𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟑𝟔 ☘️

12.3K 1.3K 68
                                    

(Kilas balik 3 hari yang lalu... )

Ceklek!

Pintu terbuka. Gelap, adalah yang pertama kali menyambut Vorxe. Tanpa gentar langkah tegasnya dia bawa menyusuri lorong-lorong sepi. Bau menyengat dari darah manusia bersatu padu dengan berbagai jenis bau lainnya yang mengganggu. Namun nampaknya itu sam sekali tidak melunturkan niat Vorxe untuk menuju ke tempat yang menjadi tujuannya. Dalam hatinya sesekali mencetus keraguan, tapi dia enggan untuk berbalik. Kala mengingat nama seseorang yang menjadi alasannya untuk menginjakan kaki di tempat terlarang ini, semua ragu dan takut tidak ia fikirkan.

Langkahnya terhenti pada satu pintu yang paling berbeda. Tepat di ujung ruangan. Pintu itu terbuat daris besok kokoh dengan kunci khusus yang dibuat oleh Max. Hanya orang-orang tertentu yang bisa membuka dan Vorxe adalah salah satunya.

Tit.. Tit.. Tit..

"Unlocked! Wellcome Mr. Torricely"

Pintu terbuka setelah dia menekan beberapa digit angka dan melengkapi sensor lainnya. Netranya mengedar hingga menemukan entitas seorang pemuda dengan pakaian lusuh di pojok ruangan. Kakinya di belenggu oleh rantai yang hanya terbuka oleh sensor suara Max dan kartu akses khusus, jika dibuka dengan paksa maka rantai itu akan menyetrum penggunanya hingga kehilangan nyawa.

Suara langkah kaki Vorxe menggema di ruangan yang tidak besar namun tidak sempit juga. Membuat pemuda lusuh yang sedaritadi menunduk mulai mengangkat kepalanya. Netra madu itu bersitatap dengan netra legam milik Vorxe. Raut terkejut begitu kentara di wajah pemuda lusuh itu.

Hingga Vorxe berdiri tepat di hadapannya. Wajah putra ketiga Max itu datar, tidak menunjukkan ekspresi sama sekali. Berbeda dengan pemuda lusuh yang nampak begitu emosional.

"V-vorxe?" Suaranya bergetar, suara itu terdengar bagai kutukan ditelinga Vorxe membuatnya otomatis berpaling. Helaan nafas panjang terdengar.

Vorxe masih tidak bersuara, pemuda itu berjongkok di hadapan si lusuh tanpa suara meraih kaki yang terbelenggu dengan rantai itu membuat si lusuh panik.

"Apa yang kau lakukan?!" Pekikan itu sama sekali tidak diindahkan oleh Vorxe. Pemuda itu dengan santainya menempelkan kartu akses yang membuat rantai itu terbuk seketika.

Warna merah pekat yang bahkan nyaris menghitam yang melingkar di kaki bekas rantai itu membuat Vorxe berpaling. Lalu kembali berdiri dengan angkuh di hadapan si lusuh.

"Ikut aku." Suara dengan nada datar itu mengalun dalam sunyi, membuat pemuda lusuh itu sempat tertegun seketika. Melihat Vorxe yang mulai melangkah dia mengikuti langkah itu dalam diam.

Tak munafik, dia merasa ada secercah harapan dan euphoria tersendiri dengan apa yang terjadi. Tapi disisi lain dia juga takut. Jika kejadian ini justru membawanya pada suatu akhir yang selalu terbayangkan dan berusaha ia hindari.

Mereka berjalan keluar dari tempat itu, Vorxe memimpin di depat dan si lusuh mengekorinya. Senyuman si lusuh mengembang saat terpaan angin dan cahaya matahari kembali dia rasakan. Bertahun-tahun hidup terbelenggu di tempat yang tidak memiliki jendela karena memang letaknya di bawah tanah.

Netra madu milih di lusuh mengedar memandang pepohonan rindang yang menjulang berjajar di hadapannya. Rupanya tempat ini adalah hutan. Dia baru tahu, karena kala dibawa kesini beberapa tahun lalu dia dalam keadaan tidak sadar.

"Masuk!" Ucapan Vorxe kembali membuyarkan lamunannya. Si lusuh menurut masuk ke dalam mobil. Hening menyapanya hingga mobil itu mulai melaju meninggalkan tempat ini.

. ☘️☘️☘️.

Langit malam terlihat indah dari balkon apartemen mewah yang tengah Vorxe tempati. Tempat ini adalah satu-satunya tempat persembunyian paling aman karena tidak ada yang tahu termasuk keluarganya. Dengan sebatang rokok ditangannya pemuda itu memandang lurus ke depan. Merokok, bukanlah hal biasa untuk Vorxe, dia hanya sesekali menyentuh benda bernikotin itu. Kala fikirannya kacau. Benar-benar kacau barulah dia merokok.

