16

5.6K 904 71
                                    

Pram meninggalkan unit apartemennya dan berlari menggunakan tangga darurat. Mereka berada di lantai sembilan. Jika Jenaka memang nekat turun menggunakan tangga darurat, gadis itu benar-benar gila. Pram mulai terengah. Ia melihat setiap pintu darurat yang menunjukkan angka lantai yang ia lewati.

Pria itu begitu tergesa-gesa membuatnya tak melihat langkahnya sendiri sampai pada dua anak tangga terakhir di lantai keenam, Pram tersandung kakinya sendiri hingga tersungkur. Tak ada waktu untuk mengeluh kesakitan. Pria itu bangun secepat mungkin dan kembali menyusuri anak tangga mencari keberadaan Jenaka.

Hingga akhirnya di tangga darurat yang menuju lantai ketiga, ia menemukan punggung Jenaka yang mengambil langkah lemas menuruni anak tangga. Kedua tangannya memegangi pinggiran tangga untuk menopang tubuh.

"Jenaka!" panggil Pram membuat gadis itu menoleh ke belakang.

"Pram? Kamu-" Jenaka melebarkan matanya tak percaya.

"Gila kah kamu!" bentak Pram. Jenaka berjingkat kaget akan suara tinggi pria itu. Ia menunduk tak bisa menjelaskan perasaannya sendiri. Berkecamuk tak bisa menemukan jalan keluar.

Tangan Jenaka ditarik Pram cukup keras dan pria itu mendorong Jenaka untuk berdiri di dekat dinding.

"Kamu! Kamu bisa ambil kartu saya Jenaka! Saya bisa hubungi petugas untuk minta cadangannya! Kenapa harus menyiksa diri sendiri sih! Sebegitunya kah kamu nggak mau ketemu saya lagi!"

"Bu-bukan begitu!"

"Okey! Oke saya minta maaf karena sudah mengambil identitas Pram. Kalau kamu nggak nyaman akan fakta itu saya bisa lepas nama Pram! Siapa yang peduli dengan Pramoedya. Persetan dengan masa lalu. Kalau kamu membenci saya, saya akan menyingkir dan akan kembali menggunakan nama Wilhelm lagi. Tapi jangan siksa diri kamu seperti ini! Bodoh!"

Jenaka ingin mengklarifikasi semuanya tapi suaranya tertahan di mulutnya. Lidahnya terasa kelu tak bisa berkata apa-apa. Jenaka pulang bukan karena dirinya tidak menerima Pram. Ia sudah memutuskan untuk belajar menerima pria itu. Jenaka sudah mencoba membuka hatinya kembali. Jenaka pulang karena ia malu akan dirinya sendiri. Malu karena sudah menuduh Pram dengan sesuatu yang tak benar.

Jenaka berniat pulang karena tak bisa bertemu dengan Pram lagi untuk saat ini. Ia malu berhadapan dengan orang yang sudah dituduhnya. Jenaka hanya tidak ingin mengganggu Pram dulu. Ia berniat akan kembali brisk untuk meminta maaf. Tapi...

"Jenaka. Saya tahu kamu memaksakan diri untuk menerima saya. Saya terlalu memaksakan diri."

Jenaka menggeleng. Ia tidak ingin Pram untuk pergi. Ia ingin Pram untuk mendengarnya juga tapi ia tidak tahu caranya berbicara. Bukannya menjawab, Jenaka justru mulai menangis.

Cengeng! Cengeng! Cengeng! Perempuan cengeng! Jenaka merutuki dirinya sendiri.

"Pra... m."

Pram merogoh sakunya dan menyentuh tangan Jenaka. Pria itu meletakkan key card-nya pada Jenaka.

"Pakai lift. Jangan nekat turun pakai tangga lagi. Jangan gila."

Jenaka memegang tangan Pram dengan tangan yang bergetar. Kekesalan yang menyelimuti pria itu perlahan mereda ketika ia sadar bahwa pundak Jenaka bergetar akibat menangis. Pram mendekat dan melingkarkan kedua tangannya untuk memeluk Jenaka erat.

"Jenaka, kenapa kamu jahat sekali. Salah saya apa?"

Jenaka menggeleng dalam pelukan Pram. Ia kesal karena ia tidak bisa mengungkapkan perasaanya. rasa frustasinya membuat ia kecewa akan dirinya sendiri.

"Kalau seperti ini terus, bahkan usaha saya sampai seribu tahun pun akan sia-sia selama kamu belum bisa lepas dari masa lalu, Jenaka. Saya harus seperti apa lagi?"

Jangan berubah. Seperti ini saja... Jenaka ingin berkata seperti itu tapi tangisnya lebih keras sehingga ia tak bisa berkata apapun. Pram kembali mundur dan mengusap wajah Jenaka dari air mata. Tangannya yang diperban terasa kasar di pipi Jenaka.

"Kita makan malam lain kali saja. Saat ini kamu terlalu lelah. Saya antar sampai lobi."

Pram ingin mengantar Jenaka pulang tapi ia tidak memiliki kendaraan pribadi di sini. Pria itu hanya menetap sementara. Urusan kewarganegaraannya belum selesai. Ia merangkup pundak Jenaka dan menggiringnya untuk mencari lift terdekat dan pulang menggunakan taxi.

Jenaka hanya diam sambil terisak. Ia tidak berani melihat ke arah Pram. Ia membiarkan dirinya menunduk sepanjang perjalanan pulang. Untungnya Jetis hari ini tidak pulang jadi Jenaka bisa menangis sepuasnya semalaman. Panggilan telepon dari papanya pun tak bisa diangkat. Jenaka tidak ingin membuat orang tuanya khawatir. Jika mendengar suara seraknya.

Dan hingga beberapa hari ke depan, undagn makan malam tak lagi muncul. Baik Jenaka atau pun Pram sama-sama tak ada yang mencoba untuk saling menghubungi satu sama lain terlebih dahulu.

Jenaka dan rasa malunya serta Pram dan egonya. Keduanya berada di kota yang sama namun memiliki kehidupan masing-masing. Masa lalu di antara mereka terputus saat itu juga. Jika pun keduanya ingin kembali berhadapan lagi, baik Jenaka maupun Pram harus meninggalkan masa lalu yang mengikat mereka.

Jenaka dan Pram tahu hal itu, maka dari itu mereka tak ada yang ingin melakukannya. Baik Jenaka dan Pram sama-sama tak ada yang ingin beranjak dari masa lalu.

Jetis bisa melihat ada sesuatu yang berubah dari adiknya. Jenaka yang selalu memiliki passion dalam setiap kasus yang ia tangani terlihat seperti enggan untuk melakukan kegiatan sehari-harinya. Seperti hari ini mereka sedang bertemu dengan klien untuk meminta hasil visum yang ternyata belum juga dikeluarkan oleh rumah sakit yang bersangkutan.

Padahal jika sudah lebih dari beberapa bulan tentu mereka tidak bisa melakukan visum lagi.

"Jenaka, kamu nggak mau cerita apa-apa ke kakak?" tanya Jetis setelah mereka menyelesaikan pertemuan tersebut.

"Hm? Cerita apa?"

"Apa saja. Kayaknya kamu sedang ada beban pikiran atau mungkin kamu nggak mau tangani kasus ini?"

"Mau, Kak. Astaga... aku nggak apa-apa. Aku cuma ngerasa... hidupku terlalu monoton."

Jetis mengangguk. Ia merogoh saku jasnya kemudian memberikan Jenaka sebuah tiket.

"Ini seminar nasional tentang hukum di almamater kita dulu. Dibuka untuk umum. dapat tiketnya agak sulit. Tapi kita bisa datang sama-sama."

"Oh? Kakak beli tiket ini?"

"Iya, dong. Kakak lihat kamu lagi kehilangan semangat akhir-akhir ini jadi kakak beliin tiket seminar buat kamu bisa refreshing."

Jenaka menerima tiket seminar itu dengan senyuman. Ia merangkul lengan Jetis. "Kak, terima kasih banyak. Ini yang aku butuhin."

***

Hari ini tiga bab yaaaa...

Kira-kira apakah Jenaka dan Pram bisa menyelesaikan kesalahpahaman ini???

Surat Dari Pram (Complete)Where stories live. Discover now