39

14.2K 1.1K 78
                                    

Kepergian Pak Reynaldi dan si kembar dari kehidupanku membuat hidupku terasa sepi dan hambar.

Hari-hari yang kujalani terasa monoton. Perasaan ini berbeda dari sebelumnya saat aku pergi meninggalkan mereka dulu. Kali ini jauh lebih menyakitkan karena semuanya serba mendadak dan soalnya aku belum sempat menyiapkan hatiku untuk menerima hal buruk.

Nyaris setiap saat aku memikirkan tentang kesehatan Pak Reynaldi nun jauh di sana. Selamatkah dia? Bagaimanakah dengan lukanya? Atau, apakah dia baik-baik saja? pertanyaan itu terus berulang-ulang singgah di kepalaku.

Bukan hanya di kepalaku saja, pertanyaan serupa juga kuajukan kepada Alex dan Tuti. Aku berharap keduanya dapat menjawab rasa penasaranku tentang Pak Reynaldi.

Namun aku harus menelan kekecewaan karena keduanya kompak tidak memberiku jawaban apa pun.

"Kalau kamu penasaran lebih baik telepon kekasihmu itu." Ujar Alex ketika aku untuk kesekian kalinya menanyakan kabar Pak Reynaldi kepadanya.

"Mana mungkin aku melakukannya. Hubungan kami sudah putus. Aku cuma ingin mengetahui kabarnya saja."

"Lalu apa bedanya denganku?" ujarnya balik. "Aku mengenal pria itu karenamu. Jadi apa  alasanku untuk berhubungan dengan mantan kekasihmu itu Amanda?"

Ucapan Alex ada benarnya juga, namun aku masih tidak mau menyerah. "Kamu kan bisa nanya sama si kembar, Lex. Mungkin saja mereka mau memberitahukannya?" kataku semangat, berharap Alex mau menerima saranku.

"Hubungan kami tidak sedekat itu, Amanda." Finalnya mengakhiri pembicaraan kami tentang Pak Reynaldi.

Tak ingin menyerah begitu saja, aku mencari cara lain dengan cara menghubungi Tuti.

Berbeda dengan Alex yang reaksinya cenderung dingin, Tuti malah bersikap sebaliknya. Meskipun sama--sama buat aku sakit kepala.

"Udahlah, dari pada kamu mati penasaran mending telpon si duda itu. Terus tanya dia udah mati kagak? Biar tahu cari pengganti lain dengan hati lebih ikhlas. Beres, gitu aja kok repot," omelnya dari seberang benua sana.

"Ck, tidak semudah itu Tuti." Ini anak memang kalau ngasih saran rada-rada aneh. "Kamu kan tahu, Tuan besar tidak suka kami mempunyai hubungan lagi. Kalau aku ketahuan menghubungi anaknya sudah pasti beliau tidak tinggal diam."

"Yaelah... orang tua itu mana tahu-tahu kamu telponan sama si duda. Emangnya dia ngawasin selama dua puluh empat jam? Enggak kan. Lagian kekasihmu itu kan sudah dewasa, gak mungkin dia gak bisa belain kamu di depan ayahnya. Di sini emang kamu aja yang rada bloon, pasrah aja nerima nasib."

"Kamu bisa ngomong gitu karena bukan kamu di posisiku," gerutuku kesal tak terima dikatain bloon. "Coba kalau kamu posisinya dibalik, mungkin kamu juga gak bakalan kuat."

"Ya iyalah, pasti beda cerita kalau sama aku. Gak perlu pakai lama mungkin itu si tua bangka udah lama aku buat stroke. Sekalian aku sengaja hamil anak si duda biar makin kejang-kejang dia." Tuti memperagakan orang yang sedang kejang-kejang hebat di layar ponselku.

Aku sampai bingung mau marah atau tertawa melihat tingkah gilanya barusan.

"Itu sebabnya Man, jadi orang jangan kebanyakan ngalah. Dikit-dikit kabur, dikit--dikit nangis, ya mana selesai masalah. Yang ada orang bukannya jadi prihatin, tapi malah makin nginjak kita," lanjutnya mengomeliku tanpa rasa kasihan.

Tuti memang gak ada empatinya sama sekali terhadapku. Orang udah susah malah diomelin. Dasar saudara tiri durhaka!

"Masalahnya gak segampang itu Tuti. Kesalahan orang tua ku di di masa lalu tidak main-main. Satu korban melayang akibat ulah mereka," tuturku sedih.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 23, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pemain FiguranWhere stories live. Discover now