𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟑𝟐☘️

13.9K 1.5K 97
                                    

Helaan nafasnya terdengar berat, Vorxe yang berada di samping Asher mengulas senyuman lalu mengeratkan genggamannya. Berjalan beriringan menuju ke kelas sang adik. Sebenarnya Asher sudah menolak tapi Vorxe tetap memaksanya untuk mengantarnya sampai kelas. Begitu sampai disana Vorxe memberi sedikit wejangan lalu barulah pergi dari sana. Menyisakan Asher yang kembali dalam keterdiaman.

Dengan langkah gontai anak itu mendudukan dirinya di kursi. Seperti biasa teman-temannya menyambut anak itu dengan baik. Lengkap dengan ucapan bela sungkawa. Tapi, jika boleh jujur jauh di dalam hatinya masih menyangkal kepergian sang kakak. Rasanya sosok itu masih dekat dengannya.

Pelajaran hanya dia dengarkan sebagian, sebagian fokusnya yang lain tidak ada ditempatnya. Fikiran nya berkelana hingga ketika bel istirahat berbunyi dia bergegas keluar dari kelas. Vorxe sudah menunggunya di luar. Lengkap dengan senyuman khas nya.

Menggiring sang adik ke area kantin universitas. Seperti biasa sudah ada teman-temannya di sana. Menyambut Asher dengan senyum terbaik mereka. Asher tersenyum seadanya lalu duduk di samping sang kakak.

Alisnya bertaut saat Vorxe mengeluarkan kotak bekal yang familiar. Kotak yang sama setiap harinya. Kotak yang menjadi favoritnya.

"Makan," ujar Vorxe dengan senyumnya. Sedikit ragu namun tak urung dia mulai memakan makanannya. Detak jantungnya serasa berhenti seketika. Kedua velvet blue itu berkaca-kaca. Memandang Vorxe yang hanya menampilkan senyumnya.

"Dia tidak pernah pergi adik," bisikan halus suara Vorxe membuat gejolak aneh dalam diri Asher. Dia nyaris menangis karena tidak bisa menebak apa yang ada dalam fikiran nya. Lidahnya kelu dengan dadanya yang terasa sesak. Efek kerinduan yang berkepanjangan membuat nafasnya memburu.

Vorxe panik, memegang bahu adiknya yang nampak kesulitan bernafas.

"Ada apa?!" pekiknya, dia khawatir melihat sang adik yang nyaris kehilangan kesadaran. Tanpa fikir panjang dia segera berlari menggendong Asher keluar dari sana. Tidak peduli berapa orang yang terjatuh kerena ulahnya. Fokusnya hanya satu. Adiknya harus baik-baik saja.

Mobil yang dia kendarai melaju ugal-ugalan, menimbulkan pekikan tidak Terima pengendara lain. Namun Vorxe mendadak tuli akan hal itu. Wajah pucat adiknya nyaris merenggut kewarasannya. Maka dengan segera dia memarkirkan asal mobilnya di pekarangan rumah sakit. Membawa tubuh lemah sang adik ke hadapan dokter.

Tubuhnya meluruh dengan air mata yang ikut jatuh. Bersandar penuh pada dinding putih di belakangnya. Semuanya serasa dejavu. Dan dia mengutuk yang terjadi hari ini. Hingga sebuah temukan lembut di bahunya membuat ia mendongak. Seorang pemuda yang mengenakan pakaian rumah sakit berdiri di hadapannya lengkap dengan senyum yang menawan.

Vorxe bangkit, menghambur pada pelukannya. Tangisnya pecah begitu saja. Ada kerinduan mendalam diantara tangisnya.

"Cengeng." jika biasanya dia akan marah kali ini tangisnya malah menderas. Membuat pemuda yang dipeluk nya tersenyum kecil.

"Kau jahat!" pemuda itu terkekeh pelan mendengar ucapanmu Vorxe yang mirip seperti anak kecil ketika merajuk. Tangannya terulur mengelus surai Vorxe. Membuat Vorxe semakin menenggelamkan wajahnya di bahu pemuda itu.

"Maaf--"

"Jangan minta maaf sialan!" Vorxe melepas pelukannya, memandang nyalang pemuda yang masih menampilkan senyum di hadapannya. Sepersekon kemudian ekspresi Vorxe berubah sendu. Menatap dalam pada manik legam di hadapannya.

"Jangan pergi lagi, dia tidak akan sanggup!" lirihan Vorxe terdengar pilu. Membuat siapapun yang mendengarnya tahu jika pemuda arogan itu tengah hancur.

"I'm here," sahut pemuda itu. Vorxe kembali mendekap nya kala jawaban yang ingin dia dapatkan terdengar. Keduanya berpelukan cukup lama hingga pintu di samping mereka terbuka.

"Bagaimana?" Dokter yang baru saja keluar sempat terkejut namun kemudian mengulas senyum.

"Tuan muda tidak papa, hanya mendapatkan serangan panik akibat suatu hal. Mungkin sebelumnya anda mengatakan atau menceritakan kejadian yang memicu terjadinya kepanikan berlebihan pada Tuan muda." Vorxe terdiam mendengar penjelasan dokter. Dia mengingat percakapan terakhirnya dengan sang adik. Sepertinya dia terlalu terburu-buru. Tapi dia hanya tidak suka melihat adiknya menangis seraya menggumamkan maaf setiap malam.

Vorxe menghela nafas panjang, menatap pemuda yang masih setia di hadapannya. Mengulas senyum lalu kembali ke dekapan pemuda itu.

"Ini adalah pelukan terbanyak yang aku dapatkan dalam sehari," ujar pemuda itu disertai kekehan yang tidak ditanggapi sama sekali oleh Vorxe.

Hingga setelah puas dengan acara berpelukan keduanya masuk ke dalam ruangan. Nampak Asher yang tengah terlelap dengan tenang.

"Dia terlihat lebih kurus, apa dia makan dengan baik?" Vorxe menoleh lalu menggeleng pelan.

"Nafsu makannya menurun. Anak itu memang terlihat baik-baik saja. Tapi aku tahu, setiap malam dia menangis hingga ketiduran." ucapan Vorxe membuat pemuda itu tersenyum miris. Mengulurkan tangannya mengusap surai Asher yang kembali memanjang.

Pipinya sedikit tirus, dengan lingkaran hitam samar di bawah mata membuat dia yakin kalau Asher tidak tidur dengan baik.

Senyumnya terbentuk sempurna saat melihat dua kalung yang melingkar apik di leher anak itu. Tangannya menyentuh pelan kalung itu.

Sedikit menundukkan kepalanya membubuhkan kecupan di kening Asher. Hingga setitik air mata ikut jatuh dari sana.

"Aku kembali," lirihan itu mengusik Asher di alam bawah sadarnya. Kelopak mata itu bergerak perlahan sebelum velvet blue itu nampak seutuhnya. Netral indah itu menyipit mengamati objek di depannya hingga sesat setelahnya mata itu menbulat sempurna.

Bugh!

Kepalan tangannya menghantam wajah seseorang yang berada dekat dengan wajahnya. Matanya menyorot tajam pada pemuda di hadapannya. Nafasnya memburu karena perasannya kacau dan amarahnya tiba-tiba memuncak.

"Pergi!" teriakan itu menyadarkan Vorxe dan pemuda itu dari keterkejutan. Vorxe lebih dulu mendekat dan mendekap si bungsu. Namun anak itu berontak membuat Vorxe terpaksa melepaskan pelukannya.

"Kenapa dia disini?!!" pemuda itu tersenyum miris melihat reaksi Asher yang jauh dari dugaannya. Dia ingin mendekat dan mendekap nya namun gagal.

"Pergi sialan!!" Teriakan Asher kembali terdengar, pemuda itu mengulas senyum sebelum melangkah pergi sesuai keinginan Asher.

. ☘️☘️☘️ .

Makin gak jelas ni cerita 😭

𝐒𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐩𝐡𝐢𝐧𝐞 [Proses revisi]Where stories live. Discover now