𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟐𝟎 ☘️

24.1K 2.1K 27
                                    

Seharusnya, malam ini dia ikut bersama Sean untuk mengeksekusi orang kemarin. Hanya saja tiba-tiba dia terserang demam sore tadi. Membuat Max dan tiga putranya dilanda kepanikan, bahkan karena ikut panik Jonathan sampai menyeret Robbin dari rumah sakit. Beruntung dokter itu sedang stand by.

Cukup melegakan ternyata anak itu sakit karena memang sedang musimnya. Perubahan cuaca yang terkesan ekstrim membuat hal ini biasa terjadi.

Kini anak itu terlelap dengan tenang, selamat plaster penurun panas di dahinya. Wajahnya sedikit memerah karena suhu tubuhnya yang meningkat. Max duduk di sofa yang ada disana bersama Marchell dan Vorxe. Sedangkan Jonathan berdiri di depan pintu bersama satu rekannya.

Setelah kejadian naas yang menimpa tuan mudanya Jonathan memang jarang mengawal Asher secara khusus karena salah satu anggota keluarganya bergantian menjaga dan bedara di sisinya. Jonathan masih tetap ikut sesekali, tapi tidak seintens dulu.

"Ughh!"

Ketiganga kompak menoleh, Max lebih dulu mendekat dan duduk tepat di samping bungsunya. Menatap kelopak mata itu bergerak sebelum terbuka sempurna. Matanya menyorot layu ke arah Max, membuat Max mengelus kepalanya dengan sayang.

"Kenapa?" Tanya Max setengah berbisik. Asher mengedip perlahan memeluk pinggang Max dan menenggelamkan wajahnya di perut kotak-kotak milik sang ayah.

"Pusing, muter-muter sumua Daddy~" Max tersenyum mendengar rengekan si bungsu. Tangannya masih aktif mengelus kepalanya Asher sesekali memijatnya lembut.

"Makan dulu ya? Lalu minum obat nanti pusingnya hilang," ujar Max seraya membenarkan posisi Asher menjadi bersandar pada dada bidangnya. Marchell dengan sigap bangkit dan mengambil mangkok berisi bubur buatannya ke hadapan sang adik.

"Ini kakak masak sendiri," ujar Marchell seraya dengan telaten menyuapi si bungsu. Asher mengerjap pelan, mengulas senyum tipis pada kakak keduanya.

"Kak Sean sudah berangkat?" Tanya anak itu, di jawab anggukan oleh Marchell. Helaan nafas terdengar membuat Max terkekeh.

"Lain kali ikut denganku saja bagaimana?" Asher sedikit mendongak menatap wajah tegas sang ayah. Mengecup rahang itu sekilas lalu menunjukkan senyum lebarnya. Meskipun wajah itu pucat tapi tetap menawan. Membuat Max segera membalas dengan kecupan kupu-kupu di wajah manis putra bungsunya.

"Nah sudah." Marchell bangkit membawa serta piring kotor bekas makan sang adik. Melihat Marchell keluar kini giliran Vorxe yang duduk di tempat Marchell tadi. Mengulas senyum tupis pada sang adik lalu mengecup pipinya sekilas.

"Cepat sembuh, nanti aku ajak naik motor." Mendengar kata motor membuat velvet blue itu nampak berbinar. Membuat Vorxe gemas bukan kepalang.

"Sungguh? Kakak tidak bohong?" Vorxe terkekeh lalu mengangguk mantap membuat anak itu memekik girang.

"Apa ini Papa tidak diajak?" Asher menoleh ke sumber suara dan mendapati William bersedekap dada di ambang pintu.

"Papa~" oke oke William angkat tangan jika sudah berhadapan dengan kesayangannya yang satu ini. Dia mendekat dang langsung memeluk Asher yang masih di pangkuan Max otomatis Max juga ikut dipeluk pemuda itu.

Max memandang datar adiknya ini, namun membiarkan saja. Lagipula jika diingat dulu  Max adalah yang paling memanjakan William. Adik bungsunya selalu menempelinya kemana-mana bahkan ikut nyempil di kamarnya dan menganggu waktu malamnya Max dengan Esmeralda. William tinggal bersama Max sampai usia 12 tahun. Louis tadinya akan membawa anak itu ke Italia, namun Max melarangnya. Karena berbahaya bagi William yang masih berusia satu tahun jika ikut Louis mengurus dunia bawah di sana. Jadilah Max mengusulkan diri merawat William. Dan setelah berusia 12 tahun barilah Max mengijinkan Louis membawa William.