"Jadi ada apa?" Sebuah suara menyapa gendang telinga Max, membuat pemuda itu meremas rokok dalam genggamannya tanpa sadar. Dia mengatur nafasnya berusaha menekan emosinya yang tiba-tiba muncul ke permukaan.

Vorxe berbalik tanpa suara, netra legamnya menatap tepat pada manik madu milik si pemuda lusuh yang kini tak lusuh lagi. Vorxe menyuruhnya membersihkan diri. Dan Vorxe benci kala pemuda itu semakin mirip orang yang dia kenal.

Tangannya merogoh saku celana lalu mengeluarkan sebuah amplop putih dari sana. Tanpa suara Vorxe mengulurkan nya pada pemuda di hadapannya ini yang diterima baik.

Deretan aksara yang tertera membuat pemuda yang tengah membaca dan mencoba memahami itu ekspresi nya berubah-ubah. Hingga kekehan ringan menutup aktifitasnya.

"Jadi ini alasan seorang Vorxe Dawn Torricely rela melupakan egonya," ujar si pemuda dengan nada sisin yang kentara. Namun, tidak mengubah ekspresi Vorxe sama sekali.

"Apapun. Apapun akan aku lakukan jika itu menyangkut mereka." Netra madu milik si pemuda itu menyorot sendu pada Vorxe setelah kalimat itu terucap. Mendadak ada rasa tak kasat mata yang meremas kuat dalam dadanya.

"Sesayang itu kau padanya?" Lirihan itu mengambil atensi Vorxe sepenuhnya.  Putra ketiga Max itu tanpa ragu menganggukan kepala.

"Bukan hanya dia, tapi semua orang terdekatku," sahutnya santai. Yang tanpa sadar membuat pemuda dihadapannya mengepalkan tangan. Netranya berkaca-kaca. Rasa sakit, kecewa, menyesal, semua bercampur menjadi satu.

"Bahkan jika aku menintamu berlutut--"

Bruk!

Kalimat itu terhenti, matanya membulat sempurna saat Vorxe tiba-tiba berlutut di hadapannya. Putra ketiga Max menundukkan kepalanya dalam. Membuat pemuda di hadapannya tidak bisa berkata-kata. Terlampau terkejut. Pemuda arogan tanpa belas kasihan itu dengan mudah berlutut di hadapannya.

"Harga dirimu akan jatuh jika kau begini Vorxe--"

"Aku tidak peduli, katakan semaumu. Aku rela melanggar sumpahku sendiri, aku rela melakukan apapun asal dia.. Dia bisa tetap di sisiku." lirihan Vorxe benar-benar menyayat hati siapapun. Dia rela meruntuhkan egonya yang setinggu gunung dan rela merendahkan harga dirinya hanya untuk orang-orang yang dia sayangi.

Pemuda dihadapannya tak bergeming, lidahnya kelu. Wajahnya berpaling kemanapun asal tidak menatap Vorxe. Netra madu itu memerah dengan air mata yang mulai berjatuhan.

"Apa imbalan yang aku dapatkan jika aku menyetujuinya?" Vorxe mendongak mendengar pertanyaan itu. Dia menepis kasar air mata yang tiba-tiba akan turun.

"Apapun!" Dengan yakin pemuda itu berujar. Membuat pemuda di hadapannya mengulas senyum miris.

"Maaf." Alis Vorxe bertaut tak mengerti.

"Maaf darimu, dari kalian semua." Vorxe tertegun. Kedua tangannya mengepal dengan mata yang terpejam erat. Pemuda di hadapannya itu terkekeh ringan.

"Aku bercanda, aku sadar diri. Jika maaf kalian pasti akan sangat sulit bahkan mungkin tak pernah aku dapatkan. Sebagai imbalan aku hanya menginginkan dua hal." Pemuda itu menjeda ucapannya, menatap ke arah Vorxe yang masih diam. Tapi dia yakin, pemuda itu mendengarnya.

"1 hari bersama adikmu, dan kau tahu bukan apa yang terjadi padaku setelah hal itu terjadi?" Vorxe mengangguk samar.

"Tolong tempatkan aku di sampingnya.. " Vorxe terdiam. Namun tak ayal dia mengangguk. Membuat senyuman simpul tercetak dibibir pemuda itu.

Keduanya terdiam cukup lama, Vorxe masih dalam posisinya dan pemuda itu yang berdiri di hadapannya tidak ada niat menyuruh Vorxe berdiri. Hening menguasai atmosfer diantara keduanya.

"Terimakasih kak.. Mark."

. ☘️☘️☘️.

Hehe☺
Apa kabar sayangku?
Maapkan diriku ya
Membuat kalian kebingungan
Terimakasih yang sudah setia sama Asher
Komentar kalian, dan vote dari kalian adalah hal yang paling berpengaruh buatku😁 tanpa kalian ya mana bisa Asher sampe 30 part lebih. Terimakasih banyak untuk sayang-sayangnya Asher🤍🤍🤍🤍

𝐒𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐩𝐡𝐢𝐧𝐞 [Proses revisi]Where stories live. Discover now