50. Tetap Berpisah?

6.7K 417 35
                                    

Masih dengan pakaian serba hitamnya Arsen tiba di rumah sakit. Ia yang baru saja memarkirkan mobilnya sekarang bergegas memasuki gedung dan menuju ruang rawat sang istri. Arsen baru meninggalkan gadis itu selama 3 jam, tetapi rasanya sudah sangat lama. Kerinduannya pun kembali membludak dan membuatnya tak segan untuk mengayunkan langkah dengan cepat.

Tiba di depan ruang rawat Jingga, Arsen tak langsung masuk. Ia justru menarik napas beberapa kali. Sejujurnya, sekarang Arsen masih sangat digelayuti rasa bersalah. Ketika melihat Dirga, Arsen benar-benar merasa dirinya telah gagal membuktikan janjinya pada lelaki itu untuk selalu menjaga Jingga.

Arsen memejamkan mata sejenak. Ia berusaha mengusir bayangan-bayangan ketika Jingga disiksa oleh Nagita dan ketika gadis itu nyaris terjatuh dari balkon. Setiap kali mengingat momen itu rasanya jantung Arsen nyaris berhenti berdetak.

Setelah merasa jauh lebih tenang ia pun mulai membuka pintu ruangan. Hal pertama yang dilihatnya ketika memasuki ruangan bernuansa putih itu adalah pemandangan sang istri yang tengah disuapi bubur oleh Dirga. Keduanya pun menoleh ke arah Arsen. Senyum manis terukir di bibir Jingga.

"Mas Arsen," sapa Jingga dengan suara lemah.

"Arsen, kamu sudah datang," sapa Dirga.

"Iya, Ayah," jawab Arsen seraya menghampiri keduanya.

"Karena Arsen udah datang sekarang tugas Ayah--"

"Ayah, nggak mau!" tolak Jingga begitu tahu Dirga berniat menyuruh Arsen menggantikan lelaki itu untuk menyuapi Jingga.

Kening Dirga langsung berkerut heran. "Lho? Kenapa? Kan, udah ada--"

"Jingga masih kangen sama Ayah," rengek Jingga.

Gadis itu tidak bohong. Dia memang sangat merindukan Ayahnya. Hari ini saja Jingga ingin lebih banyak menghabiskan waktu dengan Dirga. Karena Jingga tahu setelah hari ini, semua akan kembali seperti semula. Dia akan kembali berjauhan dengan sang Ayah.

Arsen yang melihat ekspresi nelangsa di wajah istrinya pun berinisiatif untuk mengalah.

"Nggak apa-apa, Yah," ujar Arsen sembari tersenyum tipis.

"Kamu ini. Udah nikah masih aja kayak anak kecil. Manja," gumam Dirga yang hanya disambut senyum tak berdosa oleh sang putri.

Sementara Arsen sudah duduk di sofa ruangan itu. Ia memilih diam dan memperhatikan interaksi Ayah dan anak yang ada di depannya. Sudut hati Arsen menghangat ketika melihat bagaimana Jingga bermanja dengan Ayahnya. Gadis itu terlihat menggemaskan dan membuat Arsen harus menahan diri untuk tidak menenggelamkan Jingga ke dalam pelukannya.

"Muka Mas Arsen kenapa?"

Lamunan Arsen buyar seketika tatkala suara Jingga merasuki rungunya. Segera ia berfokus pada gadis itu.

"Nggak apa-apa, Mara. Ini cuma luka kecil," jawab Arsen, menjelaskan luka di sekitar wajahnya akibat perkelahian semalam.

"Udah diobati?" Jingga kembali bertanya dengan nada cemas.

Namun, Arsen malah terdiam. Ia ingat kalau luka-lukanya memang belum diobati.

"Belum?" terka Jingga. Mata gadis itu memicing tak suka akan tebakannya yang memang benar.

"Cuma luka ke--"

"Tetap harus diobati, Mas!" sergah Jingga.

Tiba-tiba Dirga berdiri sambil meletakkan peralatan makan Jingga di atas nakas.

"Biar Ayah panggil perawat. Sekalian Ayah mau cari angin sebentar. Kelamaan di sini rasanya suntuk," ujar Dirga, lalu melenggang pergi tanpa menunggu persetujuan dari putri dan menantunya.

After We Got MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang