1. COYOTE V.I.P CLUB

66 6 8
                                    

Dentuman musik upbeat memenuhi ruangan dengan cahaya lampu yang berganti tiap beberapa detik. Meja-meja di dekat lantai dansa sudah terisi oleh manusia-manusia yang haus akan hiburan di sela penatnya pekerjaan. Bar-bar juga sudah dipenuhi oleh orang-orang yang mengisi kerongkongan dengan minuman memabukkan. Entah sedikit atau banyak, mereka membiarkan teguk demi teguk melewati tenggorokan hingga menimbulkan sensasi tersendiri.

Savero bukan penikmat keramaian. Bukan juga penikmat minuman dengan kadar alkohol tinggi seperti deretan botol yang tersaji di hadapannya. Malam itu ia hanya tamu. Orang yang diundang khusus oleh salah satu teman baiknya selama di Amerika untuk merayakan kepulangan temannya itu.

Pemuda dengan setelan jaket kulit warna hitam dan kaos putih polos itu hanya diam di sofa yang ada di lantai dua. Mengamati gerakan manusia-manusia di lantai dansa yang asik bergerak mengikuti irama. Sesekali ia meneguk minuman bersoda yang ada di tangannya sambil memeriksa jam yang terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.

"Sav, gak ikut turun?"

Malik yang baru datang memberikan pukulan ringan di lengan Savero. Pemuda itu lantas balas saling beradu tinju sebagai bentuk salam.

"Baru dateng, lo? Gue tungguin dari tadi. Chatra udah nanyain kapan lo datang. Mana lo kayak gak ada otak maksa gue kesini," omel Savero sebagai sambutan. Sebagai orang yang dipaksa untuk hadir padahal tidak ingin, Savero cukup kesal karena ia berakhir ditinggal sendirian di sofa di antara puluhan sofa lain yang sudah diisi oleh beberapa orang yang kehilangan kesadaran.

Malik tergelak. Ia duduk di sebelah Savero lantas menuang minuman di gelas kosong. Ia menambahkan sebongkah es batu baru meneguknya pelan.

"Gue tadi ketemu dulu sama calon klien. Pertemuan baru selesai lalu gue kesini. Gue pikir lo udah gabung sama Chatra yang cari cewek di bawah. Gak taunya, masih aja cupu. Duduk di sini sendirian udah kayak jomblo ngenes."

Savero berdecak. "Lo sendiri tau gue paling ogah diajak ke tempat kayak gini. Udah berisik, banyak orang gak jelas."

Malik sekali lagi tertawa kali ini meletakkan gelas di atas meja. "Jangan salah, Sav. Tempat yang lo bilang gak jelas kayak gini, kadang jadi tempat penting dimana hal-hal yang gak terduga bisa lo temuin."

"Ini club, Mal. Isinya orang mau nyari kesenangan sama minum doang."

"Oh, no. Come on, Savero. Jangan berpikir konyol kayak bokap kita. Ini Coyote. VIP club terbaik di negeri ini. Gak ada yang namanya orang yang cuma minum doang atau sekedar nyari kesenangan di sini."

Savero menghela napasnya kasar. Sudah pasti ia akan kalah berdebat jika lawannya adalah Malik. Apapun yang Malik katakan, ia selalu punya seribu alasan pembenaran.

"Ini akhir bulan, Sav. Dan pemilik Coyote bakalan muncul." Malik berkata dengan raut serius. Kali ini ia menatap lurus ke lantai dansa. Ikut mengamati perempuan dan laki-laki yang masih menikmati hentakan musik yang dimainkan.

Malik memang sudah memikirkan ini sebelumnya. Ia memang ingin ke Coyote jauh sebelum Chatra kembali dari Amerika. Tapi ia belum memiliki alasan untuk ke tempat itu sekalipun ia juga penikmat pesta. Coyote adalah klub kelas atas. Tak semua orang bisa masuk ke tempat itu sekalipun memiliki uang. Biaya sewa meja di lantai satu saja sudah seharga gaji UMR di ibukota. Bisa dibayangkan berapa harga sewa meja untuk tempat mereka di lantai dua.

Baik Savero maupun Malik sedikit banyak memiliki pemikiran yang sama. Mereka tidak seperti orang-orang di bawah sana yang menikmati pesta hanya sekedar untuk hura-hura atau menghabiskan uang orang tua atau untuk pamer di sosial media. Bukan rahasia umum lagi, mereka yang baru memanjat ke atas memang memerlukan validasi untuk menunjukan eksistensi. Dan dalam beberapa situasi, Coyote menjadi salah satu bentuk validasi yang mereka butuhkan.

Another ColorTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon