chapter 32

2.8K 365 31
                                    

Ada banyak hal yang ingin Jeno katakan. Ada banyak kesempatan yang dia punya untuk menjelaskan semua dari awal, tapi nasi rasanya udah jadi bubur yang gak akan pernah kembali ke bentuk awalnya. Jeno tau betul bahwa semua ini murni kebodohan yang dari awal ia anggap duri kecil, tapi dia lupa bahwa duri kecil pun bisa membuat luka yang rasanya perih. Sekarang apa? Apa yang harus Jeno lakukan? Apa yang harus jelaskan pada Renjun jika ia diberi kesempatan. Apa yang akan Jeno katakan pada Mama dan Papa nya perihal mereka yang hanya rekayasa belaka, apa yang akan terjadi pada dirinya jika Renjun tidak mau kembali lagi?

Jeno menutup pintu kamarnya, melempar jas ke sembarang arah lalu terduduk di kasur yang masih menempel aroma Renjun di sana. Semua sudut hidupnya sudah dipenuhi Renjun, ia harus lari ke mana? Apartment nya bahkan saksi bisu pertama kali mereka melakukan hal gila itu, mobilnya pun sama, kamarnya yang ada di rumah orang tuanya juga begitu, di mana lagi Jeno harus lari untuk sejenak menghilangkan Renjun dari benaknya? Tidak ada. Jikalau ada, satu-satunya tempat hanya pelukan Renjun, Jeno tidak butuh melupakan Renjun, Jeno hanya butuh membawa Renjun kembali pada dirinya.

Desah nafas frustasi terdengar jelas, Jeno tidak tau darimana Renjun bisa mengetahui kebenaran soal dirinya dengan Yangyang, sebelumnya mereka baik-baik saja, Jeno juga tidak melihat Renjun mengobrol dengan Mamanya atau... Lia? Tunggu, Jeno melihatnya! Seolah mendapat pencerahan, lelaki taurus itu berdiri, dia tidak salah lihat saat melihat Renjun yang nampak berbicara di bawah tangga dengan Lia sebelum lelaki itu berjalan keluar dari rumahnya.

Apa Lia yang memberitau Renjun?

Jeno mengusak rambut, dia yakin pasti Lia tidak sengaja menyebutkan nama Yangyang saat itu, jadi membuat Renjun tau semuanya. Ia segera beranjak dari posisinya, tapi berhenti di pintu saat tersadar acara keluarga mereka masih berlanjut di bawah, tidak mungkin muncul tanpa Renjun, kebohongan apalagi yang harus ia rangkai untuk menutupi ini semua sampai acara selesai.

Tapi, berada di dalam kamar juga membuat dirinya semakin sesak, bayangan Renjun di mana-mana, tawa, senyum, omelan, juga air mata Renjun berputar di pikiran Jeno. Lelaki itu pun putuskan buat keluar dari sana, balkon lantai dua mungkin bisa membantunya sejenak untuk berpikir apa yang harus ia lakukan supaya Renjun mau memberi dia waktu menjelaskan semuanya.

Langkah Jeno gontai menuju balkon, bajunya sudah kusut di mana-mana, wajah tampan yang biasanya berseri kini meredup, rambut yang tadinya klimis sekarang awut-awutan seperti tidak tersisir.

"Donghyuck?"

Jeno memanggil dengan kerutan di dahi, saat sampai di balkon ia mendapati figur sepupunya tengah duduk dengan gelas bekas wine di meja. Ia tidak tau ada orang lain di lantai dua selain dirinya.

"Hai, Jeno." Donghyuck nampak tersenyum, senyum berbeda yang Jeno rasakan seolah mengejek dirinya, mungkin karena perasaannya sedang sensitif. Lelaki yang umurnya hanya berbeda beberapa bulan dengan Jeno itu berdiri, menggeser satu bangku agar Jeno bisa duduk. "Duduk, No. Pasti capek kan?" Lagi-lagi Jeno rasakan aura meremehkan itu dari tiap kalimat dan ekspresi Donghyuck. Tapi, tak urung Jeno tetap menurut, ia duduk bersebelahan dengan Donghyuck, posisi menatap ke arah hamparan kebun.

"Pesta belum selesai, kok lo udah di sini?" Jeno memulai topik basic.

"Seru aja di sini."

Jeno mengangkat satu alisnya, bingung dengan jawaban Donghyuck. Apa serunya berada di balkon sendirian?

"Maksudnya?"

Donghyuck tertawa. "Lo juga ngapain di sini?" Ia abaikan pertanyaan Jeno, memilih mengajukan pertanyaan yang sama.

"Gapapa." Jeno hanya memasang wajah datarnya, sebenarnya ia dan Donghyuck tidak seakrab yang terlihat, hanya saja, demi menjaga citra anak baik-baik miliknya, dia harus bersikap ramah pada seluruh keluarga— sepupu. Pandangan Jeno terfokus pada gelapnya kebun di sana, sesekali melirik ke arah halaman rumahnya yang penuh dengan mobil— eh tunggu! Seolah tersadar sesuatu, lelaki itu menoleh cepat ke arah Donghyuck yang tengah menyalakan rokok di sampingnya. Jika Donghyuck sudah berada lama di balkon, lantas apa lelaki itu melihatnya dan Renjun tadi?

