chapter 09 ( tw // mentioned suicide )

4.7K 444 7
                                    

Lima tahun jadi teman sekaligus satu-satunya orang yang tau bagaimana kehidupan Jeno lebih dari orang tuanya sendiri, membuat Jaemin kali ini merasa dia bukan siapa-siapa. Berita yang sedang dibicarakan di banyak tempat dan media terus berputar di kepalanya. Jaemin merasa gagal jadi teman, padahal selama ini, Jeno selalu menceritakan segala hal sama dia. Lalu, sekarang? tiba-tiba Jeno mengonfirmasi bahwa dirinya dan Huang Renjun adalah sepasang kasih sejak satu bulan yang lalu. Tapi, dia gak tau apa-apa soal itu.

Jaemin mengusak rambut. Tidak percaya dengan apa yang dia dengar dan lihat, Jeno gak cerita apa-apa soal bagaimana dia dan Renjun bisa bertemu sampai menjadi sepasang kekasih. Gak ada tanda-tanda lelaki itu dekat dengan siapapun beberapa bulan terakhir, bahkan Jeno masih menyetujui permintaan sang mama untuk hadir di acara makan malam yang tujuannya mengenalkan Jeno pada seseorang.

Oh, apa orang itu Huang Renjun, ya? Jaemin menerka-nerka dalam hati.

Semilir angin dari atas pembatas jembatan menerbangkan jas nya yang sudah amburadul. Lalu ia tersadar sesuatu, satu clue yang membuat Jaemin berpikir tidak mungkin Huang Renjun karena keluarga Huang gak punya bisnis yang berkaitan dengan kelab malam. Lagipula, selain marah pada Jeno yang seperti sudah mengkhianati persahabatan mereka, dia juga kecewa sekaligus iri dengan Jeno karena lelaki itu berkencan dengan idolanya sendiri. Beruntung sekali.

Sebatang rokok sudah habis ia sesap sambil merenung di pinggir jembatan kota yang menghubungkan jalan dari dua arah berbeda. Jaemin sudah berada di sana sejak pulang kerja, hari ini juga gak bertemu Jeno sama sekali. Walau lama berteman, Jaemin jarang bermain ke apartment lelaki itu, dia masih paham akan privasi Jeno.

Mata Jaemin yang sedang menyusuri pinggir jembatan lain menemukan seseorang dengan pakaian kaos dan jaket hitam juga celana bahan selutut, sosok itu lelaki, sedang berdiri di pinggir jembatan yang sama dengan Jaemin, tapi jarak mereka kurang dari seratus meter. Jaemin agak was-was di tempat, masalahnya selain tempat untuk melihat keindahan laut di bawah sana, jembatan itu juga sering jadi jalan manusia yang penuh keputus-asaan melakukan bunuh diri.

"Dia mau bunuh diri, ya?" Jaemin heboh bertanya pada angin malam saat melihat si sosok berjaket hitam dan topi hitam itu memegang erat pembatas jembatan, seperti sedang mengambil ancang-ancang untuk naik ke atas jembatan, lalu meloncat.

Sialnya, tebakan Jaemin mungkin benar, sosok itu sudah mau menaikkan satu kakinya ke pembatas besi jembatan yang tidak cukup kuat. Jaemin bingung, dia tidak mau jadi saksi mata atas keputusan hidup orang asing yang memilih bunuh diri. Tapi, sebagai manusia berhati nurani — Jaemin seharusnya lari, lalu sebisa mungkin menggagalkan rencana orang asing itu.

Dan ketika dua kaki orang asing itu sudah sepenuhnya berada di atas pembatas jembatan, Jaemin mengumpat keras, sebelum membuat putung rokok keduanya ke bawah sana, lantas berlari melawan arah angin ke arah sosok asing yang sudah merentangkan tangan menyambut keabadian palsu.

"Woy! Orang gila!"

Jaemin memeluk kaki orang asing itu dengan napas tidak beraturan — campuran panik dan lelah karena berlari sekuat tenaga.

"Lepasin! Lo siapa?!" Sosok itu berteriak, mencoba membuat Jaemin melepaskan pelukan yang erat dikakinya.

