𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟏𝟕 ☘️

26.5K 2.1K 53
                                    

Angkasa yang nampak kelabu menjadi naungan beberapa orang yang nampak berdiri tegak di hadapan gundukan tanah yang diperindah dengan sedemikian rupa. Sebuah pusara, tempat raga terkasih bersemayam beristirahat dari hiruk pikuk duniawi yang kejam. Sebuah marmer mengkilap tertulis sebuah nama menggunakan tinta berwarna emas.

"Esmeralda Shiraddine Atalanta"

Nama yang tertera, me jadikan kenangan abadi bagi orang terkasihnya yang masih menginjak dunia. Asher, dia berjongkok di samping pusara memandang lekat. Ini adalah pertama kalinya dia kesini. Karena sebelum ini Max selalu melarangnya, mengatakan jika dia tidak pantas bersanding di hadapan Esmeralda. Dan kini pria itu sendiri yang membawanya.

Tangan putih itu ia bawa menyentuh figura kecil berisi wajah cantik seorang wanita. Itu ibunya. Rupa yang baru kali ini dia lihat, lidahnya terasa kelu. Ada jutaan kupu-kupu di dada anak itu namun berdampingan dengan jarum tak kasat mata. Rasa sakit dan bahagia bercampur menjadi satu. Membuat tetesan air mata jatuh beruntun membasahi pusara sang ibunda.

"Mommy maafkan aku yang baru berkunjung kesini, aku bahkan tidak mengingat apapun tentangmu. Lidahku terasa asing memanggilmu. Apa kau akan memaafkan anakmu ini? Setelah ini aku janji akan berkunjung sesering mungkin. Membawakan bunga kesukaanmu. Setiap detik dalam ingatanku juga akan terisi oleh namamu. Dan di dalam hatiku, ada tempat khusus untukmu. Hanya untukmu. Malaikat tak bersayap yang sudah mempertaruhkan hidupnya demi melahirkanku kedunia ini. Mommy tenanglah disana. Banyak orang disekelilingku yang menyayangiku. Aku mencintaimu mom." Kalimat panjang yang hanya terucap lewat batin. Ada gemuruh menyesakkan membuat suaranya seakan tertahan di kerongkongan. Hatinya bagai diremas tak berperasaan. Dia tidak mengingat Esmeralda, selama hampir 15 tahun hidupnya bahkan difikirannya tidak terlintas namanya.

Sepertinya semua ingatan Asher di kehidupan sebelumnya benar-benar sudah pudar, menjadikan dia sepenuhnya Sherapphine. Tak ada secuil pun memori tersisa. Tak ada yang lain. Kini tinggal dirinya. Dan segala kehidupannya di sini.

"Maafkan aku karena tidak pernah mengenalkanmu pada Esmeralda, bahkan aku tidak membawamu setiap kami memperingati kematiannya setiap tahun." Max bersimpuh di samping bungsunya, menunduk dalam dihadapan dua orang yang paling berharga dalam hidupnya. Dia ingat bagaimana kejamnya dia dahulu, ketika Asher kecil memaksa ikut semua orang yang akan memperingati hari kematian Esmeralda.

"Daddy, mau kemana? Boleh aku ikut?"
Asher kecil yang kala itu baru menginjakan tahun pertama di sekolah dasar menarik kecil ujung kemeja hitam yang Max kenakan.

"Menyingkir! Aku tidak sudi membawamu kehadapan nya." Tubuh kecilnya terhempas begitu saja. Diiringi tangisan pilu yang sama sekali tidak meluluhkan pria dewasa di hadapannya.

Lagi, setiap tahunnya berakhir sama. Dia ditinggalkan sendirian. Orang orang keluar dengan mengenakan pakaian hitam. Dan pulang menjelang malam. Anak malang itu tidak tahu kemana mereka semua pergi.

Max menghela nafas, ingatan menyakitkan yang kembali mengusiknya membuat pria itu tidak bisa untuk menangis. Katakanlah dia lemah, tapi sekejam apapun dia diluar sana dia akan lemah jika dihadapkan dengan orang terkasih di hidupnya.

"Kita pulang," ujar Max lagi, tanpa menunggu jawaban dia segera membawa putra bungsunya itu ke gendongan koalanya. Melirik sekilas pada foto mendiang sang istri lalu membawa langkahnya menjauh dari sana. Diikuti tiga putranya yang lain yang memang ikut bersama mereka. Masing-masing menyimpan sebuket bunga kesukaan sang ibunda di atas pusara.

"Mom, apa kau bahagia disana?"

Sean memandang lekat sebelum benar-benar melangkah pergi dari sana. Meninggalkan tempat peristirahatan terkahir sang ibunda.

𝐒𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐩𝐡𝐢𝐧𝐞 [Proses revisi]Where stories live. Discover now