Raka mengangguk. "Iya, bener emang. Kita juga bilang gitu, cuma ya dia bilang kalau susah, karena kita nggak ngerti situasinya. Dika pun juga sempet curcol, dia emang lumayan sering sih bilang di grup kalau weekend gitu sering ditinggal sendiri di rumah, istri sama anaknya sibuk urusannya masing-masing. Kalau Varo ngeluh karena diomelin, Dika ngeluh karena nggak diperhatiin."

"Dika? Bang Dika? Masa istrinya gitu sih? Kayaknya bukan orang yang cuek deh, Ka, waktu kita dateng ke nikahannya dulu, dia ramah loh," respons Ghea agak terkejut, sebab setahunya dulu sewaktu datang ke pernikahan Dika, istrinya Dika itu perempuan yang ramah.

"Bukan cuek, Yang, tapi gimana ya, orang ramah sekalipun belum tentu juga pribadi yang perhatian 'kan? Nggak semua orang ramah itu homemaker," ucap Raka.

Ghea berdehem panjang, lalu mengangguk-angguk. "Kamu nggak ikut curhat juga?" tanyanya, tersenyum kecil.

Raka yang tengah menyandarkan punggungnya melirik sang istri. "Enggak, aku mah jadi penasihatnya aja."

"Rata-rata pelaku nggak mau ngaku sih, Ka." Ghea tersenyum tipis.

"Beneran, kamu tanyain aja sama si Dika, aku mah nggak pernah ngeluhin soal kamu ke mereka, cuma kadang curhat soal anak-anak sih," ujar Raka membuat Ghea tertawa.

"Padahal curhat juga gapapa, Ka. Kalau nggak sama mereka juga kamu mau cerita ke siapa buat ngeluhin soal aku? Sama Mama nggak mungkin, sama Mami juga pasti kamu sungkan. Aku 'kan juga suka ngomel, jadi kamu senasib sama temen-temen kamu," ucap Ghea di sela tawanya.

Raka tersenyum. "Justru aku bakalan heran kalau kamu nggak ngomel. Cerewetnya kamu itu 'kan tanda kalau kamu sayang sama aku, kamu peduli. Lagian, apa yang mau aku keluhin dari istriku yang serba bisa ini? Cukup aku aja yang ngerti kurangnya kamu, orang lain nggak perlu."

Ghea mengulum senyum. "Pinter banget gombalnya."

Raka tertawa. "Tapi, ngomong soal curhat nih, kamu pernah nggak ngeluh soal aku ke temen-temen kamu?" tanyanya.

Ghea mengernyit, lalu tampak berpikir, mengingat apakah dia pernah mengeluh tentang Raka pada teman-temannya. "Pernah. Dulu waktu kita awal-awal nikah, tiap hari aku gibahin kamu sama mereka, sampai mereka pada hafal kalau aku nimbrung di grup."

Raka tertawa. "Itu nggak dihitung, soalnya dulu aku juga pernah. Maksud aku setelah itu," ucapnya mengoreksi. "Kayaknya, daripada yang jelek-jelek kamu lebih sering ngomongin yang enggak-enggak sama temen-temen kamu," ucap pria itu lagi.

Ghea mengernyit. "Enggak-enggak gimana maksudnya?"

"Dirty joke," jawab Raka, membuat Ghea nyaris tersedak ludahnya sendiri, secara spontan tangan wanita itu melayang menampar lengan suaminya.

"Heh!" tegur Ghea, membuat Raka tertawa.

"Tapi bener?"

"Halah, bilang aja kamu juga gitu," balas Ghea.

"Hmm, berarti bener ya?" Raka semakin gencar menggoda istrinya.

"Ka!" Ghea kembali berseru, membuat tawa Raka kian terdengar renyah.

"Pacaran teroosss." Suara Elvano menginterupsi obrolan pasangan suami-istri itu, spontan keduanya menoleh saat putra sulung mereka datang dengan penampilan rapi dan wangi.

"Iri aja kamu jomblo," balas Raka.

Elvano mendelik. "Vano jomblo terhormat."

"Halah, jomblo ngenes yang bener. Mau ke mana kamu dandan begitu?" ujar Raka, menyinggung penampilan Elvano yang tampak rapi padahal biasanya cuma pakai kaus sama kolor.

When The Sun Is ShiningWhere stories live. Discover now