Ares yang mendengarnya seketika berhenti. Ia melepas helmnya dan menatap punggung gadis itu.

"Jangan ngikutin gue. Lo pulang aja sana!"

"Iya, hati-hati! Awas kesandung batu." Ares berucap dan memakai helmnya lagi.

Buk!

"Hati-hati, Tha! Kan udah gue bilang, awas kesandung batu," peringat Ares agak tidak jelas karena memakai helm.

Sontak gadis itu berbalik. "Lo yang doain gue kesandung batu, kan?" tuduh Athalia memasang wajah datarnya.

Di dalam helmnya, Ares tersenyum menampakan sederet gigi rapihnya. "Gue doain, lo pacaran sama gue sih," ucapnya percaya diri.

Athalia berdecih. Gadis itu langsung berjalan menuju arah rumahnya. Sedangkan Ares masih duduk di jok motornya, menunggu gadis itu benar-benar sampai rumah.

Dirasa Athalia hilang dari pandangannya, Ares menyalakan motornya dan mengendarainya. Ia belah jalanan sore hari itu menggunakan motor kesayangannya.

Sesampainya di rumah, Ares membuang nafasnya kasar. Ia mendapati mobil putih kepunyaan Alex terparkir di garasi, dipastikan pria itu sudah pulang.

Salah satu tangannya membuka double door itu, nampaklah kegiatan yang tak senonoh antara Alex dan wanita yang tak dikenal itu terlihat oleh penglihatan Ares. Laki-laki itu berjalan santai menuju lantai atas membiarkan Alex meneriakinya.

"Antares!" Seakan tuli, Ares berjalan seolah tak terjadi apa-apa.

Di kamarnya, ia menyimpan helm dan kunci motornya. Melepas leather jacket dan meletakkan tas punggungnya lalu berjalan menuju kamar Ayesh yang tertutup rapat.

Saat dibuka, gadis pemilik kamar duduk bersandar di ranjang sambil membaca buku. Gadis itu nampak tak terusik dengan keberadaan Ares.

"Udah makan?"

Ayesh berdehem, "Udah. Kak Ares udah makan belum?"

"Udah."

"Bohong. Makan sama apa?" Ayesh menutup bukunya.

"Nasi."

Ayesh memicingkan matanya, "Bohong."

Ares mengedikkan bahunya. Ia memilih tiduran di sofa panjang. Kakinya dibiarkan sedikit menggelantung karena panjangnya tubuh laki-laki itu.

"Kalau pulang sekolah itu, sepatunya langsung dilepas! Kamarku jadi bau!"

"Bentar doang."

Cukup lama keduanya terdiam, hingga Ayesh membuka suaranya. Ia menyimpan di meja belajarnya buku yang tadinya ia baca.

"Kak Ares, aku mau tanya. Tapi jangan marah." Ares hanya berdehem, laki-laki itu tidak tidur melainkan bermain ponsel.

"Kak Ares, pernah kepikiran kalau keluar rumah gak? Bukan keluar sementara, tapi gak tinggal di sini lagi."

Ares membatu sejenak mendengar pertanyaan Ayesh. Bocah dua belas tahun itu sudah dewasa rupanya. Ares mendudukkan tubuhnya di sofa dan menatap lekat sang adik.

"Ngapain coba?"

Gadis itu menautkan alisnya nampak berpikir. "Ya, gak ada alasan. Kan aku cuma tanya."

"Emang kalau mau keluar, mau tinggal di mana? Belajar yang pinter terus cari uang yang banyak, nanti lo bisa kabur," nasehat Ares.

Ayesh mengangguk paham. Ia akan ingat baik-baik ucapan Ares. Ia akan tetap belajar sampai tamat sekolah dan rajin mencari uang agar bisa menghidupi kebutuhannya kelak.

"Eh, Cil." Ares menyugar rambutnya yang jatuh mengenai matanya.

"Doain gue bisa pacaran."

"Belajar yang pinter, baru pacaran!" semprot Ayesh.

