3. Help You

26 3 4
                                    

Lala tampak tenang di gendongan Savero. Ia menatap dengan mata bulatnya yang cerah. Sejenak Lala terpesona. Baru kali ini ada yang menolongya begitu saja. Satu hal yang ia sukai saat ini, lelaki yang menggendongnya memiliki wangi khas daun teh hijau yang segar.

Savero sendiri tak kalah heran dengan apa yang sedang ia lakukan. Entah karena merasa iba dan punya kewajiban menolong, atau karena terpesona dengan mata indah perempuan yang ia gendong. Savero dengan tenang membawa perempuan itu ke mobilnya kemudian membawanya pergi dari klub itu.

Ketika meninggalkan area parkir bawah tanah, mobil Savero harus melewati pemeriksaan. Seorang petugas mengatakan bahwa ada seorang perempuan yang kabur dan dalam pencarian. Beruntung sebelumnya Savero sudah memasangkan jaket di tubuh Lala juga mengatur kursinya hingga perempuan itu bisa berbaring. Jadi petugas yang memeriksa tidak terlalu memperhatikan kursi penumpang.

“Kita aman,” Savero baru bersuara setelah mereka berada cukup jauh dari Coyote.

“Hemm,” sahut Lala sekenanya.

"Ngomong-ngomong, kita belom kenalan. Namanya lo siapa?"

"Ileana, panggil aja Lala. Lo?"

"Savero," Savero menyebutkan namanya. “Kita ke rumah sakit sekarang?”

“Lo mau bikin gue ketangkep apa gimana, sih? Baru juga lepas dari sarang serigala masa iya mau masuk kandang harimau?” Lala terdengar kesal sambil masih memegangi perutnya.

“Kalau gitu, kita ke klinik aja,” putus Savero kemudian memutar arah kemudinya ke sebuah tikungan sebelum mereka sampai di perempatan lampu merah.

Lala agak bingung ketika merasa Savero pergi ke arah yang sebelumnya tidak pernah ia lewati. Yang Lala lihat, mereka masuk ke sebuah komplek perumahan dengan utama yang cukup lebar. Sepertinya bukan komplek perumahaan biasa. Dilihat dari ukuran bangunan yang bisa dikatakan cukup besar.

Lala menatap curiga pada Savero yang masih tenang dibalik kemudinya. Mobil baru berhenti ketika mereka sudah melewati beberapa blok. Savero memarkir mobilnya di depan sebuah klinik yang lampunya sudah padam. Savero turun dari mobil lantas memencet bel. Tak lama kemudian lampu klinik menyala terang. Seorang perempuan paruh baya dan seorang perempuan muda dengan piyama pun keluar.

Savero kembali ke mobil, ia membantu Lala turun dari mobil dan masuk ke klinik. Dengan cekatan, si perempuan muda membantu Lala naik ke ranjang untuk diberikan penanganan. Sementara si perempuan paruh baya yang Lala yakini adalah seorang dokter itu segera memeriksa Lala kemudian memasang infus di lengannya.

“Malam ini kamu nginep sini, ya. Sampai infus kamu habis, kamu baru bisa pergi. Tadi seharian makan apa?” Dokter bertanya dengan lembut usai memeriksa Lala.

“Em, saya tadi makan seperti biasa. Sarapan roti, terus siangnya kayaknya saya gak makan siang,” terang Lala.

“Terus kamu baru darimana?”

“Bar. Coyote,” sambar Savero yang berdiri dengan melipat tangan di depan dada sambil memperhatikan Lala yang terbaring di ranjang. “Aku gak tau dia minum atau makan apa di sana.”

“Alkohol sama buah,” ucap Lala menimpali. Entah perasaan dari mana, tapi ia merasa bahwa tatapan Savero seperti kesal padanya. Mungkin karena lelaki itu merasa telah direpotkan olehnya.

Dokter itu mengangguk-angguk. Ia lantas tersenyum dan menepuk pelan bahu Savero. “Kalau ngajak anak perempuan orang tuh diajak ke tempat yang baik, jangan ke bar. Kasihan tuh belum makan apa-apa dari siang. Sana bikinin makanan di dapur.”

“Kok aku, sih?” Savero memprotes.

“Ya kamu, lah. Emangnya mau siapa lagi, Sav. Belajar ngurus pacarnya, dong. Gak harus cewek doang yang ngurus cowoknya. Cowoknya juga harus bisa ngurus ceweknya.” Dokter itu mengedipkan matanya menggoda Savero. Perempuan muda di sebelahnya pun ikut menutup mulutnya menahan tawa.

“Tapi tante dia—”

“Udah, Sav. Tante tau. Tante bisa jaga rahasia, kok. Tenang aja. Yaudah kamu jagain dia jangan lupa bikinin makan dulu. Tante mau lanjut tidur. Kalau ada apa-apa, tinggal telfon tante.”

Dokter itu pun pergi diikuti perempuan muda di belakangnya. Lala menghela nafas menyadari bahwa ada kesalahpahaman di sini. Pertama, bukan Savero yang mengajaknya ke Coyote. Kedua, dia dan Savero baru kenal. Jadi jika dokter yang tadi dipanggil tante oleh Savero itu menganggap mereka ada hubungan, tentu adalah hal yang salah.

Savero menatap Lala sejenak kemudian membuang nafasnya sekaligus. Tanpa banyak bicara, ia pergi ke dalam area rumah dan Lala dibiarkan sendiri di sana. Agak canggung juga sebenarnya, tapi Lala merasa bahwa tubuhnya mulai membaik dan tidak terlalu sakit seperti tadi.

Sekitar dua puluh menit kemudian, Savero kembali dengan satu nampan dengan sebuah mangkok yang isinya masih berasap, segelas susu, serta sepiring roti bakar dengan sayuran dan telur di atasnya.

“Duduk,” ucapnya usai meletakkan nampan di atas meja kecil sebelah ranjang.

Meski agak kesulitan dan perlu bantuan Savero, Lala pun duduk. Ia bersandar di kepala ranjang yang lebih dulu sudah dialasi bantal oleh lelaki itu.

“Makan dulu. Tar gue kena omel tante gue kalau lo gak makan.”

“Gue gak laper. Lagian ini gue udah enakan, kok.”

“Gak usah bantah. Tante gue bilang, lambung lo bermasalah. Mau separah apalagi supaya lo lebih perhatian sama kesehatan badan sendiri?”

Lala diam saja. Merasa bahwa Savero baru saja mengomelinya. Ia kemudian menurut saja ketika Savero menyuapinya dengan bubur hangat. Sesekali Savero juga memberikan susu yang ia bawa untuk diminum oleh Lala tanpa banyak  bersuara. Keduanya seperti terjebak dalam hening yang tak berujung. Entah siapa yang memulai, namun keheningan itu menjadi ketenangan tanpa rasa canggung sama sekali.

“Makasi,” ucap Lala ketika Savero selesai menyuapinya dan giliran Savero makan roti bakar dengan sayuran dan telur yang mungkin sudah dingin.

“Makasi buat apa?”

“Makasi karena udah nolong gue padahal lo gak kenal sama gue.”

Savero mengangguk-angguk sambil lalu. “Emang harus kenal dulu baru nolongin orang? Nolong ya nolong aja. Gue gak mikir harus kenal dulu atau enggak.”

“Em, gitu. Lo percaya sama yang gue bilang tadi di Coyote? Bisa aja gue bohong buat minta bantuan lo, kan?"

Savero mengangkat bahunya tanpa pikir panjang. Ia menatap Lala kemudian tersenyum miring. “Bukan urusan gue. Jadi gue gak akan tanya atau ikut campur. Gue nolong lo karena gue ngerasa lo perlu bantuan gue. Itu aja.”

“O,” Lala mengangguk-angguk pendek. “Em, kalau gitu nanti kalau temen-temen gue jemput. Lo bilang aja nominalnya ke mereka supaya–”

“Gak perlu,” potong Savero cepat. “Gue gak kekurangan uang. Yang nolong lo juga tante gue, bukan gue. Dan gue rasa dia dengan senang hati nolongnya. Jadi lo gak perlu ngerasa perlu bayar. Sembuh aja dulu.”

“Tapi kan–”

“Denger, ya. Banyak hal di dunia ini emang perlu uang, tapi gak semua bisa dinilai dengan uang. Cukup lo ngucapin terima kasih dengan tulus, itu udah jadi bayaran tersendiri bahkan tak ternilai oleh apapun.” Savero menegaskan. “Sekarang lo mending istirahat. Tadi tante gue udah ngasih lo obat lewat infus jadi lo gak perlu minum obat lagi. Lo juga bisa istirahat dengan nyaman karena gue jamin mereka yang ngejar lo gak akan sampai ke sini.”

Lala mengerjapkan matanya. Ia tersenyum kecil karena baru sekali ini ada orang yang berani memotong ucapannya lebih dari sekali. Bagi Lala, keadaan ini rasanya cukup tidak masuk akal.

“Kalau begitu, terima kasih banyak atas bantuannya.”

“Kalau begitu, gue juga bakal berterima kasih kalau lo mau tidur sekarang supaya gue juga bisa tidur dengan nyaman.”

“Lo jagain gue malam ini?” Lala memastikan.

“Menurut lo tante gue bakal biarin gue pulang dengan nyaman dan ninggalin lo sendirian di kliniknya?” balas Savero agak sewot.

Lala sekali lagi tersenyum. Ia mengangguk pendek. “Kalau gitu, sekali lagi terima kasih. Dan maaf udah ngerepotin lo.”

[]


16 Juni 2023

TERIMA KASIH SUDAH MAMPIR

Another ColorWhere stories live. Discover now