"Kenapa saya harus berbohong? Lihat disana itu meja yang saya pesan tadi." Ayah Lee menunjuk kearah meja yang ditempatinya tadi.

"Kata Ibuku orang kota terkadang suka berbohong. Jadi saya harus hati-hati."

"Orang kota?." Ayah Lee terheran kemudian bertanya "memangnya kau darimana?"

"Pegunungan."

"Jauh sekali."

"Jika kau orang yang memesan makanan di restoran itu. Maka kau akan sanggup membeli roti yang kujual. Tolong belilah rotiku."

"Berapa harganya?"

"700 won."

'Murah sekali' pikir Ayah Lee saat itu. Dia segera mengeluarkan dompet dan memberikan uang 700.000 won hanya untuk membeli 5 roti. Dia memberikan uang itu tanpa meminta kembalian.

Senyum remaja itu mengembang dan Ayah Lee dapat melihat dengan jelas wajah yang tertimbun syal. Senyuman itu merekah sembari berterima kasih. Ayah Lee baru kali ini melihat seseorang dengan senyuman tulus nan bahagia. Remaja dengan rona merah di wajah yang nampak menggemaskan ketika tersenyum lebar.

"Saya tidak enak jika menerima uang sebanyak ini. Besok saya akan memberikan roti baru sebagai gantinya."

"Tidak perlu. Aku berikan itu untukmu. Hati-hati di jalan pulang."

Bunda Lee menarik lengan Ayah Lee untuk menghentikan pria dewasa itu berjalan menajuh.

"Tunggu.. sebagai gantinya izinkan saya memberikanmu satu roti selama sebulan penuh. Tolong jangan menolak." Bunda Lee kemudian berjalan menjauh.

"Sampai jumpa besok kakak!." teriaknya dengan gembira dan melambaikan tangan.

Seperti itulah pertemuan mereka hingga Ayah Lee ditentang habis-habisan karena ingin mempersunting anak miskin yang penuh dengan kepolosannya. Namun dia memilih meninggalkan gemerlap dunia dan menjalani hidup dengan orang yang memiliki senyuman menenangkan.

Berpindah kota, mereka sudah dikaruniai anak laki-laki bernama Lee Felix. Kemudian usaha kuliner yang dirintis menjadi berkembang pesat. Tak lama mengecap susahnya ekonomi, mereka pun bisa merasakan cukup setelah Felix lahir ke dunia ini.

Hingga Felix lulus SMA dan menjalani kuliah di semester 6, hal buruk terjadi pada mereka. Di jalanan sepi ketika mereka kembali dari berlibur di rumah keluarga Bunda Lee. Mereka dicelakai oleh putra bungsu keluarga Lee. Mobil yang dikendarai itu disenggol mobil putra bungsu Lee lalu tertabrak pembatas trotoar.

Kedua orang tua Lee Felix tak selamat. Menyisahkan satu-satunya anak mereka yang berjuang nyawa di rumah sakit. Seminggu tak sadarkan diri, Felix baru bangun dengan tubuh lebam dan luka. Asuransi yang diberikan kedua orang tuanya membantu Felix sembuh dari sakit.

Tapi apa daya, orang yang terluka dan penuh dengan lilitan perban itu diminta duduk di depan hakim untuk menentukan bahwa kecelakaan itu murni sebagai kecelakaan tunggal. Felix geram dan stres dikala itu. Memandang benci ke ruangan kosong bekas ketok palu. Sebegitu mudahnya mereka menyatakan hal itu sebagai kecelakaan tunggal padahal Felix sebagai korban dan saksi melihat sendiri bahwa mobil mereka sengaja disenggol. Bukti dihilangkan hanya demi uang.

Kembali ke rumah sakit karena Felix masih butuh perawatan intensif. Besoknya Felix rasa hidupnya tak berarti jika kedua orang tuanya sudah tiada. Dunia sungguh kejam untuk mereka. Keserakahan dan keirian merenggut kebahagiaan mereka. Felix bertanya-tanya apa salahnya dan kedua orang tuanya.

Semalaman penuh dia menangis, kemudian esok paginya seperti tak terjadi apapun, dia berjalan menuju atap. Cuaca hari itu amat indah. Langit biru, cerah dan sedikit berangin. Membiarkan pintu atap terbuka lalu Felix berjalan menuju pinggiran pagar pembatas. Ada banyak kain putih yang dijemur disana. Felix melepaskan infus ditangannya lalu berjalan dengan mengepakkan tangan setelahnya naik ke pagar pembatas. Semilir angin itu terasa sejuk di kulit. Tapi sayang, hatinya hancur seakan tak bisa menjalani hidup sedetik saja.

"Felix...!!"

Seseorang berlari dengan kecepatan tinggi dan mendekap tubuh ringkih yang hampir jatuh itu menjauh dari pagar.  Sampai tubuh yang berperawakan tinggi itu terbentur lantai yang dingin.

Cukup lama setelah mereka sama-sama tertidur di lantai. Kemudian suara tangisan terdengar memilukan untuk didengar. Rintihan yang membuat hati seakan tersayat. Tak tahu harus apa, hanya memberikan pelukan karena dipikir itu yang bisa menenangkan.

"Aku ingin mati..! aku ingin mati.. saja!."

Felix berteriak merasa sesak ketika kebahagiaannya direnggut dan dunia seakan begitu kejam padanya. Duduk setelah memberontak untuk dipeluk dia menatap nyalang pada sosok yang dikenalinya itu.

"Kenapa mereka mengambil kebahagiaanku?! Mereka begitu jahat! Tuhan kenapa seperti ini?." teriaknya dengan putus asa.

"Jika kau ingin pergi. Pergilah sendiri." kata orang itu dengan penekanan. "Aku kembali tapi kau ingin mati. Tepati janjimu!"

Felix tersentak ketika dibentak. Dia ikut kesal dan terbawa emosi, kemudian berteriak "Aku berjanji apa padamu?! kau tahu apa tentang diriku! Tidak ada artinya aku hidup!"

"Jika kau ingin mati, matilah dalam kesendirian karena aku tidak akan menemanimu." dia berdiri dan meninggalkan Felix sendiri masih dengan kesedihan.

Setelah menangis cukup lama, Felix diangkat seseorang agar berdiri tegap. Dielus surai itu dengan pelan sampai emosi Felix yang naik itu perlahan turun dan bisa berpikir jernih.

"Kenapa kau kembali lagi Sam?" tanya pria manis itu masih mengelap air mata.

"Bangunlah, aku akan membantumu Lix. Seberat apapun itu kumohon jangan menangis Felixku."

Felix menatap keatas dan dilihatnya orang jangkung itu tersenyum. Kata-kata penyemangat dan pelukan itu diberikan sepenuh hati oleh si bungsu Hwang.

"Sam, aku harus bagaimana?"

"Tetaplah hidup. Ada yang menantimu. Kenapa kau malah memilih untuk mati?."

🍁 25/11/2023
🍁 JUNE_GN 

Halo.. apakah sudah tidur?

Kisah Kita | HyunLixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang