- PART 08 -

933 118 13
                                    

- PART 08 -

Semalam Arsyad kebablasan tertidur sampai subuh di kamar Risty. Begitu bangun, ia langsung beranjak dari sana, dan tak sengaja dipergoki oleh salah satu ART-nya.

Namun, Arsyad cuek saja. Lagi pula, semua orang di rumah ini sudah mengetahui apa status Risty sebenarnya.

Sementara itu, Risty yang seranjang bersama Arsyad, benar-benar pandai menjaga jarak walaupun hanya ada sebuah guling yang menjadi pemisah. Untungnya, selain dirinya, Arsyad juga tidak bergerak terlalu ekstrem dalam keadaan tidak sadar. Sehingga guling itu pun tetap anteng berada di tengah.

Sekitar pukul 6 pagi, Risty yang sebenarnya sudah bangun tidur sejak tadi, tampak baru keluar dari kamar untuk mencuci teko kaca di kamarnya sekaligus mengisinya dengan air minum seperti biasa. Karena selama tinggal di sini, ia memang lebih sering menghabiskan waktu di kamar. Jadi, ia selalu menyimpan persediaan air minum di sana.

“Non Risty.“

Risty yang sedang membilas teko di tangannya, lantas menyahuti panggilan itu sembari menolehkan kepala. “Iya, Mbok? Ada apa?“

“Non Risty sibuk?” Hasna bertanya balik sebelum menjawab pertanyaan dari Risty barusan.

“Eng ... enggak sih,“ jawab Risty sedikit ragu. Tetapi, membuat Hasna tersenyum.

“Kalau gitu, Non Risty mau ya siapin bekal buat Bapak?”

Risty sontak tergagap.

“Tinggal dimasukin aja kok ke dalem kotak,“ tambah Hasna kemudian, yang membuat Risty langsung geleng-geleng pelan.

“Kan ada Bu May—”

“Ibu enggak pulang. Jadi, Non Risty aja ya?“ bujuk Hasna sembari merangkul sebelah tangan wanita muda itu dengan lembut. Bermaksud untuk membawanya ke meja makan. Ia lantas meletakkan teko kaca yang dipegang oleh Risty ke atas meja.

“Tapi, Mbok ...,“ Risty tampak berjalan mengikuti Hasna dengan langkah tersendat. “ ... Saya kan bukan istrinya.“

Hasna langsung menoleh kaget ke arah Risty, yang membuat gadis itu sadar kalau ia telah salah bicara.

Supaya Hasna tidak salah paham, jadi Risty pun segera menambahkan. “Maksudnya ... ya, saya juga istrinya, tapi itu bukan tugas saya, Mbok. Saya cuma—”

“Nah, Non Risty kan istrinya Bapak juga. Jadi, ini tugasnya Non Risty. Ayo, dibiasakan.“

Nada suara Hasna terdengar sangat keibuan. Hingga mau tak mau, Risty yang sudah diajak ke meja makan pun, tampak mulai memasukkan sebagian menu yang sudah terhidang di sana ke dalam sebuah kotak bekal.

Semuanya memang sudah disiapkan, sehingga Risty hanya perlu mengisi kotak bekal itu sesuai arahan. Bahkan Hasna juga memberitahunya tentang takaran kopi yang biasanya rutin diminum oleh Arsyad. Dan berhubung hari ini kopi itu sudah terhidang, jadi besok pagi Risty baru bisa mulai mempraktikkan.

Risty hanya mendengarkan tanpa banyak berkomentar.

Saat itulah Arsyad muncul di sana. Dahinya langsung mengernyit memandang Risty yang masih sibuk mengurusi kotak bekal. “Ngapain?“

Risty yang terkejut, refleks mengelus dada. Karena suara berat pria itu muncul secara tiba-tiba. Sehingga Hasna yang duluan angkat bicara.

“Non Risty lagi belajar menyiapkan bekal buat Bapak.”

“Oh ya?”

Hasna langsung mengangguk, tampak membenarkan.

“Bagus.“ Arsyad tampak manggut-manggut. “Biar dia ada kerjaan, dan enggak ongkang-ongkang kaki aja di rumah.”

Risty langsung menoleh ke arah Arsyad sembari membesarkan kelopak matanya saat itu juga. Karena Arsyad baru saja menyindirnya secara terang-terangan. Padahal, pria itu sama sekali tidak mengetahui apa saja pekerjaannya di rumah. Karena nyatanya, selama ini Mayra cukup sering menyuruh-nyuruh dirinya. Bahkan ia juga sudah sering pergi ke beberapa tempat sambil mengayuh sepeda. Biasanya ia menawarkan diri untuk pergi ke mini market jika ada bahan makanan yang kurang. Hitung-hitung sekalian mencari angin di luar, agar tidak terlalu sumpek karena terus berada di rumah.