"Gua tau hidup emang nggak adil terus kadang nyebelin, tapi mati sebelum waktunya bukan jalan yang bener!" Jaemin berteriak, membuat si lelaki topi hitam mengernyit tiba-tiba diberi ceramah sama orang aneh yang berlari, lalu memeluk kakinya. "Gua bakal lepasin kalo lo janji buat gak nekat lompat ke sana. Di sana dingin, kalo ada megalodon, gimana?"

Kalimat Jaemin yang ngelantur itu mengundang tawa si lelaki topi hitam. Dia sudah paham apa yang Jaemin maksud, tawanya makin keras melihat wajah bodoh dan bingung Jaemin sambil memegang kakinya, mirip anak yang mau ditinggal ibunya untuk pergi bekerja.

Mereka berdua udah jadi tontonan penduduk yang lewat jembatan, tapi keduanya mana peduli, apalagi Jaemin kebingungan di tempat. Dia berniat menyelamatkan hidup orang, tapi yang akan diselamatkan sekarang malah tertawa keras seperti orang gila.

"Kalo gak lo lepasin, gue bakal terjun ke bawah, sekalian biar lo ikut ketemu megalodon." Orang itu menghentikan tawanya sejenak, tapi masih ada sisa tawa, menurutnya ekspresi plonga-plongo Jaemin itu lucu, menghibur hatinya yang kalut saat ini. "Gue gak ada niat bunuh diri. Makan mie instan masih enak, indomie belum bikin varian rasa strawberry jadi gue belum bisa mati."

"Lo bunuh diri aja!" Jaemin melepaskan tangan sosok misterius itu yang langsung mengernyit bingung mendengar kalimat Jaemin. "Psikopat gila doang yang mau makan mie rasa strawberry."

Tawanya lagi-lagi meledak, kemudian sambil tertawa, sosok bertopi hitam tersebut melompat turun ke trotoar tempat Jaemin berdiri menghadapnya sekarang. Lelaki berjas abu-abu itu konyol sekali mengira dia akan mengakhiri hidupnya sendiri.

"Thanks, seenggaknya gue bisa ketawa karena tingkah konyol lo tadi." Sosok itu menatap Jaemin dengan pandangan ramah. Sementara, si Leo membalas dengan tatapan sebal.

"Lain kali, jangan suka manjat-manjat jembatan lagi. Lo nggak tau aja bisa kepleset terus bangun-bangun di perut hiu."

"Siapa tuh yang bangunin kalo gue di perut hiu?"

Jaemin mendengkus, dia tidak mood bercanda, tapi sosok misterius yang suka manjat jembatan itu malah seperti menganggap rasa paniknya pantas buat ditertawakan. Tapi, ya sudahlah, setidaknya hari ini Jaemin berhasil membuat satu kebaikan; membuat orang tertawa.

"Malaikat maut." Jaemin jawab asal saja. "Kenapa lo manjat pembatas jembatan?"

"Suka aja. Biasanya gue bakal teriak kalo lagi kesel di sini, it's like a relief, kaya gue buang semua perasaan gak enak gue di sini."

Kini mereka berdua, sama-sama berdiri di samping jembatan, menghadap ke arah lautan lautan luas yang gelap karena hanya mengandalkan cahaya bulan.

"Berarti lagi ada masalah, ya?" Jaemin sok-sokan bertanya, niatnya supaya tidak ada keheningan di antara mereka.

Lelaki bertopi hitam cuma menggedikkan bahu. "Bukan masalah besar, tapi cukup ganggu pikiran gue aja."

"Kata orang, bicara sama orang asing kadang lebih baik daripada sama orang yang udah lama lo kenal."

"So?"

"Mau cerita kah sama gua?" Jaemin menatap wajah orang asing di sampingnya yang mengulas senyum.

"Nggak ada yang perlu gue ceritain, ini cuma masalah kecil aja, btw, nama lo siapa?"

Well, Jaemin tidak punya hak untuk memaksa. Jadi, mungkin cukup tadi saja dia berniat membantu.

"Na Jaemin." Atensi Jaemin kembali pada hamparan air laut. "Kalo lo siapa?"

"Yangyang."

[]

to be continued

Scandal | ft. NorenWhere stories live. Discover now