18

5.8K 1K 65
                                    

"Bisa kita bicara di tempat lain saja?"

"Kamu nggak mau makan siang?" tanya Pram..

Jenaka menggeleng. Ia terlalu panik dan gugup untuk mengisi perutnya sekarang.

"Baiklah, apa ada tempat yang ingin kamu kunjungi?"

Hanya sebuah gelengan kepala yang bisa ia berikan. Jenaka juga tidak tahu mau kemana. Hanya saja ia ingin jauh dari keramaian. Jenaka butuh sesuatu yang menenangkan. Jika ia dikelilingi oleh manusia lain, Jenaka tidak yakin bisa mengontrol emosinya dengan baik dan justru semakin memperunyam hubungannya dengan pram.

"Mau ke apartemenku atau..."

"Kemana saja yang nggak banyak orangnya."

"Okey... bisa dimengerti."

Pram meninggalkan lahan parkir restoran untuk kembali melaju di jalanan beraspal. Pendingin udara mobil bekerja sangat baik untuk mendinginkan suhu siang yang terik di jalanan. Meskipun begitu, dinginnya suhu interior mobil tidak mampu mengeringkan keringat dingin Jenaka. Gadis itu tengah berperang melawan dirinya sendiri. Melawan keraguan juga kebingungan yang ia pendam selama ini.

Mungkin lebih tepatnya melawan kemunafikan dirinya sendiri. Gadis itu sama sekali tidak melirik pria yang sedang menyetir di sampingnya. Pram pun tidak ada niatan untuk membuka mulutnya. Mereka sibuk mempersiapkan kata-kata terbaik mereka untuk menyelesaikan kasus ini.

Mobil pun berhenti di lahan parkir. Pram menoleh ke samping dimana Jenaka sudah lama jatuh tertidur di bangku penumpang. Jaket milik Pram tersampir di atas tubuh Jenaka agar gadis itu tidak kedinginan. Pram memberikan jaket miliknya ketika mereka berhenti mengisi bensin sebentar.

Dan setelah melewati perjalan berjam-jam, Pram tiba di tempat yang sama seperti seratus tahun yang lalu.

Pria itu melihat pemandangan di depannya dengan penuh nostalgia. Ingatannya masih tergambar jelas. Lahan parkir dn deretan toko cinderamata terlihat banyak berubah. Tapi esensinya ash sama. Jiwa manusia-manusia pinggir laut masih sama. Aroma laut yang menggelitik hidungnya pun masih sama.

Matahari sudah semakin condong ke arah barat. Sebagian toko cinderamata juga sudah tutup. Pram menoleh ke samping melihat Jenaka yang tertidur lelap sekali lagi. Pria itu mematikan mesin mobil dan menyentuh pundak Jenaka. Menggunangnya pelan agar Jenaka bangun.

"Jenaka... kita sudah sampai," bisik pram.

Kerutan mulai muncul di kening gadis itu membuat pram tersenyum. Jenaka menggumamkan sesuatu yang tak dimengerti oleh Pram. Setelah sedikit protes akibat tidurnya terganggu, Jenaka perlahan mulai kembali sadar. Mendengar suara kekehan dari samping, Jenaka langsung membuka matanya lebar-lebar.

"Pram?"

"Ya?"

"Kita...?" Jenaka melihat sekleilingnya dengan bingung. Ia tidak mengenal tempat tersebut.

Pram tak menggubris pertanyaan Jenaka yang setengah-setengah. Pria itu keluar untuk membukakan pintu untuk Jenaka. Tanah cokelat berpasir itu menyadarkan Jenaka bahwa mereka sudah berada di dekat pesisir. Ia meninggalkan sepatunya di dalam mobil. Melihat bagian kakinya yang jarang terkena benda kasar menyentuh dan merasakan tekstur lain selain alas kaki.

Pram kembali mengenakan jaket miliknya kepada Jenaka. Matahari sudah semakin condong ke barat. Warna langit juga perlahan menjingga. Ngin berhembus akan membawa udara dingin. Pram tidak ingin Jenaka kedinginan.

"Ayo<" ajak Pram yang kemudian jalan terlebih dulu meninggalkan jenaa di belakang.

Tidak ingin ditinggal sendirian, Jenaka berlari menyusul pram dan meriah kemeja pria itu untuk dipegangnya. Prm melihat tangan Jenaka yang memegang ujung kemejanya. Ia tak berkata apa-apa dan membiarkan gadis itu melakukan apapun yang ia mau.

Surat Dari Pram (Complete)Where stories live. Discover now