14. Meet Komang

15 5 0
                                    


Setiap keputusan selalu disertai dengan penyesalan. Entah untuk waktu yang singkat ataupun selamanya. Ketika memutuskan untuk menjalankan rencananya, Lala tahu bahwa suatu saat, mungkin akan ada penyesalan. Keputusannya bukan keputusan anak kemarin sore yang hanya memikirkan kesenangan. Lala secara sadar ingin membalas perbuatan papanya. Mungkin ini bukan hal yang patut ditiru. Bukan pula hal yang bisa dilakukan oleh semua orang yang merasa sakit. Sebagian dari mereka mungkin menerima saja, tapi Lala tidak. Nuraninya mengatakan bahwa papanya harus diberi pelajaran.

Lala mungkin adalah satu dari sekian orang yang memiliki kesempatan. Tidak hanya dari segi materi, tapi juga kemauan dan kemampuan. Dalam hal ini, ia yakin bahwa dirinya mampu. Melihat kesalahan yang sudah papanya perbuat, juga bagaimana kakek tidak memberikan pelajaran yang setimpal. Lala merasa ia sangat kurang ajar karena berinisiatif untuk membuat papanya sadar. Ia menyusun rencana yang menurutnya tepat untuk membuat papanya menyesal. Dan kalaupun rencananya tidak berhasil, bagi Lala tidak masalah. Yang penting ia sudah berusaha semampunya.

Setelah pagi yang buruk dan menegangkan, Lala seperti kehilangan dirinya. Pikirannya mendadak kosong tanpa arah. Bahkan ketika Savero mengemudikan mobilnya tidak ke arah rumah, Lala diam saja. Ia sudah tidak peduli lagi kemana Savero akan membawanya.

"Turun!" Savero membuka pintu untuk Lala. Wajah lelaki itu tampak gusar. Ia terlihat khawatir sementara Lala menatapnya datar tanpa nyawa.

Lala melepas sabuk pengaman kemudian turun dari mobil. Ia dengan linglung berjalan lurus kemudian duduk di atas pasir. Menatap ombak yang beriak dengan suara berisik yang menenangkan.

Savero duduk di sebelah Lala. Ia menekuk lutut dan menatap perempuan di sampingnya penuh perhatian.

"Gue gak tau apa kehadiran gue akan membawa rasa nyaman buat lo, tapi gue mau di sini sama lo."

Lala menoleh dan menatap Savero. Ia bersyukur karena dalam keadaan ini ia tidak sendirian. "Gue berutang banyak sama lo. Termasuk soal penghinaan yang lo dapet hari ini."

Savero menggeleng. "Jangan dipikirin," Ia kemudian menatap ke laut lepas. "Gue udah biasa diperlakukan seperti tadi. Dan bukan masalah yang besar lagi."

Ia kemudian menghela napas dan membuangnya dengan kasar. "Gue khawatir sama lo. Apa lo baik-baik aja?"

Bukan menjawab, Lala malah balik bertanya. "Lo sendiri gimana? Baik-baik aja?"

Savero menaikkan sebelah alisnya lalu tersenyum. "Gue marah tapi gue baik-baik aja. Gak ada yang berhak nyakitin gue dan bikin mental gue jatuh."

Lala mengangguk setuju. "Gue pun akan mengatakan demikian. Makasi udah mewakili," ia tertawa kecil.

"Kalau lo perlu pelukan gratis, gue bisa kasih ke elo kapanpun."

"Pelukan untuk apa?"

"Kalau lo pengen nangis dan gak pengen kelihatan menyedihkan," Savero menunggu respon Lala yang hanya menatapnya datar saja. "Gue mungkin gak ngerasain apa yang lo rasain sekarang. Tapi gue tau gimana rasanya sendirian pas lagi butuh banget seseorang buat jadi sandaran."

Lala diam sejenak. Kemudian ia berkata, "Lo mau jadi sandaran gue sekarang? Kayaknya gue gak bisa nahan ini lebih lama."

Savero menghadap Lala kemudian membuka kedua lengannya lebar. Tanpa kata, tanpa suara. Savero mempersilahkan Lala datang padanya.

Lala mendekat kemudian memeluk Savero erat. Ia terisak. Menangis di dada laki-laki itu. Tubuhnya gemetar ketika Savero balas memeluknya erat. Tidak ada yang bicara. Tidak Savero, tidak pula Lala. Hanya isakan yang terdengar jelas bersatu dengan deburan ombak dan suara angin.

Another ColorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang