𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟑𝟓 ☘️

12.9K 1.3K 84
                                    

Ruang tengah di mansion utama Torricely terasa mencekam. Max, William, Frederick, Arthur dan anak-anak mereka. Mereka berkumpul untuk merundingkan sesuatu. Helaan nafas frustasi terdengar bersahutan.

"Asher belum pulang?" Tanya Lexy memecah keheningan yang sempat tercipta.

"Mereka di pantai, tadi sore setelah Asher diizinkan pulang dari rumah sakit dia meminta izin untuk ke pantai," jelas Vorxe disambut anggukan dari si kembar.

"Kau benar-benar yakin dengan semua ini?" Max menoleh pada Frederick. Tanpa ragu menganggukkan kepalanya. Lalu pandangannya beralih pada putra ketiganya yang senantiasa menundukkan kepala. Max menepuk lembut bahu kokoh yang nampak rapuh itu.

"Aku sudah memastikan semuanya," ujar Vorxe pelan membuat mereka mengangguk faham. Sean mengulas senyum tipis, merangkul sang adik.

"Sesayang itu kau padanya? Hingga rela merendahkan harga dirimu dengan memohon di hadapan orang yang kau sumpahi akan kau benci seumur hidup?" Tanya si sulung, membuat Vorxe mengangkat kepalanya menatap tepat pada mata sang kakak. Sean tidak mendapati keraguan disana. Membuatnya mengulas senyum bangga.

"Aku menyayangi kalian sama, jika kau yang berada di posisinya aku juga tidak akan ragu melakukan hal sama atau bahkan lebih dari sekarang." Max menatap lekat pada anak ketiganya. Dia sedikit merasa malu, kala melihat perjuangan anak itu untuk mempertahankan seseorang yang dia sayangi. Namun terlepas dari itu Max juga bangga, anak-anak yang tumbuh dengan saling menyayangi.

"Apa yang dia minta sebagai imbalan?" Arthur yang sedaritadi mendengarkan bertanya. Vorxe nampak terdiam sejenak. Menghela nafas panjang sebelum berucap.

"Yang sekarang dia lakukan adalah permintaan pertamanya, lalu yang kedua dia hanya ingin setelah semuanya selesai dia meminta tempat yang seharusnya." Arthur mengangguk faham. Begitupun yang lain.

"Kau tidak keberatan Max?" Tanya Frederick yang dibalas anggukan samar oleh sang empu.

Mereka terdiam. Setelah merasa perbincangan selesai masing-masing dari mereka meninggalkan ruangan itu termasuk Vorxe yang juga membawa langkahnya ke lantai atas. Tepat dimana kamarnya berada. Kamar yang sudah lama tidak ditempati. Memang seluruh anggota keluarga memiliki kamar masing-masing di mansion utama ini.

Dulu Vorxe sering menginap disini, dia kesepian di rumah karena mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Setiap pulang sekolah anak itu akan kabur dari jemputan dan melipir ke sini lalu pulang ke mansion Max malam hari tentu saja berakhir dengan mendapat hukuman dari sang ayah. Dan kejadian yang paling membekas hingga sekarang adalah..

Malam itu dia baru menginjakan kaki di mansion Max sekitar pukul 8 malam. Karena tertidur setelah makan malam disana. Dan seperti biasa Max sudah menunggunya di ruang tengah seraya bersedekap dada. Menatap tajam ke arahnya. Max mendidiknya cukup keras, dia tak segan menghukum anaknya yang berani melanggar aturan yang sudah ditetapkan. Dan Vorxe adalah langganan mendapatkan hukuman. Begitu pula saat itu.

Max menariknya ke ruangan bawah tanah. Dia akan disuruh berdiam diri disana hingga waktu yang ditentukan oleh Max. Tanpa makan atau minum. Agar anaknya jera dan merenungi kesalahannya.

Vorxe yang memang sudah biasa hanya duduk tenang. Dan tidur seperti biasa. Hingga esok harinya ada orang yang membuka pintu. Dia sempat heran dan mengira itu Max, biasanya Max mengeluarkannya menjelang sore tapi kala itu masih pagi.

Dan ternyata memang bukan Max, tapi Marchell. Kakak keduanya itu mengendap-ngendap seperti maling mendekat ke arahnya. Senyumnya lebar seolah tidak melakukan kesalahan.

"Adik! Aku bawakan sarapan," ujarnya riang, membuat Vorxe mendekat. Menatap kotak bekal berisi  nasi dan tumis sosis kesukaannya.

"Kenapa kesini?" Vorxe bertanya, dia hanya khawatir jika sang kakak nanti dimarahi. Namun perlu diketahui ini bukan yang pertama kali.

Vorxe dan marchell itu sama sama bebal. Vorxe yang tak jera dengan hukuman dan Marchell yang tak jera ikut terkena hukuman karena memberi sang adik makan diam-diam.

"Lihat, aku membiarkanmu tumis sosis. Ini pasti enak!" Bukan menjawab anak itu malah menunjukkan makanannya ke hadapan sang adik

"Kak, nanti kau ikut dihukum--"

"Lalu apa? Aku tidak peduli, itu urusan nanti sekarang cepatlah makan. Atau aku akan sedih karena masakanku tidak kau makan." Vorxe menghela nafas lalu menuruti sang kakak untuk memakan makanannya. Rasanya enak, seperti biasa dia memakannya hingga habis tak tersisa membuat senyuman puas tercetak sempurna di wajah sang kakak.

"Cah! Aku akan keluar. Bye adik sampai jumpa!" Vorxe membalas lambaian tangan itu. Membiarkan sang kakak keluar dari sini. Matanya masih menatap ke arah pintu yang sudah kembali tertutup. Lalu senyumnya mengembang sempurna.

"Terimakasih kakak~"

Vorxe mengusap kasar air matanya yang tiba-tiba jatuh tanpa permisi. Marchell yang selalu ada di setiap lelah dan susahnya. Sosok yang pertama menariknya saat ia jatuh. Dan sosok pertama yang akan dia cari saat ingin mengeluh. Seberharga itu. Lantas bagaimana bisa dia kehilangannya?

Tidak. Dia tidak hanya menyayangi Marchell. Tapi juga saudaranya yang lain. Sean memiliki tempat dan memori tersendiri. Begitupun dengan Asher adik kesayangannya. Salah satu poros hidupnya.

Dia tidak bisa kehilangan salah satunya. Maka dari itu dia rela melakukan segalanya. Untuk semua saudaranya.

Menghela nafas panjang lalu memejamkan matanya berusaha melenyapkan beban yang terasa menumpuk barang sejenak. Ya setidaknya sementara..

. ☘️☘️☘️.

Malam ini, sekitar pukul 9 malam Asher dan Marchell baru kembali ke mansion. Senyum tak luntur dari wajah keduanya. Anak itu berlari kecil dengan menenteng oleh-oleh dari acara berlibur diadakannya dengan sang kakak.

Begitu masuk ke dalam suasana cukup sepi, sepertinya mereka sudah kembali ke habitatnya masing-masing.. Maksudnya ke kamarnya masing-masing. Marchell tersenyum lalu mengelus surai si bungsu.

"Kamu ke kamar duluan, kakak akan menemui Daddy dulu," ujar Marchell. Asher mengangguk semangat lalu berlari ke arah lift. Setelah memastikan anak itu benar-benar menghilang dari pandangannya. Marchell menghela nafas panjang.

Membawa langkahnya ke ruangan yang dia janjikan pada Max dan yang lain. Benar saja ketika sampai di sana mereka telah lengkap berdiri tegap memandang ke arahnya seketika.

Sean mendekat, melemparkan kertas ke arahnya yang dengan sigap ditangkap olehnya. Tatapan dari netra legam milik Sean sulit diartikan.

"Tandatangan, lalu semua selesai." Ucapan dengan nada dingin dari sulungnya Max membuat Marchell menurut. Segera menandatangani kertas itu lalu menyerahkannya kembali pada Sean. Mereka bertatapan cukup lama hingga Sean memutus lebih dulu.

Max bangkit mendekat ke arahnya. Tanpa suara pria itu menarik Marchell ke dekapannya. Ada gelayar aneh di dadanya. Seperti kerinduan yang menggunung meledak seketika dan terekspresikan lewat air mata yang tiba-tiba berjatuhan.

"Maafkan Aku," lirian Max begitu menyayat hatinya. Membuat kedua tangan itu mengepal seketika. Vorxe dan Sean kompak membuang muka. Enggan melihat pemandangan di depan matanya. William, Frederick dan Arthur juga diam saja. Mereka cukup tau diri dengan tidak mengusik ranah pribadi mereka.

Malam itu menjadi saksi atas sesuatu yang tak pernah terduga sebelumnya..

"Mark.. Aku menyayangimu."

. ☘️️☘️☘️.

Terakhir sebelum aku tidur ☺
Selamat malam bestie tidur nyenyak ya😁
I love you guys🤍🤍🤍🤍

𝐒𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐩𝐡𝐢𝐧𝐞 [Proses revisi]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