Mulut Jeno hendak terbuka, tapi ia urungkan karena sepertinya Donghyuck tidak melihat apapun. Jika lelaki itu melihat insiden itu tadi, mungkin sekarang reaksinya tidak akan sesantai ini kan, jadi Jeno lebih memilih diam, pikirannya sudah kacau, perasaannya juga sama, dia tidak bisa berpikir jernih bahkan untuk membuka topik obrolan dengan Donghyuck saja rasanya tidak mampu.

Keduanya terperangkap dalam dinginnya udara di kota itu, tapi dengan suasana hati yang berbeda jauh.

***

"Ada yang lihat Jeno gak?" Erick menyela obrolan Jaemin dengan beberapa sepupu lain, raut mukanya panik karena tidak menemukan Jeno sejak tadi, begitu juga Renjun. Jaemin yang daritadi sibuk bercengkrama dengan keluarga Jeno tentu nggak terlalu menyadari kalau Jeno sudah menghilang lebih dari tiga puluh menit tanpa pamit.

"Kenapa, Rick?" Lantas Jaemin menghampiri Erick dengan kebingungan, "Tadi dia kayanya nyusul Renjun ke atas?" Jaemin cuma mengatakan hal paling masuk akal untuk alasan kenapa Jeno menghilang. Di pikiran lelaki itu sekarang pas Jeno dan Renjun sedang 'bergelung' bersama di bawah hangat selimut.

"Satpam luar bilang Renjun pergi sambil nangis sama managernya tadi." Pernyataan Erick itu sukses buat senyum jahil Jaemin membayangkan hal konyol luntur seketika. Tanpa mengatakan apapun, Jaemin langsung naik ke lantai atas, mengabaikan Erick yang menyerukan namanya di tengah ruangan yang penuh orang.

Jaemin cepat mengerti situasi, apa alasan Renjun menangis dan langsung pergi dari acara tanpa berpamitan pada keluarga Lee, lalu ke mana Lee Jeno, kenapa tiba-tiba menghilang. Hubungan kedua manusia itu cukup rumit untuk dijelaskan, dengan Renjun berada di rumah ini saja kemungkinan Renjun mengetahui soal Jeno dan Yangyang sudah delapan puluh persen? Atau mungkin sembilan puluh persen?

"Hey, Na Jaem!" Langkah Jaemin terhenti begitu figur sepupu Jeno yang sering Jeno ceritakan betapa kerennya Donghyuck di pikiran orang tuanya itu berdiri dengan gagah sedikit angkuh di hadapannya, jarak empat meter. "Nyari Jeno?" Pertanyaan yang langsung Jaemin jawab dengan anggukan cepat.

Donghyuck menunjuk arah balkon dengan dagunya. "Orang lagi patah hati, jangan diganggu." Setelah mengatakan itu dengan tawa yang terdengar menyebalkan, Donghyuck berlalu dari sana.

Persetan dengan kalimat Donghyuck, yang Jaemin lakukan pertama adalah menghampiri Jeno, mencari tau apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan Renjun.

"Lo ngapain di sini?"

"Renjun tau semuanya."

Jaemin mengusap wajahnya frustasi. Apalagi setelah melihat penampilan Jeno yang berantakan dengan kemeja kusut di mana-mana. "Gimana bisa?"

"Kalo gua tau, gua gak bakal sefrustasi ini, Jaem. Gua bingung harus jelasin gimana ke Mama sama Papa, harus gimana buat bikin Renjun percaya sama gua lagi, gua kaya pengecut cuma bisa duduk mikirin hal yang gua nggak tau gimana cara nyeleseinnya."

"Renjun berhak tau dari awal. Tapi, lo masih aja nutupin semua hal. Sekarang kayanya bakal lebih susah."

Jeno tau. Tanpa diperjelas Jaemin pun dia tau konsekuesi apa yang akan dia dapatkan jika Renjun tau semua ini. Dia cuma butuh waktu buat mikirin semua hal sekarang, satu persatu, dia harus berhenti jadi pengecut, dia harus dapatkan balik kepercayaan Renjun dan keluarganya, dia harus dapatkan lagi cinta Renjun itu, walau harus kehilangan reputasinya, Jeno tidak masalah. 

"Besok gua bakal jujur ke Mama sama Papa soal hubungan gua sama Renjun."

"Terus kalo lo disuruh balik sama Yangyang gimana? Mau makin bikin suasana jadi runyam?"

Jeno menatap Jaemin dengan pandangan tegasnya. "Sama Renjun, atau gak sama sekali, Jaem."

[]

tbc

Scandal | ft. NorenDove le storie prendono vita. Scoprilo ora