Ibunda mereka atau istrinya Louis meninggal setelah melahirkan William. Karena kala itu usianya memang sudah terlalu tua untuk mengandung. Namun apa daya, Tuhan masih mempercayakan Annette untuk melahirkan seorang anak meskipun setelahnya dia meninggalkan dunia.

"Daddy!" Pekikan bungsunya menyadarkan Max dari lamunan panjang, pria itu mengulas senyum seraya mengelus rambut putranya. William anak itu malah ikut berbaring dengan bantalan paha Max. Dalam diamnya ada kerinduan terpendam. Ya mereka saling menyayangi satu sama lain lebih dari yang kalian kira. Hanya saja ada nama yang harus mereka jama membuat mereka menciptakan topeng kokoh yang akan di jadikan sasaran musuh namun justru sejatinya itu sebuah boomerang.

Pandangan para saingan Torricely di dunia bawah maupun bisnis bersihnya terlihat seperti terpecah. Membuat mereka mengira para anak-anak Louis itu berebut kekuasaan, dan akan mudah dimanfaatkan. Tapi sayang mereka terlalu bodoh untuk tahu. Jika hal itu merupakan topeng wajib setiap calon pewaris generasi berikutnya.

Tidak pernah terjadi kudeta dalam sejarah Torricely. Semua bersaing secara sehat tanpa menjatuhkan siapapun. Begitupun saat ini. Frederick, Arthur, Max dan William adalah calon pewaris berikutnya. Yang akan dipilih secara cermat oleh Louis.

Jika duku Max tenggelam dalam ambisi, maka kali ini dia tidak lagi. Siapapun yang akan menjadi pengendali Torricely, dia tidak akan terlalu peduli. Yang penting dia bahagia bersama putra putranya.

"Papa, kapan nikah?" Asher merunduk berbisik di samping telinga William yang masih anteng rebahan di paha Max.

"Coba tanya Daddy kamu," sahut William ikut berbisik. Asher nampak bingung namun tak urung anak itu mendongak menatap sang ayah.

"Daddy kapan Papa akan menikah?" Max menautkan alisnya. Siapa yang mau nikah yang ditanya siapa.

"Kenapa bertanya padaku?" Tanya Max heran yang tentu saja membuat Asher ikut bingung. Lalu matanya membulat sempurna dia bahkan refleks meloncat dari pangkuan Max, membuat Max ikut kaget begitu juga dengan William yang langsung terduduk.

"Ada apa?" Asher menatap horor William dan Max bergantian. Perkataan William benar-benar ambigu membuat dia berfikir yang iya iya.. Eh yang tidak tidak maksudnya.

"Papa diapain?" Pertanyaan Asher yang entah kemana tujuannya membuat William semakin bingung saja.

"Diapain apanya?" Nah kan Asher tambah bingung, tangannya dengan polos menunjuk Max.

"Daddy apa-apain Papa?" Tanya Asher lagi.

"Memang kalau diapa-apain jadinya kenapa?" Asher semakin terkejut dengan jawaban William yang kembali Ambigu.

"Maksud Papa Apa?!" Pekik anak itu.

"Ya kamu mikir apa?" William bertanya balik membuat Asher seketika diam. Netranya masih mengawasi Max dan William. Membuat perempatan imajiner muncul di dahi kedua pria itu.

Sama sama disconnected sepertinya. Vorxe yang diam-siam memperhatikan perdebatan itu menepuk dahinya tak habis fikir dengan pemikiran ajaib adik bungsunya. Dengan helaan nafas frustasi dia menyentil dahi si bungsu yang masih ditempeli plaster penurun panas itu. Membuat empunya mengaduh.

"Kami mikir mereka mau nikah?" Pertanyaan Vorxe nampaknya membuat Max kembali connected.

Brugh!

Dengan tidak berperi keadikan Max menendang punggung William hingga terjungkal ke lantai. Heran juga dengan pemikiran ajaib bungsunya ini.

"Enyahkan pemikiran absurd mu itu!" Ujar Max tegas membuat Asher cengengesan di tempatnya.

"Salahin Papa tuh, ngomongnya bikin ambigu." William mendelik di tempatnya, mengelus punggungnya yang terasa nyut-nyutan.

"Kan maksud Papa tuh nunggu daddy mu memberi restu. Baru kita bisa nikah," sahut William asal.

"Kita?!" Beo anak itu. Dibalas senyuman jenaka dari William.

"Iya ki--"

Bugh!

Kali ini pelakunya adalah Asher, melemparkan Maxy yang tak bersalah pada William membuat pemuda itu kembali terjerembab.

. ☘️☘️☘️.

Kali ini mari kita doakan keselamatan William dari amukan macan galaknya nya Max🙂

𝐒𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐩𝐡𝐢𝐧𝐞 [Proses revisi]Where stories live. Discover now