𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟑𝟑 ☘️

13.1K 1.3K 119
                                    

"Jangan,, jangan pergi." belum sempat tangan itu menyentuh gagang pintu lirihan yang terdengar memilukan itu menghentikannya. Dalam sekali gerakan pemuda itu berbalik dan menarik Asher ke dalam dekapan hangatnya. Anak itu membalas pelukannya tak kalah erat. Terisak kencang di dada bidang pemuda itu.

"Kakak, aku mohon jangan pergi," wajahnya mendongak menatap wajah familiar orang dihadapannya. Marchell. Pemuda itu ada di hadapannya. Mendekapnya dengan erat dan tidak ingin dia lepaskan. Takut jika terlepas pemuda itu akan menghilang lagi.

Marchell menunduk menatap wajah sangat adik, tangannya terangkat ragu. Menyentuh wajah itu dan mengusap lembut air mata yang mengalir begitu deras. Netranya memejam kala merasakan gelayar aneh di dadanya. Adiknya masih terisak. Menangis tersedu-sedu bahkan anak itu sampai terbatuk beberapa kali.

"Kakak, disini, berhentilah menangis," ujarnya lembut membuat tangisan itu perlahan mereda. Menyisakan isakan kecil sangat adik. Wajahnya basah dan memerah. Jemarinya menyusuri wajah tampan sangat kakak, sedikit mengeryit namun segera tersenyum setelahnya.

"Kakak kemana saja?" tanyanya. Marchell terdiam dia menoleh pada Vorxe namun pemuda itu malah berpaling. Menghela nafas sejenak lalu mengulas senyumnya.

"Lupakan semua itu, kakak ada bersamamu." sedikit ragu namun pada akhirnya Asher mengangguk. Kembali menenggelamkan wajahnya pada dada bidang sangat kakak. Marchell tersenyum simpul mengelus punggung sempit sangat adik.

Vorxe menghela nafas panjang lalu menghampiri mereka. Membuat Asher melerai pelukannya dan menatap pada Vorxe. Pemuda itu nampak gelisah. Mengundang tatapan bertanya dari Asher.

"Aku akan pulang, ada urusan sebentar. Kau sudah boleh pulang saat infusnya habis nanti." Asher mengangguk antusias mendengar ucapan Vorxe. Membuat kakak ketiganya itu tersenyum, mengecup kening sangat adik cukup lama.

"Aku pergi," ujarnya lalu keluar dari ruangan. Menyisakan Asher yang menatap kepergiannya dan Marchell yang terdiam.

"Besok mau ikut bersama kakak?" Asher menoleh pada Marchell, tersenyum lebar lalu mengangguk semangat. Membuat kekehan pelan dari sang kakak terdengar.

"Eh tapi besok sekolah," ujarnya sedih, Marchell menangkup kedua pipi itu. Mendekat dan membuat kening keduanya bersentuhan.

"Kakak akan minta izin pada Daddy," ucap Marchell meyakinkan si bungsu. Membuat senyuman yang sempat pudar itu kembali terpasang.

Keduanya menghabiskan waktu dengan bercerita berbagai hal. Melepas rindu satu sama lain. Meskipun masih terdapat keraguan namun keduanya benar-benar menikmati wanti itu.

. ☘️☘️☘️.

Brakk!

Pintu kayu jati itu hancur begitu saja oleh hantaman kaki Max. Pria itu menghancurkan barang disekitarnya. Amarahnya naik saat mendengar kabar tak mengenakan dari Seth. Membuat dia melampiaskan amarahnya dengan menghancurkan barang barang yang ada di ruangannya. Bahkan beberapa anak buahnya yang tak bersalah ikut menjadi korban sasaran pelampiasan amarah Max.

Sean dan William datang dengan tergesa-gesa kala mendengar laporan dari Seth jika Max tengah mengamuk di ruangannya. Max adalah tipikal orang yang tenang dan jarang melampiaskan amarahnya secara berlebihan. Paling banter membunuh adalah pelampiasan yang paling sering dia lakukan dan mendapatkan kabar jika Max sampai memporak-porandakan ruangan di kantornya membuat mereka heran. Apa gerangan yang mampu memancing amarah Max sampai seperti ini.

"Bajingan! Ada apa dengan anak itu!!" teriakan Max menggema, beruntung di lantai ini hanya ada ruangannya jadi para karyawan tidak akan ada yang terkena sasaran.

𝐒𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐩𝐡𝐢𝐧𝐞 [Proses revisi]Where stories live. Discover now