Namun, ia tidak bisa memprotes ucapan pria itu karena masih ada sosok Hasna di sana. Ia hanya tidak ingin dianggap tidak sopan. Apa lagi Arsyad itu lebih tua di atasnya. Sehingga ia pun tidak membalas, dan segera menyelesaikan pekerjaannya, lalu tak lupa menyiapkan sendok serta garpu untuk kotak bekal pria itu agar tidak ketinggalan.

Dan Risty baru tahu kalau ternyata Arsyad senang membawa bekal. Padahal ia pikir kalau orang kaya seperti Arsyad pasti lebih menyukai makanan di luar ketimbang membawa sendiri dari rumah.

***

Keesokan harinya, ternyata Hasna serius ingin melihat Risty mempraktikkan ilmunya. Karena saat Risty belum juga keluar dari kamar, padahal jarum jam sudah hampir menyentuh pukul 6, Hasna tampak mengetuk pintu kamar wanita itu, lalu berkata. “Katanya kemarin mau belajar bikin kopi buat Bapak. Kalau mau bikin kopi, Non Risty harus udah siap-siap di dapur sebelum jam enam.“

Sebenarnya Risty ingin menolak, tapi merasa tidak enak. Apa lagi Hasna juga sudah merangkul lengannya. Sehingga ia pun ikut melangkah.

Begitu sampai di dapur, Risty tampak berdiri di depan mesin kopi sembari mengikuti segala arahan yang diberikan oleh Noni.

Noni adalah ART termuda di sana sekaligus yang paling mengerti dan paling sering menggunakan mesin kopi. Biasanya ia-lah yang membuatkan kopi untuk Arsyad. Walau begitu, sepertinya semua ART di sana bisa membuatkan kopi dalam takaran yang sama. Karena selama Risty berdiri di sana, sesekali Inah juga akan ikut menimpali perkataan Noni yang sedang mengajarinya.

“Kalau nanti rasanya gak enak, gimana?“ tanya Risty pada Noni sembari memandang kopi buatannya dengan khawatir. Saat ini kopi itu sedang dituangkan ke dalam sebuah cangkir.

“Non Risty tenang aja. Bapak kan baik, apa lagi Non Risty juga istrinya. Bapak pasti gak akan marah.“

Namun, Risty tetap cemas. Karena Noni tidak mengerti bagaimana hubungannya dengan Arsyad. Apa lagi Arsyad juga selalu terlihat galak terhadap dirinya.

“Mending Bibi buat lagi aja kopinya, yang ini—”

Perkataan Risty saat itu harus terpotong karena Hasna muncul di dapur dan memberitahukan kalau Arsyad sudah menanyakan kopinya.

Hal itu sontak saja membuat Risty jadi bertambah cemas. Tetapi, ketiga ART di sana kompak menyuruhnya untuk menghidangkan kopi itu ke meja makan sendirian.

Risty merasa kalau ia sedang dijadikan kelinci percobaan, dan ia tidak tahu bagaimana nasib hidupnya setelah kopi ini terhidang.

Namun, ia juga sudah menyiapkan dirinya jika nanti dimarahi oleh Arsyad karena kopinya tidak enak dan tidak sesuai takaran. Atau mungkin ia juga akan langsung ditegur oleh Mayra. Karena sejak awal wanita itu sudah memperingati dirinya agar tidak terlalu sering berinteraksi dengan Arsyad jika tidak sedang memiliki kepentingan.

Dan kepentingannya dengan pria itu hanyalah misi untuk membuat anak. Selain itu, tidak ada. Sehingga Risty takut kalau aksinya ini akan memancing kemarahan Mayra.

Untungnya, saat itu Arsyad sedang menikmati sarapannya sendirian. Jadi, Risty pun bisa sedikit bernapas lega.

“Lho? Kenapa kamu ...?“ Arsyad mengernyit sambil mengambil alih kopi itu.

“Iya, Pak. Tadi disuruh sama Mbok.”

“Kemanisan,“ komentar Arsyad dengan dahi yang masih mengernyit setelah menyesap kopi dari Risty. “Kamu yang bikin?“ tanyanya kemudian. Membuat Risty mengangguk, tampak membenarkan. Dan segera meminta maaf, karena tak sengaja membuat kesalahan.

“Maaf, Pak. Tadi saya baru belajar.“

Arsyad hanya mengangguk sekenanya. Lalu memberi isyarat agar Risty segera meninggalkannya sendirian. Karena ponselnya berdering, dan nama ‘Mama’ terpampang jelas di layar.

******


Sabtu, 25 November 2023

November RainWhere stories live. Discover now