Seniat dan se-effort itu memang Raka dan Ghea untuk mengapresiasi anak-anaknya.

Di sela obrolan Hugo dengan mamanya, sebuah seruan tiba-tiba terdengar dari lantai atas, membuat atensi Ghea dan Hugo sama-sama beralih.

"Go! Lo di bawah 'kan?" Suara itu adalah milik si sulung yang ditujukan untuk Hugo.

Sembari membawa drone-nya untuk kembali sebab baterainya yang hampir habis, Hugo menyahuti seruan Elvano dengan kalimat, "Kaga! Di dalem gue!"

"Gue serius, woi! Naik ke atas, Go! Tolong benerin kipas angin, balingnya nggak bisa muter nih!" seru Elvano lagi, meminta tolong pada adiknya.

"Kalau emang udah nggak bisa dipake turunin aja, Bang, masukin gudang ganti yang baru." Ghea ikut menyahuti.

"Loh, Mama di situ juga?" Elvano langsung nongol-nongol buat lihat mamanya yang ternyata ada di sana bersama Hugo.

Berdiri dari duduknya untuk mengambil drone-nya yang mendarat, Hugo kemudian mendongak dan berseru, "Lo nih pasti yang rusakin, males gue benerin!"

"Sembarangan! Rusak sendiri tau! Gitu amat lo dimintain tolong!"

"Goban, ye?" Hugo membuat penawaran.

"Perhitungan banget lo!" balas Elvano.

"Goban doang, pelit lo!" Hugo bersungut.

"Akhir bulan, Go, hemat!"

"Heh, udah-udah! Jangan teriak-teriak gitu, didengerin tetangga! Tolongin itu, Go, nanti gobannya minta ke Mama," ujar Ghea menengahi perdebatan antara kakak beradik itu.

Hugo langsung sumringah. "Ah, Mama, nggak bilang daritadi, meluncurr!!" serunya.

"Yeu, giliran urusan duit aja cepet, dasar mata duitan!" cibir Elvano, membuat langkah Hugo terhenti, dia langsung lihat ke atas dan berseru,

"Apa?! Mau dibenerin nggak?!" ancamnya.

"Iya-iya! Minta tolong ya, Adikku yang paling ganteng sekebun binatang!"

"Huek!" balas Hugo, berpura-pura muntah, lalu dia meletakkan drone beserta remot kontrolnya di lantai teras belakang rumah dan berlari masuk ke dalam.

Melihat Hugo yang meninggalkan mainannya sembarangan, Ghea lantas berseru, "Loh, heh?! Ini nggak diberesin dulu mainannya??"

"Nanti, Ma!" sahut Hugo dari dalam rumah, membuat Ghea menghela napas dan bergeleng kepala, mengambil mainan yang digeletakkan begitu saja oleh pemiliknya tersebut. Bilangnya nanti, tapi coba lihat saja nanti kalau nggak malah lupa.

***

Sebagai lulusan dari SMP yang termasuk dari salah satu sekolah swasta elit di Jakarta, Hugo tentu mendapat pertanyaan dari temannya, kenapa memilih untuk melanjutkan ke Citra Mutiara yang bukan sekolah bergengsi?

Jelas saja, namanya Hugo, mana mungkin menjawab dengan jujur, ya dia menjawab semaunya saja dengan berkata kalau pilih sekolah kejuruan yang dekat dengan rumah, untuk pertanyaan selebihnya, Hugo menjawab dengan jawaban andalan, yaitu; kepo.

Hugo diberi kebebasan untuk memilih sekolah, tapi syaratnya dengan jarak tempuh yang nggak jauh dari rumah. Dia nggak mau sekolah di SMA, dan satu-satunya SMK swasta yang ada dekat dengan rumah adalah Citra Mutiara.

Kenapa nggak pilih yang negeri saja?

Hugo bilang, dia nggak mau terkena culture shock dengan tiba-tiba masuk ke sekolah negeri setelah menempuh pendidikan dari TK sampai SMP di swasta. Sebetulnya, Citra Mutiara juga nggak jauh beda dengan sekolah negeri, karena seragamnya putih abu dan menurut Hugo itu terlalu basic.

When The Sun Is ShiningWhere stories live. Discover now