33

1.4K 207 75
                                    

.

.

--- K A L O P S I A ---

.

Happy Reading

.

.

Hinata merasa sedikit lelah. Bukan pada fisik sebenarnya, melainkan pikiran.

Hanya dalam waktu singkat, beberapa hal besar terjadi dan membuat Hinata terlalu terdesak secara batin.

Pertama Naruto, sekarang kabar tentang Ayahnya.

Beruntung, kepala keluarga Hyuga tersebut tidak mengalami sesuatu yang begitu parah. Hanya lengan kanannya yang sedikit cedera, namun tetap harus menjalani pemeriksaan secara mendalam. Beberapa hari kedepan, Hiashi sudah bisa pulang ke rumah.

Setelah sebelumnya sempat berbincang-bincang bersama sang Ayah dan memastikan keadaannya, kini Hinata sedang duduk sendirian di satu lorong sepi sembari menunduk.

Kepalanya menoleh saat mendengar suara langkah kaki, serta mendapati Toneri yang datang. Pria itu datang kembali -- setelah siang tadi juga sudah menemaninya di sini.

"Memikirkan apa?" Dia mengambil tempat di samping Hinata. Memandang wajah lesu si wanita yang tampak tidak begitu bercahaya seperti biasanya.

"Aku hanya mengkhawatirkan Ayahku."

"Ayahmu baik-baik saja. Dia akan mengeluh lagi kalau tahu kau terlalu mencemaskannya."

Hinata tidak menjawab. Ia memilih kembali menunduk menatap lantai.

Insting Toneri bekerja cepat. Meskipun Hinata beralasan kesenduannya kali ini mengenai sang ayah, akan tetapi, Toneri bisa menangkap hal lain.

"Aku lupa mengatakan. Siang tadi, mantan suamimu datang ke toko."

Toneri menangkap perubahan ekspresi di wajah Hinata. Perempuan itu telah mendongak dan membalas pandangannya.

"Mungkin, ... dia ingin bertemu Boruto lagi."

Hening terjadi.

Toneri menghela napas pelan.

"Jangan memendamnya sendiri, Hinata. Jika kau butuh tempat curhat, kau bisa datang padaku. Kau tahu jika aku bisa menjaga rahasia, 'kan?"

Hinata mencoba tersenyum. Bibirnya sedikit mendengus. "Curhat tentang apa? Aku tidak merasa harus bercerita apa-apa."

Toneri ikut tersenyum. Ia tidak akan memaksa.

"Kalau begitu, kau mau apa? Aku akan melakukannya untukmu."

Hinata memandang tidak mengerti.

"Kau terlihat sedih sekali--"

"Aku tidak sedih!" Hinata berkata cepat. Kemudian, ia sedikit tersentak dengan responnya sendiri. "Ma-Maksudku, a-aku memang sedih ... karena Ayahku."

Untuk beberapa detik, Toneri memandangi wajah Hinata dalam diam. Tangannya sedikit terkepal. Setelahnya, ia terkekeh kecil.

"Kalau begitu, biasanya orang yang sedang sedih membutuhkan sesuatu yang bisa membuatnya nyaman." Kedua lengan Toneri terangkat ke udara. Memberi ruang agar Hinata bisa langsung memahami maksudnya. "Kemarilah, biarkan Papa Boruto memelukmu."

Hinata tampak keberatan. "Tidak perlu."

"Hei, jangan begitu. Aku hanya mencoba membuatmu merasa lebih lega. Apa kau akan menolak kebaikan hati seorang teman?" Toneri melanjutkan, masih dengan nada jenaka yang kerap ia pakai.

Kalopsia [ NaruHina ] ✔Where stories live. Discover now