32. Savero's Step

17 1 0
                                    

Mengendarai mobil sang mama, Savero tiba di rumah keluarga papanya ketika waktu sarapan. Pada jam seperti ini, keluarga itu pasti sedang bersama di meja makan. Meski anggota keluarga tidak lengkap, paling tidak papanya, mama tirinya, Milo, kakek juga nenek pasti ada di dalam sana.

Mengetahui Savero datang, seorang pelayan menahannya supaya tidak masuk. Namun Savero menatapnya datar, dingin, dan tajam. Terlihat menakutkan di saat bersamaan. Mau tidak mau, si pelayan pun menepikan dirinya dan Savero akhirnya bisa masuk ke dalam rumah.

"Pagi semua," Savero menyapa dengan senyuman lebar. "Sarapan bareng rupanya," lanjut Savero kemudian duduk begitu saja di kursi kosong di ujung meja.

Pagi itu rupanya Savero cukup beruntung. Formasi sarapan cukup lengkap dengan semua om dan tante yang rupanya datang ke rumah itu. Mungkin hanya beberapa sepupunya yang memang sudah pergi ke kantor lebih dulu yang tidak ada di tempat. Tapi tidak apa, rencana Savero akan tetap berjalan.

"Ngapain lo kesini? Mau negosiasi sama papa?" Milo meletakkan sendoknya dan tersenyum meremehkan. "Atau lo mau mohon-mohon untuk supaya papa nyabut laporan atas lo ke polisi?"

Savero menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri sambil tersenyum tipis. "Enggak keduanya. Gue berniat menyerahkan diri malah."

"Gila. Kayaknya otak lo udah gak waras. Lo harusnya tau posisi lo gimana dan cepet minta bantuan papa. Malu-maluin nama keluarga aja!"

Savero menaikkan alisnya sesaat. Ia lantas mengerutkan dahinya. "Lo gak salah ngomong? Yang malu-maluin siapa? Bukannya kalian yang menjebak gue?"

Papa tampak geram. Ia menatap tajam putra bungsunya seolah anak itu adalah musuh besarnya.

"Lancang kamu!" kata Pak Armand. "Seharusnya kamu bisa lebih pintar di situasi seperti ini. Kembali ke rumah dan bekerja. Karyawan-karyawan kamu pasti membutuhkan pemimpinnya. Jangan egois dengan mementingkan diri kamu sendiri."

"Yang mentingin diri sendiri itu siapa, Pa? Bukannya papa sama kakek yang rencanain ini? Supaya apa? Supaya aku pulang terus balik jadi bayangan Milo?" Savero tertawa kecil terdengar meledek. "Udahlah. Simpan aja rencananya. Aku ikutin kalau kalian emang mau lihat aku main ke kantor polisi. Tapi inget satu hal," kali ini sorot mata Savero berubah serius dan mengancam, "inget bahwa Savero yang kalian kenal kemarin udah gak ada. Savero Noah Floyd gak pernah ada. Yang ada di hadapan kalian sekarang adalah orang lain. Dan sekali orang itu bergerak, dia gak akan berhenti sebelum puas," ucapnya diakhiri dengan senyum miring yang tampak menyeramkan.

"Banyak omong. Lihat saja nanti. Kamu akan berakhir dengan memohon pada papa," balas Pak Armand tak mau kalah.

Savero mengangkat bahunya tidak peduli. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Ia menekan sebuah panggilan dan menempelkan benda itu di telinganya. Savero menunggu panggilan dijawab, ia menatap papanya dengan senyum licik.

"Ya, udah di jalan?" tanya Savero pada orang yang ada di seberang. Dia lantas diam beberapa saat dan mendengarkan ucapan lawan bicaranya dengan tenang. "Oke. Gue tunggu," lalu panggilan pun terputus.

"Ngomong-ngomong, keluarga kita jarang di liput media, kan? Kayaknya kalian harus siap-siap jadi makin terkenal. Sebentar lagi keluarga kita akan menjadi berita utama di semua portal berita di negeri ini." Savero berkata dengan santai sambil menggulung lengan kemejanya sampai siku.

Pak Armand tidak meneruskan sarapannya. Ia menatap putra bungsunya dengan amarah memuncak.

"Jangan main-main, Sav! Sekali kamu membuat masalah, jangan harap kamu bisa kembali ke keluarga ini," peringat Kakek dengan tegas.

Savero tidak membalas. Ia justru tertawa keras. "Main-main? Siapa? Aku?" Ia tertawa lagi. "Aku cuma ikutin permainan kalian. Dan Kakek bilang apa tadi? Kembali ke keluarga ini? Oh, maaf. Kayaknya itu gak ada di daftar rencanaku. So, enjoy the show."

Another ColorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang