Don't Cry

593 70 8
                                    

Rumi memarkirkan mobilnya tidak jauh dari tempat mereka berada sekarang. Setelah membawa Vina pulang, Rumi memilih untuk menenangkan dirinya sendiri.

Pandangannya matanya menatap ke sekeliling taman kota yang nampak sepi. Belum banyak masyarakat yang hadir pada siang hari ini.

Entah sudah yang keberapa kalinya batang nikotin tersebut dihirup oleh Rumi. Ia hembuskan asap dari pembakaran nikotin itu sekaligus melepaskan rasa penat yang secara mendadak menghantamnya.

Sedangkan di sisi lain, Vina masih menangis terisak pelan. Tangisan tidak berhenti bahkan setelah keduanya duduk di bangku taman selaka dua puluh menit.

Suara tangisan Vina bersahut-sahutan dengan suara angin yang membelai dedaunan di antara ranting pohon yang menjulang tinggi. Membuat beberapa batang ranting pohon berjatuhan akibat rapuhnya ranting tersebut dari similar angin yang berhembus kencang.

Nikotin yang sedari tadi di hisap oleh Rumi telah habis hingga hanya menyisakan batangan berbalutkan busa. Ia punguti sisa batang nikotin yang sedari tadi ia biarkan terbuang di bawahnya dan kemudian ia buang puntung nikotin ke tempat sampah yang tersedia.

Setelah membuang semua bekas batang nikotin yang dihisapnya, Rumi berjalan menghampiri Vina. Berjongkok tepat di hadapan Vina. Tangannya yang tidak berbau nikotin ia gunakan untuk mengangkat wajah Vina yang tertunduk lesu.

Pandangan mata keduanya bertemu. Netranya menatap netra Vina yang masih meluruhkan air mata. Tangannya ia gunakan untuk menghapus jejak air mata Vina yang bahkan belum berhenti mengalir.

Raut akan sarat kekacauan adalah yang paling jelas terlihat dari wajah cantik Vina. Mata Rumi menyendu melihat Vina yang bahkan tidak berhenti terisak meskipun ia berkali-kali menghapus air matanya.

Dengan perasaan yang berkecamuk, ia bawa tubuh Vina kedalam pelukannya. Ia elus punggung Vina yang dengan perlahan-lahan mulai bergetar.

Dapat Rumi rasakan pelukan Vina di lehernya, isakan yang keluar dari celah bibir Vina yang berada tepat di depan telinganya, serta air mata Vina yang mulai terasa membasahi bahunya.

Ia elus dengan sayang kepala belakang Vina. Memeluk pinggang Vina yang masih terduduk di bangku taman. Ia bubuhkan kecupan penuh sayang ke bahu Vina yang berada tepat di depan kedua bibirnya. Menenggelamkan wajahnya di dalam bahu sempit Vina yang masih bergetar akan tangisan.

Cukup lama keduanya dalam posisi seperti ini, bahkan jika boleh berkata jujur, Rumi mulai merasakan kram di kedua kakinya. Hingga dengan perlahan-lahan Vina mulai tenang kembali.

Similar angin sejuk berhembus membelah keduanya yang masih berpelukan. Di rasa Vina yang tidak lagi menangi, dengan lembut Rumi lepaskan pelukan mereka.

Ia pandangi wajah sembab Vina dan mata sayu Vina. Tangannya terulur untuk kembali menghapus jejak air mata yang ditumpahkan Vina, tangannya merapikan rambut Vina yang berantakan.

Mata keduanya saling menatap sedari Rumi menghapus jejak air mata di wajah Vina, seolah di mata keduanya adalah pemandangan yang tidak ingin mereka lewati begitu saja.

"Maaf" hingga ucapan permintaan maaf meluncur dari bibir Rumi, "I'm a bad husband"

Vina mengangguk mendengar pengakuan dari Rumi yang berhasil membuat Rumi tersenyum kecut, "Is it that bad?" tanya Rumi lirih

[β] Four Wives | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang