𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟑𝟏☘️

14.7K 1.4K 58
                                    

Angkasa kelabu, seakan tahu jika mereka tengah berduka. Di hadapannya gundukan tanah yang berbalut hamparan kelopak bunga. Lengkap dengan potret beku seorang pemuda yang tersenyum manis ke arah kamera. Dalam genggamannya ada dua buah kalung silver dengan liontin yang berbeda. Tangannya dengan pelan menyentuh nisan yang akan manjadi simbol kenangan.

"Kenapa harus kakak? Aku punya begitu banyak rencana yang belum terlaksana. Tapi kakak malah pergi begitu saja." suaranya mengalun lirih memecah sunyi. Helaan nafasnya terasa menyakitkan. Karena hidupnya lagi-lagi mengorbankan seseorang.

Asher, remaja itu telah berangsur pulih. Sudah hampir 1 bulan lamanya dia mendekam di rumah sakit dan baru hari ini dia bisa mengunjungi sang kakak. Tangisnya luruh bersama sakit berkepanjangan. Kala teringat senyuman terakhir sang kakak sebelum dia benar-benar jatuh pada permukaan air.

Dia kira dia yang akan pergi dari dunia. Dia sempat salah faham pada kakaknya yang ternyata rela raib dari dunia hanya untuk menyelamatkannya. Padahal bisa saja saat itu Marchell ikut terjun bersamanya. Tapi disaat seperti itu sangat kakak masih memikirkan banyak orang. Tepat ketika Max menodongkan senjata ledakan dimulai dari bangunan sebelah kanan membuat Marchell berlari membawa serta bom yang berada di kamar si bungsu ke bangunan tengah yang mengakibatkan ledakan di gadung yang dekat dengan danau tidak terlalu parah sehingga mereka yang melompat ke danau masih bisa terlindung oleh air. Mendengar cerita dari Max membuat rasa sakit itu semakin menekannya. Kakaknya adalah yang terbaik sepanjang masa.

Dia, kakaknya yang paling hangat. Memang tidak semanis Sean atau se pengertian Vorxe. Tapi setiap bersama Marchell ada kehangatan tersendiri yang hanya dia dapatkan dari kakak keduanya itu.

Senyum nya yang khas dan pembawaannya yang tenang membuat Asher merasa selalu mendapatkan kenyamanan tersendiri dari Marchell. Memang jika diingat lagi tidak banyak kenangan yang di buat dengan kakak keduanya ini. Tapi setiap momen bersama Marchell sesingkat apapun itu Asher benar-benar menyukainya.

"Bulan depan adalah ulang tahunku, aku punya banyak list untuk dilakukan bersama kakak dan yang lainnya. Tapi kakak pergi lebih dulu bahkan sebelum hari itu tiba." tangannya mengusap kasar pipinya yang lagi-lagi dialiri air mata.

"Kakak, siapa yang akan memasak untuku lagi? Katanya kakak akan menyiapkan bekal untuku setiap hari? Lalu minggu depan aku sudah mulai sekolah. Kakak tahu kak Sean atau kak Vorxe tak bisa diandalkan kalau soal memasak, " ujarnya diakhiri dengan kekehan hambar. Helaan nafas terdengar lalu pemuda itu memilih bangkit. Memandang sendu ukiran di tangan kirinya. Ada ukiran bintang dan nama sang kakak disana. Asher mengulas senyumnya. Mengelus bekas luka itu dengan pelan. Tidak terlalu dalam namun alat yang Marchell gunakan menanamkan tinta layaknya tato. Jadi bekas itu ada dan bahkan abadi.

"Seperti katamu, namamu akan abadi. Dalam penyimpanan terbaik yaitu dalam fikiranku," ujarnya terakhir kali sebelum melangkah pergi dari sana. Dan meletakan buket bunga di sana.

"Sudah?" Max menyambut bungsunya di luar area pemakanan sesuai permintaannya. Ditariknya tubuh rapuh itu kedalam dekapan hangatnya.

"Sudah." Max tersenyum lalu membawa bungsunya ke dalam mobil. Melajukan mobil yang mereka tumpangi dengan jemari yang bertaut.

"Kak Sean dirumah?" tanya Asher pelan, Max terdiam sejenak lalu mengangguk.

"Iya, dia meminta asistennya untuk mengosongkan jadwal. Katanya ingin healing," sahut Max membuat anak itu terkekeh pelan. Membawa tubuhnya menyandar pada bahu kokoh sang ayah.

"Paling dia tidur seharian." Max tertawa kecil, membubuhkan kecupan manis di kening bungsunya. Sisanya hening hingga sampailah mereka di depan mansion utama Torricely. Ya karena mansion Max sudah hancur lebur.

Asher berlari lebih dulu masuk ke dalam mansion, mendapati William yang tengah memangku laptop di ruang tengah. Dengan senyum lebarnya anak itu mendekat.

"Papa!" pekikan nyaring itu membuat William terkekeh, menarik Asher untuk dia dekap dengan erat. Aroma manis yang menyegarkan selalu menjadi candu untuknya.

"Sayangnya Papa sudah pulang?" Asher mengangguk semangat, merangsek semakin masuk dalam dekapan William.

"Besok ikut aku." Asher menoleh pada Max yang ikut duduk di single sofa. Menumpang kaki seraya bersedekap dada.

"Mau kemana?" Tanya Asher, Max menaikan sebelah alisnya. Meraih segelas kopi yang baru saja tiba diantarkan oleh maid. Menyesapnya pelan lalu kembali memusatkan atensi pada bungsunya.

"Membeli hadiah ulang tahunmu," ujan Max membuat Asher menautkan alisnya bingung. Kenapa dia harus ikut? Bukankah harusnya rahasia?

"Kenapa aku harus ikut Daddy?" Max tersenyum simpul, lalu kembali menyesap dengan nikmat kopi ditangannya. Rasa pahit dan manis yang menyatu menjadi candu untuk Max.

"Tentu harus, kita akan bertemu dengan notaris. Ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani," ujar Max santai. Pria itu bahkan kembali larut dalam acara minum kopinya, mengabaikan si bungsu yang semakin bingung.

"Memang Daddy mau ngapain? Sampe harus tanda tangan segala?" Asher mendekati Max lalu duduk di pangkuan sang Ayah. Tentu saja Max tidak keberatan.

"Membelikan hadiah untukmu tentu saja, nanti kita harus survey langsung ke tempatnya supaya jika kamu tidak suka kita bisa cari yang lain," jawab Max. William yang sedari tadi mengamati diam-diam ikut menebak. Meraih segelas jus yang memang disiapkan untuknya. Menyesapnya dengan perlahan sembari berfikir.

"Apa kakak akan membelikannya rumah? Mansion? Atau apa?" Tanya William pada akhirnya. Sekiranya itu yang ada di fikiran nya. Max berfikir sejenak.

"Tidak bisa dibilang rumah juga sih," ucapnya ragu.

"Lalu Dad beli apa?" Max sedikit menundukkan kepalanya untuk menatap si bungsu. Mengecup keningnya lalu tersenyum lebar.

"Pulau," sahutnya tanpa beban.

Byurr!

Minuman yang baru saja diteguk William menyembur tepat ke wajah Max membuat pria itu mendelik taman.

"Sialan." Max mengusap kasar wajahnya yang menjadi korban air mancur William. Asher sendiri masih terkejut dengan ucapan sangat ayah barusan. Seenteng itu mengatakan membeli pulau? Iya pulau! Sudah seperti ketika kita ingin beli gorengan. Benar-benar diluar perkiraan ramalan cuaca.

"Yang benar saja Kak?" Max mengedikkan bahunya acuh. Lalu memilih bangkit dengan membawa serta si bungsu dalam gendongannya. Lalu melangkah pergi. Baru beberapa langkah pria itu berhenti dan kembali berbalik menatap William yang masih misuh-misuh.

"Ah William, hubungi arsitek dan kontraktor yang bisa dipercaya. Bawa ke hadapanku besok. Aku akan membawa serta putraku. Supaya dia menentukan apa yang dia mau bangun di pulau itu nanti." Max kembali melangkah menjauh dari sana setelah berucap. Meninggalkan William yang ingin melempar kakaknya dengan gelas yang dia pegang.

"Sialan Duda satu itu!" William semakin misuh-misuh tak jelas. Mengabsen seisi kebun binatang. Kelewat kesal dengan sang kakak.

☘️☘️☘️

Hehe☺
Gimana ya...
Ayangnya acell mana nih? 😁

𝐒𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐩𝐡𝐢𝐧𝐞 [Proses revisi]Where stories live. Discover now