𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟒𝟏 ☘️

14.5K 1.3K 164
                                    

Di hadapan gundukan tanah merah, Marchell bersimpuh. Menatap nanar pada foto yang diletakkan disana. Menatap wajah familiar itu lamat, memunculkan desiran aneh di dadanya. Tangannya terulur mengelus pelan potret beku itu, diiringi lelehan air mata yang jatuh tanpa aba-aba.

Ada rasa sakit tak kasat mata, kala sekelebat ingatan bermunculan di kepalanya. Membantingnya pada sisi terkelam dalam hidupnya. Membuat dia semakin menundukkan kepala dengan tangan meremat dada.

"Aku membencimu, kau begitu jahat dan biadab. Kau.. Adalah sumber dari semua kehancuran yang dialami ayahku." Ucapannya terjeda. Ekspresi nya berubah dalam sekejap mata. Netranya menyorot tajam.

"Tapi yang paling aku benci adalah rasa sayang ku lebih besar dari segalanya! Kau jahat, menempatkan aku dalam dilema berkepanjangan," lirihannya begitu menyayat. Hingga tepukan ringan dibahunya membuat pemuda itu mendongak, mendapati kakak sulungnya.

Marchell bangkit, masih senantiasa menundukkan kepala. Sean tersenyum tipis, mengangkat dagu adiknya itu. Membuat Marchell refleks memejamkan mata.

"Tatap mataku!" Titah mutlak dari sang kakak membuat matanya perlahan terbuka. Ada yang sedikit--ah bukan sedikit tapi memang berbeda.

"Dengar, karena aku tidak suka mengatakannya dua kali, " ujar Sean pelan, Marchell mengangguk samar masih dengan tatapan keduanya yang bertautan.

"Aku tidak peduli apapun, kamu tetap adikku. Ada matanya dalam dirimu, aku tidak peduli itu. Kamu tetap kamu, tidak berubah menjadi dia hanya karena ada bagian dalam dirinya. Tidak perduli bagaimanapun masa lalu menempatkan dirimu di dekatku, yang terpenting bagiku kamu adalah adikku. Hari ini dan kedepannya." Sean mengakhiri ucapan panjangnya dengan menarik Marchell ke dekapannya. Mereka berpelukan cukup lama hingga keduanya melerai.

"Ayo pergi, kita akan terlambat." Marchell mengangguk samar, mengikuti langkah sang kakak yang mulai menjauh dari area pemakanan. Meninggalkan raga yang kehilangan jiwanya di dalam tanah..

. ☘️☘️☘️.

"Kau ini membuat alasan tak logis kak!" Gerutuan Marchell tiada hentinya kala menyadari sesuatu. Kakak sulungnya itu menariknya dengan tidak berperikemanusiaan sejak turun dari mobil tadi. Alasannya agar tidak ketinggalan.

Hingga keduanya tiba di hadapan beberapa orang yang sangat mereka kenali. Dan Marchell sedikit terkejut namun kembali menormalkan ekspresi nya.

"Lama sekali kalian," ujar Max pada kedua putranya yang hanya dibalas lirikan malas dari si sulung. Selanjutnya hening sesaat. Mereka saling berpandangan. Hingga seorang pemuda mendekat pada Marchell membuatnya refleks berpaling.

"Aku harap kau memaafkanku, paman Morrow dan ibu kita," ujarnya pelan. Marchell terkekeh sumbang, air matanya kembali menetes tanpa bisa dicegah, menarik pemuda di hadapannya untuk dia peluk dengan erat.

"Mark," lirihnya pelan. Ya, pemuda itu adalah Mark. Mereka berpelukan berusaha menyalurkan kerinduan. Bagaimanapun mereka memiliki ikatan batin yang kuat sebagaimana layaknya anak kembar pada umumnya.

"Jangan katakan apapun tentang ibu," ujar Mark disela pelukan mereka. Namun Marchell menggeleng ribut. Dia melerai pelukannya, menatap tepat pada netra madu milik saudara kembarnya itu.

"Tidak! Ini tidak adil untukmu." Mark tersenyum simpul, mengusap wajah serupa dihadapannya. Mereka benar-benar hampir serupa jika dilihat dari segi wajah dan fisik. Kecuali warna matanya. Jika Mark berwarna coklat terang seperti madu dan Marchell lebih gelap nyaris hitam. Namun, kini netra itu serupa. Membuat mereka benar-benar sulit dibedakan.

𝐒𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐩𝐡𝐢𝐧𝐞 [Proses revisi]Where stories live. Discover now