13. Tell them

Mulai dari awal
                                    

"Juga tentang kamu yang ingin tinggal dengan pemuda ini. Kakek rasa tidak pantas anggota keluarga kita yang terhormat malah menumpang tinggal di rumah orang lain."

Lala menatap kakeknya lalu tersenyum. "Tanpa mengurangi rasa hormat, sejak mama meninggal aku memang merasa rumah ini asing."

Ia menatap papanya juga anggota keluarga lainnya. "Sejak aku dilarang melukis. Lalu aku pindah ke Inggris. Papa atau keluarga lainnya tidak pernah peduli lagi denganku. Lalu papa menikah lagi dan fokus dengan keluarga barunya. Anak mana yang akan baik-baik saja ketika diabaikan. Bahkan saat aku wisuda, papa tidak hadir. Dan terima kasih untuk Om Tyo dan keluarga yang saat itu mau menyempatkan diri menghadiri acara wisudaku," Lala tersenyum pada Om Tyo, anak pertama kakek.

"Setelah semua yang aku alami sendiri tanpa sosok papa dan mama. Aku sudah memutuskan untuk hidup sendiri. Toh, di keluarga ini kemampuanku tidak diperlukan karena aku hanya pelukis. Bukan pebisnis seperti kalian. Itu kenapa aku menegaskan kakek untuk memilih. Antara aku atau Nadin siapa yang akan kakek akui sebagai cucu. Aku melakukannya karena aku mau semua jelas. Dan tentu aku tidak ingin berada di keluarga yang sama dengan Nadin dan mamanya." Lala menjelaskan dengan tenang. "Bukan bermaksud kurang ajar. Tapi aku memang tidak bisa menikmati kehidupan ini lagi setelah tahu bahwa mamaku dikhianati selama tujuh belas tahun oleh suaminya sendiri."

"Ilea, jangan keterlaluan kamu!" Papa memperingatkan.

"Keterlaluan bagaimana? Papa memang melakukannya. Dan keluarga ini nutupin kelakukan papa yang bejat itu. Kenapa dulu papa nikahin mama kalau papa ternyata udah punya perempuan lain?" Lala tak kalah marah. "Tujuh belas tahun aku hidup dalam drama yang papa buat. Keluarga harmonis? Semua cuma cerita yang papa bikin. Nyatanya aku bahkan punya saudara tiri yang usianya dua tahun lebih tua dari aku. Lucu, kan? Lalu setelah mama meninggal, papa akhirnya punya kesempatan untuk membawa mereka ke rumah ini. Dan selamat, papa berhasil melakukannya."

"Papa gak pernah mendidik kamu bicara kasar dan tidak sopan seperti itu pada orang tua." Papa mulai meninggikan suaranya.

"Lalu papa maunya bagaimana? Aku nurut sama papa? Papa mau jadiin aku bonekanya papa sementara anak papa yang lain jadi kesayangan papa?"

"Ilea, jangan emosi. Kita sedang bicara baik-baik. Jangan seperti ini," kakek berusaha menenangkan. "Tentang apa yang mama kamu alami selama menjadi istri papamu, Kakek minta maaf. Anggaplah Kakek yang salah mendidik anak. Tapi keputusan kamu untuk pergi dari keluarga ini juga bukan keputusan yang baik."

"Kalau begitu biarkan keluarga papa yang keluar dari sini. Bagaimana?"

"Gak ada yang akan pergi dari keluarga ini termasuk kamu!" Suara papa meninggi. "Kalau karena perasaan kamu ke lelaki ini dan membuat kamu buta sampai kamu mengambil keputusan sembrono seperti ini, sampai kapanpun papa tidak akan merestuinya. Dia cuma anak dari istri kedua. Dia gak bisa ngasih kamu kehidupan yang layak. Kalau kamu gak menghilang sejak awal, mungkin kamu yang akan jadi calon istri Milo. Dia jauh memiliki masa depan yang jelas dari pada Savero."

Lala menatap papanya nyalang. Ia tidak percaya bahwa ia mendengar ucapan kasar itu dari mulut papanya sendiri. Jadi semua tentang uang. Lagi-lagi keluarga Lala hanya memikirkan tentang keuntungan.

"Apa salahnya jadi anak istri kedua? Memangnya Savero yang minta lahir di sebagai anak istri kedua? Kenapa kalian mikirnya cuma keuntungan, pengaruh, uang, jabatan. Kenapa kalian gak bisa lihat dia dari pribadinya? Savero juga punya kemampuan. Dia punya keahlian tanpa embel-embel dia dari keluarga mana." Lala memberikan pembelaan. "Kalau yang kalian maksud pernikahan adalah persatuan dua keluarga untuk keuntungan, kalian memilih orang yang tepat untuk melakukannya karena aku gak akan pernah mau untuk jadi boneka kalian."

"Ileana, cukup!" Kakek membentak keras. "Ini bukan hanya tentang keturunan atau tentang keuntungan. Tapi ini tentang keluarga kita. Baiklah, kalau kamu memang mau pergi dari rumah ini. Silahkan! Bawa semua barang kamu. Kakek tidak akan menghalangi lagi. Tapi ingat, jangan pernah menyesal dengan keputusan kamu ini."

Lala menatap kakeknya dengan tenang. Akhirnya memang seperti ini. Semua memang sudah diputuskan sejak awal. Bahwa keluarganya memang tidak memerlukan orang yang tidak satu tujuan dengan mereka. Lala makin merasa tidak dibutuhkan dan tidak dipedulikan oleh keluarganya. Bahkan saat kakek memberikan izin untuk meninggalkan rumah itu, tidak ada satu orang pun yang berusaha membelanya. Tidak satu pun termasuk papanya sendiri.

Kecewa adalah sesuatu yang pasti Lala rasakan. Meski begitu ia tidak menyesal. Karena keputusan kakek sekarang adalah batu loncatan untuk melakukan rencana selanjutnya.

"Terima kasih," Lala tersenyum. Hanya itu yang saat ini bisa ia tunjukan. Ia tidak akan menunjukan kelemahannya di hadapan semua orang.

Alden, sepupunya yang juga anak Om Tyo menatap Lala sendu. Lala tidak terpengaruh sama sekali. Ia tidak akan goyah dengan apapun.

"Semua sudah beres," Ana menunjukan layar tablet yang menyala pada Lala. "Ada beberapa gaun dan perhiasan yang tidak ada di kamarmu."

"Aku gak bawa apa-apa ke rumah Savero kemarin. Baju-baju yang aku pakai, dibelikan mamanya Savero." Lala memeriksa daftar barang yang tidak ada. Ia kemudian menatap papanya dan menunjukan foto-foto barangnya yang tidak ada. "Papa tau di mana barangku? Ini barang-barang berharga terutama perhiasan yang gak ada di tempat padahal laci aku kunci."

Papa menatap Lala murka. "Kamu menuduh papa mencurinya?"

"Aku cuma tanya," Lala menegaskan dengan lembut. "Kalau gak ada aku akan lapor polisi. Soalnya perhiasan yang hilang itu milik mama yang diwariskan ke aku."

"Kamu mau membuat keributan, hah? Itu cuma perhiasan. Kamu bisa beli lagi." Papa meninggikan suaranya.

"Perhiasan bisa dibeli. Tapi tidak dengan kenangannya," Lala menatap papanya tanpa ingin meladeni emosi beliau. "Ana, kamu daftar aja barang apa aja yang hilang terus kamu lapor ke polisi. Kalau perlu minta didampingi pengacara."

"Tidak perlu," mama Nadin menatap Lala layaknya musuh. "Aku yang meminjam perhiasan itu. Aku akan kembalikan."

"Bajunya juga aku yang pinjam. Ada di kamarku," Nadin menambahkan.

Alden yang sejak tadi diam di tempatnya menatap ibu dan anak itu bergantian kemudian menggelengkan kepala. Papa tidak menegur keduanya. Ia malah menatap Lala dengan kesal.

"Ana, ambil perhiasan dan bajunya sekarang." Lala tersenyum meminta tolong seorang petugas pindahan yang baru turun dari tangga untuk membantu Ana.

Mama Nadin dan Nadin memimpin jalan. Sementara Ana dan seorang petugas mengikuti di belakang. Hanya butuh beberapa menit dan Ana kembali dengan apa yang mereka cari.

"Sudah lengkap," lapor Ana.

Lala mengangguk dan mempersilahkan Ana pergi duluan.

Perempuan itu pun beranjak. Ia tetap menggenggam tangan Savero erat kemudian memberi hormat untuk terakhir kalinya pada semua anggota keluarganya.

"Setelah ini, aku gak akan marah kalau kalian gak anggap aku ada. Dan satu peringatan dariku, jangan pernah libatkan mamaku dan urusan di keluarga ini. Mamaku hanya punya aku begitupun sebaliknya." Lala menoleh pada Savero yang dibalas anggukan oleh Savero.

"Kami permisi," Savero dan Lala pun pamit.

Savero dengan gagah mendampingi Lala menuju pintu keluar. Mereka tidak menengok ke belakang sekalipun Alden mengejar dan memanggil nama Lala hingga pintu utama. Satu hal yang Alden sadari, mereka semua sudah kehilangan Lala.

[]

Thank You sudah menemani Lala dan Savero sampai bagian ini. Sampai jumpa di bab selanjutnya.

23 Juli 2023

Noquiyea

Another ColorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang