan di atas meja. Sketsa kasar potretnya yang tengah tertidur di sofa. Juga sebuah sketsa lain dengan potret tantenya yang entah Lala dapat dari mana.

"Gue dan temen-temen gue merasa bersalah karena kami udah gak sopan bawa Lala pergi dari klinik pagi-pagi banget. Kami juga perlu minta maaf dan ngucapin makasih ke tante lo."

"Lo dan Malik udah bilang makasi ke tante gue waktu itu. Tapi kalau itu lo masih belum merasa lega, lo bisa langsung tanya tante gue. Tapi, mungkin tante gue bakal lebih nanyain keadaan Lala," balas Savero. Ia ingat tantenya sangat panik saat tahu keesokan paginya pasien yang semalam ia obati malah menghilang. Savero ingat, ia bahkan dimarahi habis-habisan karena lalai dan tantenya khawatir sebab ia belum meresepkan obat untuk Lala.

"Em, kalau begitu nanti gue sampaikan ke mereka," putus Jeff. "Dan lo, lo beneran gak mau imbalan apa-apa? Lo tau kami, kan? Atau, lo mungkin sama kayak orang lain yang memandang kami cuma anak ingusan, gemar foya-foya, kaum-kaum old money yang taunya cuma ongkang-ongkang kaki. But, trust me! Lo gak akan nyesel kalau kerja sama dengan kami."

Tatapan Savero berubah. Jika itu tentang bisnis, maka bisa jadi pandangan mereka dengannya kurang lebih bisa sejalan. Apalagi ucapan Jeff tadi mengenai pandangan orang terhadap mereka, terasa seperti apa yang selama ini Savero alami. Dinilai sebagai anak ingusan, anak kemarin sore yang terlalu idealis, kaum old money yang tidak pernah merasakan hidup susah. Yang selama ini Savero terima adalah penilaian miring saja tanpa melihat prestasinya.

"Mungkin nanti pas gue butuh, gue harap kalian mau luangin waktu," ucap Savero tanpa ragu.

Jeff mengangguk setuju. "Anytime. Lo bisa hubungi gue kapan aja. Nomor yang gue pake buat kirim pesan ke lo tadi adalah nomor pribadi gue. Jadi simpen aja."

"Baik. Tapi satu lagi, gue mau kontaknya Lala."

Jeff mengerutkan dahinya sejenak. Seperti tidak suka dengan permintaan itu. Namun perlahan ia kembali menunjukan senyumnya.

"Gue gak mau basa-basi. Jadi gue bakal menolak permintaan itu. Kalau lo mau gue bisa kasih nomor asisten pribadinya."

"Gue maunya nomor pribadi Lala." Savero bersikeras.

"Masalahnya adalah cuma Lala yang berhak ngasih nomornya ke elo. Bukan gue."

"Kalau gitu, gue mau ketemu dia." Savero tidak mau menyerah.

"Nah, masalahnya itu Lala pulang dan gue juga temen lainnya gak bisa seenak jidat ketemu sama dia." Jeff berusaha memberi pengertian. "Kalau kami aja yang temenan sejak bayi gak bisa ketemu, apalagi lo yang baru sekali ketemu sama dia."

"Kenapa? Kalian, kan sahabatnya. Kenapa gak bisa ketemu sama dia?"

Jeff menggeram kesal. "Kan tadi gue bilang dia dikurung papanya. Lo tuh pikun apa tuli, sih?"

"Iya, tau. Tapi kenapa?"

"Ya karena dia kabur dari rumah pas mau dijodohin dan papanya gak mau itu cewek kabur lagi. Gini deh, intinya Lala gak bisa keluar rumah kecuali diculik. Paham?"

"Culik?" Savero mengusap dagunya. "Kayaknya bukan ide yang buruk."

Jeff membulatkan mata. Ia tidak percaya bahwa Savero baru saja menyeringai. "Lo gila? Jangan aneh-aneh. Gimana bisa lo nembus penjagaan keluarganya?"

"Kalau gue bisa, lo berani kasih gue apa?" tantang Savero.

"Lo yakin apa cuma over aja?" Jeff meremehkan.

"Gue bukan tipe yang asal ngomong. Tapi kalau gue berhasil culik Lala, apa yang bisa gue dapet?"

Jeff mengamati Savero. Sedikit informasi yang dia dapat, Savero ini adalah adiknya Milo yang jelas tentu saja dari segi finansial, ia tidak kekurangan uang. Perusahaan yang ia kelola juga berjalan baik sejauh ini. Jadi mungkin Savero tidak kekurangan dana.

"Informasi. Gue bersedia lo manfaatin buat cari informasi. Selama ini di antara kami berlima, gue memiliki lebih banyak koneksi dibanding yang lain. Dan gue yakin informasi gue lebih akurat dari hal remeh sampai hal besar sekalipun." Jeff percaya diri dengan ucapannya. Tentu saja karena semua itu adalah fakta. Jeff bisa dengan mudah mendapatkan informasi karena memiliki segala macam cara untuk melakukannya.

"Kasih gue satu aja informasi yang bisa bikin gue yakin sama ucapan lo. Jadi gue bisa memutuskan cara apa yang tepat buat nyulik Lala."

Jeff menyeringai. Ia mencondongkan tubuhnya kedepan dan menyatukan tangannya di atas meja. "Kakak lo si Milo itu pernah pacaran sama Lala. Cukup lama mereka backstreet. Tapi si Milo mutusin Lala setelah nyokapnya Lala meninggal dengan alasan dia melanjutkan pendidikan di luar negeri."

Savero agak terkejut. Ia tidak menyangka dengan informasi yang baru didengar. Milo memang pergi ke luar negeri untuk sekolah bisnis. Dan begitu kembali pun Savero tak pernah tahu bahwa Milo dekat dengan perempuan manapun. Milo yang ia kenal lebih tertarik pada pekerjaan daripada perempuan. Dan jika itu yang dikatakan Jeff benar dan perempuan itu adalah Lala, maka bisa dikatakan Lala adalah sosok yang spesial bagi Milo. Setidaknya untuk masa lalu kakaknya.

"Tapi bagian menariknya bukan disitu," Jeff melanjutkan. "Fakta yang gak diketahui orang, Milo mutusin dia bukan karena mau sekolah. Tapi karena ambisi Milo buat punya kekuatan lebih besar. Milo gak bisa lanjut sama Lala karena Lala gak punya ambisi itu. Lala milih melukis, seperti mendiang mamanya. Bukan jadi pebisnis kayak papanya."

Satu hal yang Savero pikirkan sekarang. Semuanya terasa semakin menarik. Keinginannya untuk bertemu Lala membawanya pada satu informasi menarik tentang kakaknya. Tentang apa yang selama ini ia pikirkan namun masih terasa abu-abu. Satu demi satu keadaan semakin jelas. Savero jadi tak ragu untuk melakukan langkah selanjutnya.

"Menarik," Savero mengangguk puas. "Oke. Nanti gue hubungin lagi kalau gue berhasil nyulik Lala dari rumahnya."


[]

Terima Kasih sudah menyempatkan diri untuk mampir. Bagi feedback-nya, ya.

04 Juli 2023

Another ColorWhere stories live. Discover now