8

5.4K 1K 63
                                    

Bagian flashback Pram akan aku upload langsung yaa, tapi tetap vote dan komen yaaa, makaish banyak happy reading ^^

***

Pram mengenakan jam tangannya. Ia mengernyit melihat jam tangannya yang terasa longgar. Jam tangan berwarna perak itu yang selalu pas melingkar di pergelangan tangannya tiba-tiba berubah menjadi lebih besar Bagaimana bisa?

Ia melihat ke arah cermin dan melihat cekung di pipinya. Atau mungkin dirinya yang bertambah kurus? Pram menggeleng. Tidak mungkin dirinya bertambah kurus. Ia makan dengan teratur. Pria itu keluar dari kamarnya bersiap untuk kembali ke kantor kejaksaan.

Ia menyediakan sarapan untuk dua orang tapi seperti biasanya nafsu makannya semakin hilang setiap harinya. Jika dulu ia masih mampu menghabiskan satu piring, kemudian beberapa hari selanjutnya perutnya hanya mampu menyiram setengah, dan sekarang ia hanya bisa makan dua sendok saja.

Pram mengganti kekosongan perutnya dengan segelas air kemudian membawa tas kerjanya. Pria itu berjalan penuh harga diri. Beberapa orang yang dikenalnya menyapa, hanya dibalas dengan anggukan kepala seperti enggan membalasnya lagi.

Kabar tunangan Tuan Jaksa yang menghilang begitu saja perlahan mereda tapi sikap sang jaksa masih dingin dan semakin tak tersentuh. Orang-orang bisa memakluminya. Kehilangan orang yang dicintai memang semengerikan itu.

Di kantor jaksa, Iskandar telah menunggu. Ia menghela nafas melihat bentuk Pram saat ini.Tanda-tanda keruntuhannya sudah terlihat semakin jelas tapi dengan angkuhnya Pram masih berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja.

"Perlukah saya membawa Anda untuk menemui Dokter Willem?" tanya Iskandar sambil memberikan sebuah berkas kepada Pram.

"Itu bukan urusanmu," jawab Pram singkat kemudian pergi meninggalkan Iskandar yang melihat punggung Pram yang terlihat semakin kurus.

Pram jadi semakin malas untuk bekerja. Setelah keberhasilannya meruntuhkan kekuasaan Raden Jaya beserta keluarga Bupati, kini ia tidak lagi memiliki tujuan hidup selain untuk menunggu Jenaka kembali. Ia jadi semakin malas untuk membuka lembaran baru. Rasanya ia ingin tidur saja. Dengan begitu mungkin waktu bisa berlalu lebih cepat baginya.

Pram duduk di kursi kerjanya. Ia melihat mesin tik di depannya sejenak.

Ah! Ia memiliki sebuah ide. Tanpa menunggu lama, Pram pun dengan cepat menyelesaikan surat pengunduran dirinya. Kenapa ia harus berkutat dengan orang-orang ini? Pikirnya. Itu hanya buang-buang waktu saja. Dari pada menghabiskan waktu bertemu dengan orang-orang yang tidak membawa manfaat baginya, lebih baik Pram di rumah saja. Menjaga rumah agar tetap bersih. Supaya Jenaka bisa kembali dan merasa senang!

Dengan ilusi tanpa ujung, Pram menemukan semangat baru semangat yang akan terus menggerus dirinya. Mengikisnya hingga menjadi serpihan.

Pengunduran Pram telah didengar oleh Hidjo dan Jati. Kedua pria itu menghampiri kantor Pram keesokan harinya dimana Pram tengah merapikan buku-bukunya yang tertinggal di kantor.

"Pram! Kamu tidak bisa seperti ini terus!" bentak Hidjo yang hanya mendapatkan lirikan Pram yang sama sekali tidak tertarik dengan kekhawatiran Hidjo.

"Pram, ayo ikut kami ke Den Haag, dengan begitu saya akan membuat alat yang membawa kamu bertemu Jenaka."

Pram yang mendengarkan ucapan Jati tersebut diam mematung. Pria itu tersenyum lebar.

"Ah! Ide bagus! Kamu buat cepat ya. Saya tunggu di sini aja. Saya khawatir kalau rumah saya tinggal, Jenaka yang tiba-tiba pulang akan kebingungan karena nggak ada orang yang ia kenal di sini. Ide bagus Jati! Kamu butuh dana? Saya akan kirimkan uang saya ke kamu."

"Bukan begitu, Pram! Kamu- ugh... kamu itu butuh pertolongan!" bentak Hidjo membuat Pram mengernyitkan keningnya bingung.

"Apa yang sedang kalian bicarakan? Pertolongan apa? Saya sedang tidak berada di dalam kesusahan," jawab Pram dengan keras kepala.

Saat Pram bankit ingin mengambil kardus baru tiba-tiba perutnya terasa begitu sakit hingga ia menunduk. Hidjo dan Jati yang khawatir menghampiri Pram yang menyentuh pria itu. Hidjo sangat marah melihat adiknya. Ketika ia menyentuh pria itu, ia hanya bisa menyentuh tulang saja. Kapan terakhir adiknya itu makan dengan benar?

"Ugh... saya tidak apa-apa..." ujar Pram yang mencoba menepis tangan Jati juga Hidjo.

Namun kepalanya terasa begitu pusing. Dunianya berputar dengan begitu cepat hingga pandangannya kabur. Tak butuh waktu lama untuk Pram kehilangan kesadaran.

***

Ketika pria itu bangun, ia melihat sebuah ruangan serba putih. Seseorang yang familiar memasuki pandangannya.

"Selamat siang, Tuan Jaksa," sapa Dokter Willem yang sedang menuliskan sesuatu di atas kertas putih.

"Kapan terakhir Anda makan?" tanya dokter Willem kepada pasiennya.

"Tadi pagi," jawab Pram dengan jujur. Ia memang sarapan tadi pagi. Pram tidak pernah melewatkan sarapan. Ia selalu makan tiga kali sehari. Ia tetap harus memiliki tenaga untuk menunggu Jenaka pulang.

"Makan dengan takaran gizi yang tepat?"

"Ah.. itu..."

Pram berusaha untuk duduk dan melihat infus yang menancap di tangannya. Apakah itu diperlukan? Yang penting perutnya terisikan?

"Entah," jawab Pram yang tidak ingat kapan ia makan dengan gizi yang benar. Hal itu tak pernah terlintas di pikirannya.

Willem memperhatikan pasiennya dengan seksama. Kantung mata yang sangat gelap, pipi yang cekung dengan bibir kering. Apakah pria itu masih hidup? Pria itu tak ada bedanya dengan sebuah mayat. Yang membedakannya hanyalah rambut yang tetap dijaga rapi dan pakaian yang bersih dan rapi juga wajah yang terawat. Selain itu semuanya buruk.

"Anda harus menjaga gizi Anda dengan baik, Tuan Jaksa."

Kabar tentang menghilangnya tuangan sang jaksa juga terdengar oleh Dokter Willem. Pria itu mengerti mengapa Pram bisa bersikap seperti ini. Mengingat bagaimana interaksi mereka dulu bisa dibilang menghilangnya sang tunangan juga sama dengan menghilangnya setengah keinginan hidup sang jaksa.

"Tidur dengan cukup juga dibutuhkan."

Pram menoleh ke arah Hidjo yang mucnul.

"Saya akan memberikan vitamin juga obat tidur. Untuk saat ini fokuskan pada perbaikan gizi juga istirahat yang cukup."

Pram mengangguk mengerti. Hidjo melipat tangannya di depan dada. Ia sedang memikrikan apa bisa ia menyeret adiknya ke Den Haag saja? Ia tidak bisa meninggalkan adiknya seperti ini sendirian Jika ia kembali ke Den Haag maka tidak akan ada yang memastikan bahwa pria itu akan tetap bernafas.

Pram menerima obat dari Dokter Willem dan Hidjo menyuruh Pram masuk ke dalam mobil dimana Jati sudah menunggu.

Mereka bertiga kembali ke rumah Pram. Mereka masuk dan Pram membiarkannya. Melupakan ancamannya yang dulu karena ia masih sangat lelah. Ia mencari obat yang diberikan oleh Dokter WIllem. Ia hanya mengambil obat tidur saja.

"Pram, makan," ujar Hidjo.

"Sudah tadi pagi. Nanti saja lagi. Saya mau tidur saja," jawabnya dengan malas kemudian berjalan ke dalam kamar yang pernah ditinggali Jenaka.

Aroma gadis itu telah menghilang sepenuhnya membuat Pram semakin frustasi. Ia mengumpat kesal karena tak lagi bisa menemukan jejak Jenaka di rumahnya. Dengan kesal ia menegak satu pil obat tidur tanpa air dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia meremas kain sprei dengan kesal karena sekuat apapun dirinya mengendus, aroma Jenaka telah menghilang sepenuhnya.

***

(1/3)

Surat Dari Pram (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang