𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟏𝟔 ☘️

27.7K 2.2K 42
                                    

"Sebentar kak, aku harus mandi~" Sean menghela nafas kasar. Sejak satu minggu lalu adiknya sadar anak itu selalu ingin mandi, cuci tangan ketika ada yang ingin menyentuh dan benar-benar membatasi sentuhan dengan siapapun. Dokter mengatakan anak itu mengalami trauma panca kejadian buruk yang menimpanya. Mengingat itu membuat Sean seakan tercubit. Sakit, tidak dapat digambarkan. Dia kembali dilanda rasa bersalah.

"Kamu sudah bersih, baru 1 jam lalu kamu mandi dek!" Tegas Sean seraya menahan sang adik yang ingin bangkit. Marchell, Vorxe, Lexy, Levien dan Drystan terdiam menatap interaksi Sean dengan Asher. Dalam diamnya mereka juga merasakan hal yang sama. Penyesalan dan rasa bersalah. Karena merasakan gagal melindungi kesayangan mereka.

"Kakak no! Hiks Don't touch me!" Anak itu memekik nyaring. Membuat Sean menarik paksa sang adik ke dalam dekapannya. Mengabaikan punggung atau dadanya yang menajadi sasaran pukulan sang adik yang memberontak. Bahkan kuku Asher sudah melukai wajah dan sekitar lehernya. Dia mengabaikan rasa sakitnya, karena hatinya jauh labih sakit.

"No! Hiks kakak~" Sean tetap diam, lima pemuda yang duduk di sofa kompak mengalihkan pandangan mereka. Terlalu sakit. Mereka tak tahan.

Sean menghela nafas kala pergerakan adiknya melemah, dia menunduk menatap wajah berantakan adiknya. Menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman sempurna yang mempesona. Sedikit melonggarkan pelukannya, mengecup setiap inci wajah sang adik. Mengelus lembut kedua pipi yang memerah dan basah karena air mata itu.

"Shhtt, I'll stay with you apapun yang terjadi. I'll stay by your side. " suara rendah Sean mengalun lembut mengetuk dengan sopan gendang telinga si bungsu. Mengantarkan ketenangan membuat anak itu semakin mengeratkan pelukannya. Dengan senyuman yang belum luntur si sulung mendudukkan diri di ranjang. Menarik si bungsu agar terduduk di pangkuannya dengan posisi menyamping. Asher diam, menyandar pada dada bidang sang kakak. Mendengarkan detak jantung yang terdengar beraturan milik sang kakak.

"But, why?"

Sean menghela nafas sejenak mendengar cicitan pelan sang adik meletakan dagunya di puncak kepala si bungsu.

"There's no why, adik. Apapun yang terjadi kamu tetap adikku. Semestaku dan segalanya bagiku. Katakan itu berlebihan, tapi memang begitu kenyataannya. Aku bahkan tidak menemukan kata yang cocok untuk menggambarkan seberapa berharganya kamu untukku," ucap Sean seraya mengelus punggung sempit sang adik. Asher terpaku. Dia terdiam tanpa tahu harus menanggapi seperti apa. Dia merasa tidak pantas berada di sisi mereka. Bayang-bayang mengerikan saat para pria bejat itu melakukan hal buruk padanya terus berputar bagaikan kaset rusak.

Membuat Asher berkali-kali ditenggelamkan dalam ketakutan. Dia takut, entah takut pada apa. Dia juga enggan dengan sentuhan siapapun. Dia merasa kotor. Dan tidak pantas berada disisi siapapun.

"Enyahkan semua pemikiran burukmu, aku disini. Bukan hanya aku. Tapi juga mereka." Lexy berdiri di samping Sean. Pemuda datar itu mengulas senyum tipis seraya mengelus surai milik Asher. Velvet blue itu mengerjap pelan. Semakin menenggelamkan wajahnya di dada bidang sang kakak.

Mereka diam. Dengan berbagai jenis fikiran yang bercabang. Hingga dengkuran halus membuat mereka kompak menoleh. Menyaksikan adik kesayangan mereka sudah terlelap.

"Sleep well little bro," bisikan terakhir Sean sebelum merebahkan sang adik, menyelimutinya sebatas dada. Membiarkan dia beristirahat dahulu.

. ☘️☘️☘️ .

Sore hari, tepat setelah urusan Max selesai dia bergegas ke rumah sakit. Senyumannya terpajang sempurna saat melihat bungsunya tengah makan disuapi oleh William. Beberapa hari ini dokter mengatakan kesehatan fisik dan psikis anak itu membaik. Meskipun nanti disarankan agar melakukan terapi untuk mencegah hal yang tak diinginkan.

"Selamat sore kesayanganku," sapa Max lembut seraya mendekati sang putra. Asher nampak menyambutnya dengan senyum membuat Max mengelus surai itu dengan lebut. Kemarin Lexy memotong sedikit rambutnya membuat anak itu terlihat semakin cantik dan manis. Wajahnya perlahan kembali bersinar membuat Max beribu kali mengucap syukur.

"Daddy tidak pulang dulu?" Tanya Asher begitu selesai dengan acara makannya. William melipir ke sofa memberi ruang bagi sang kakak.

"Tidak, aku terlalu merindukan putra kesayanganku ini," jawab Max seraya membubuhkan kecupan di wajah bungsunya membuat anak itu terkekeh.

"Ish! Dad sudah makan?" Max mengangguk dengan senyumannya yang belum luntur. Asher mengangguk saja. Membiarkan tubuhnya ditarik ke dekapan hangat Max. Menyamankan posisinya dan mendengar detak jantung yang terdengar teratur milik Max. Menenangkan, sejak Sean melakukannya waktu itu dia jadi suka mendengar detak jantung orang terdekatnya.

"Besok kamu sudah boleh pulang," ujar Max yang disambut pekikan bahagia si bungsu. William menggeleng pelan mendengarnya. Dia bahagia, anak itu perlahan menunjukkan ronanya.

Max terkekeh mengangkat bungsunya ke gendongan koala, infus anak ini sudah dilepas kemarin karena dia terus merengek, beruntung keadaannya memang sudah stabil.

Lalu lalang kendaraan roda dua dan roda empat di jalan raya yang melintang di antara gedung-gedung pencakar langit. Cahaya nampak bersatu padu menciptakan keindahan malam di kota metropolitan dari lantai 17 yang mereka tempati. Max berdiri di depan dinding kaca tebal yang memang menutupi bagian samping ruangan ini. Gorden disibak setengahnya membiarkan bungsunya menikmati pemandangan indah di bawah sana.

"Daddy," panggil anak itu yang dibalas deheman singkat oleh Max. Anak itu terdiam sejenak lalu menyandarkan kepalanya pada bahu kokoh Max.

"Thank you for everything," ucap anak itu dengan tulus membuat Max kembali menyerbu wajah itu dengan hujan kecupan.

"Jangan mengucapkan terimakasih, kamu adalah putraku, kesayanganku, aku menyayangimu lebih dari apapun yang ada di dunia ini. Maaf, jika selama ini aku membuatmu merasa tidak dicintai, tapi percayalah aku menyayangimu. Aku hanya buruk dalam mengekspresikan perasaan. Aku terlalu larut dalam kesedihan, dan aku mengabaikan permata titipan Esmeralda." Max memejamkan membiarkan air matanya kembali turun menyusuri pipi tirusnya. Hanya karena putranya dia bisa seperti ini. Putranya yang sudah layaknya oxygen untunya.

Yang akan dia jaga agar selalu ada di dekatnya agar dia bisa bertahan hidup lebih lama. Semestanya.. Setelah Esmeralda ada Sherapphine.

. ☘️☘️☘️ .

Yohooooo bub 🙂🤍

𝐒𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐩𝐡𝐢𝐧𝐞 [Proses revisi]Where stories live. Discover now