"Gampang. Nanti kalau gue udah pacaran, gue kenalin ke lo. Biar lo gak sendiri terus." Ares beranjak dari duduknya. "Yaudah, gue ke kamar dulu."

Di kamarnya sendiri, Ares membersihkan tubuhnya dengan mandi dan mengganti seragamnya dengan kaos putih dan celana hitam panjangnya. Laki-laki itu nampak segar kembali dengan rambut yang sedikit basah bagian depannya.

Ares masih terbayang wajah cantik Athalia. Pertama kalinya ia jatuh cinta pada perempuan. Sebelumnya ia tak pernah segila-gila seperti ini.

"Res, nanti malam nongkrong di warung biasanya."

"Yoi, gue kabarin."

Begitu isi percakapan teleponnya dengan Harfi. Laki-laki itu senang jika bermain malam hari. Selain cuacanya yang dingin, ia juga senang bertemu lagi dengan temannya.

Kini saatnya menunjukkan pukul tujuh malam, Ares pergi ke kamar sebelah. Laki-laki itu berpamitan pada gadis mungil yang kini tengah belajar. Setelah diperbolehkan, ia turun ke bawah.

Ah, sial! Ares bahkan berharap tak berpapasan dengan Alex.

"Mau kemana kamu malam-malam begini?"

"Keluar," jawabnya singkat.

"Papa tau. Tujuannya ke mana?"

"Gak perlu tau." Ares melenggang pergi.

"Antares!" Alex membuang nafasnya kasar. Ia muak jika terus-terusan dibangkang seperti ini. Maka dari itu, Alex akan memberinya pelajaran sepulangnya nanti.

Sesampainya di warung, nothing special, hanya meminum kopi, merokok, bermain game, berbincang dan bercanda. Di sana sudah lengkap dengan ketiga temannya. Suasana di sana juga nyaman, tak sepi dan tak amat ramai.

Hingga jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul sembilan, Ares dan Gio pamit mengundurkan diri hingga tersisa Harfi dan Zafran.

Sebelum pulang, Ares menyempatkan dirinya untuk pergi ke minimarket. Ia membeli susu kotak selusin yang pasti untuk Athalia seorang.

Sesampainya di rumah, ia sudah disambut oleh pria yang duduk di sofa ruang tamu. Wajahnya datar menunjukkan kegeraman terhadapnya.

"Ikut ke ruangan Papa."

Ares menghela nafas, ia meletakkan kunci motor dan kantong belanjanya di meja. Langkah jenjangnya mengikuti arah langkah Alex menuju ruangan pribadi Alex.

"Lepas baju kamu," perintah Alex saat sampai di ruangan pribadinya.

Ares hanya bisa menurut, ia lepaskan jaket dan kaos yang melekat pada tubuhnya. Nampak dada bidang dan perut yang terbentuk itu menggiurkan.

Saatnya Alex mengambil alat cambuk di salah satu tempat. Ares sudah siap dengan segala bentuk hukuman dari Alex. Ia sudah kebal dengan kelakuan Alex yang seperti ini semenjak laki-laki itu memasuki SMP.

Ctas!

Suara yang menggema di seluruh sudut ruangan. Alat cambuk itu mendarat di punggung lebar Ares. Sambil menahan panasnya cambukan itu, Ares mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Sepuluh menit mereka di dalam ruangan itu, Alex dan Ares keluar. Ares dengan susah payahnya memakai kaosnya karena ia tak mau orang tau dengan keadaan punggungnya.

"Papa gak suka kamu ngebangkang kayak tadi! Papa mau kamu nurut, gak banyak keluyuran! Kamu contoh Ayesh, dia masih kecil bisa nurut. Dia rajin belajar, kamu udah besar gini masih aja kayak anak kecil. Nanti besar mau jadi apa kamu?"

"Ares udah bilang, ini bukan urusan Papa," ringis Ares menahan punggungnya yang kebas.

ANTARESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang